Perjanjian Bagi Hasi (Mudharabah), undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 dalam pasal 1 mengemukakan bahawa: “Perjanjian bagi hasil ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada suatu pihak dan seseorang atau badan hukum pada pihak lain yang dalam undang-undnag ini disebut “penggarap” berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenakan oleh pemilik tersebut untuk menyelengarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pijak”[1]. Al-Mudharabah adalah perjanjian yang dibuat oleh pihak bank dengan nasabah. pihak bank bisa bertindak sebagai pihak yanag meminjamkan dana (Shahibul Maal), sedangkan nasabah sebagai pengelola dana (Mudharib), atau sebaliknya bank sebagai pengelola dana (Mudharib), sedangkan nasabah sebagai pemilik dana (Shahibul Maal) dengan menabung di bank syariah melalui tabungan mudharabah atau giro mudharabah.
Ketentuan teknis dan sekaligus sebagai peraturan pelaksana dari PBI dimaksud yaitu SEBI No. 10/14/DPbS tertanggal 17 maret 2008. SEBI dimaksud anatra lain menyebutkan bahwa dalam kegitan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan atas dasar Akad Mudharabah yang berlaku persyaratanya sebagai berikut:[2]
a) Bank bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) yangmenyediakan dana dengan fungsi sebagai modal kerja,dannasabah bertindak sebagai pengelola dana (mudharib) dalam kegiatan usahanya;
b) Bank memiliki hak dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah walaupun tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah,antara lain
c) Bank dapat melakukan review dan meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha nasabah berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan;
d) Dalam hal Pembiayaan atas dasar Akad Mudharabah Muqayyadah yaitu penyediaan dana kepada nasabah dimana pemilik dana (shahibul maal) memberikan persyaratan khususkepada pengeloladana (mudharib) Bank wajib memenuhi persyaratan khusus dimaksud. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk Pembiayaan atas dasar Akad Mudharabahserta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasiproduk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah;
Sebagai contoh :
Tuan A sebagai pemilik dana memilki keinginan untuk menginvesatsikan dananya ke sektor UKM yang bergerak di sektor usaha perdagangan. Dengan keterbatasan waktu mencari dan menetapkan UKM yang bergerak di sektor usaha perdagangan dimkasud. Oleh karena itu Tuan A memutuskan untuk meintipkan dananya tersebut ke Bank Syariah meminra bank untuk mencarikan UKM sesuai dengan yang diharapkan. Sesuai dengan amanah yang dititipkan Tuan A, selanjutnya Bank mencari UKM yang paling feasibel di sektor usaha perdagangan. Transaksi invesatsi yang terjadi antara Tuan A dengan UKM dimaksud yang diperantari oleh Bankmerupakan salah satu conoh transaki nvesatsi dengan adak Mudharbaah Muqayyadah.[3]
e) Bank wajib melakukan analisis atas permohonan Pembiayaan atas dasar Akad Mudharabah dari nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter (Character) dan aspek usaha antara lain meliputi analisakapasitas usaha (Capacity), keuangan (Capital),dan prospek usaha (Condition);
f) Pembagian hasil usaha dari pengelolaan dana dinyatakan dalam nisbah yang disepakati;
g) Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjangjangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak.
h)Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa Akad Pembiayaan atas dasarMudharabah.
i) Jangka waktu Pembiayaan atas dasar Akad Mudharabah, pengembalian dana, dan pembagian hasil usaha ditentukanberdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah;
j) Pembiayaan atas dasar Akad Mudharabah diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang,serta bukan dalam bentuk piutang atau tagihan;
k) Dalam hal Pembiayaan atas dasar Akad Mudharabah diberikandalam bentuk uang harus dinyatakan secara jelas jumlahnya;
l) Dalam hal Pembiayaan atas dasar Akad Mudharabah diberikan dalam bentuk barang, maka barang tersebut harus dinilai atas dasar harga pasar (net realizable value) dan dinyatakan secara jelas jumlahnya;
m)mPengembalian Pembiayaan atas dasar Mudharabah dilakukan dalam dua cara, yaitu secara angsuran ataupun sekaligus pada akhir periode Akad, sesuai dengan jangka waktu Pembiayaanatas dasar Akad Mudharabah;
n) Pembagian hasil usaha dilakukan atas dasar laporan hasil usahapengelola dana (mudharib) dengan disertai bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan;
o) Kerugian usaha nasabah pengelola dana (mudharib) yang dapat ditanggung oleh Bank selaku pemilik dana (shahibul maal) adalah maksimal sebesar jumlah pembiayan yang diberikan (ra’sul maal).
Probelematika dalam penerpannya di Lembaga Keunagan Syariah
a) Pemilihan (calon) nasabah pembiayan Mudharabah
Seperti telah dimaklumi semua pihak, bahwa risiko pembiayaan Mudharabah bagi LKI/LKS sangat besar.[4] Mengingat posisi LKS yang terkait dana masyarakat sebagai “Proffessional Investment Manager”, maka dialah yang bertanggung jawab agar resiko paling buruk, yakni kerugian akibat macetnya pembiayaan Mudharabah semaksimal mungkin ditekan pada tingkat yang sekecil-kecilnya. Anatra lain seleksi nasabah dapat dilakukan dengan cara memalui peyediaan Murabahah beberapa waktu/kali, kemudian setelah itu dipilihlah nasabah yang telah melakukan pelunasannya tepat dan sebelum jatuh tempo. Setidaknya, dari pengalaman penyediaan dana murabahah ini, diperoleh gambaran nyata karakter pribadi nasabah, serta karakter dan potensi usahanya, apakah dapat dikembangkan lagi atau tidak.
Cara lainya agar diperoleh nasabah yang usahanya berpotensi dapat dikembangkan dan baik karakternya adalah melalui nasabah pembiayaan pula. Bisa pula dari kompettitor/pesaingnya. Jika pesaingnya mengatakan bagus, informasi demikian pantas untuk dipertimbangkan. Atau informasi mengenai calon nasabah pembiayaan Mudharabah dapat diperoleh dari para pemasoknya. Jika para pemasok mengatakan baik dalam menyelesaikan tagihan mereka, informasi ini pantas untuk dipertimbangkan.
b) Pencegahan kerugian
Risiko paling buruk dari suatu pembiayaan ketika is nasabah tidak dapat melunasi kewajibannya, ekstrimnya adalah pembiayaan menjadi macet, dan ini merupakan kerugian bagi pihak LKS.
Oleh sebab sumber penyebab kerugian Mudharabah dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar, yaitu : pertama, karena resiko bisnis; kedua disebabkan terkena musibah atau bencana; dan yang ketiga adalah karena disebabkan karena kelalaian atau kesengajaan dari si nasabah itu sendiri. Untuk menghindari risiko seperti ini, maka LKS dapat mempersyaratkan adanya jaminan/ Agunan kepada LKS.[5]
By; Dera Ardilla
Mahsiswi Magister UIN SUKA Yogyakarta
[1] Chairuman Pasaribun dan Suhrawardi K.Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 61
[2] http://www.bi.go.id/id/perbankan/syariah/Documents/UU_21_08_Syariah.pdf diambil pukul 05.30 tgl 06 Apr 2015
[3] http://www.bi.go.id/id/perbankan/syariah/Documents/UU_21_08_Syariah.pdf diambil pukul 05.30 tgl 06 Apr 2015
[4] Sugeng Widodo, Moda Pembiayaan Lembaga Keuangan Islam. Penerbit Kakukaba, Yogyakarta 2014 Hal 168
[5] Sugeng Widodo, Moda Pembiayaan Lembaga Keuangan Islam. Penerbit Kakukaba, Yogyakarta 2014 Hal 169
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI