Kenistaan hidup adalah akibat dari ketidakmampuan pelaku kehidupan itu untuk merespon setiap tantangan yang sedang berkembang. Ketika seseorang tidak mampu lagi memberi jawaban terhadap tantangan-tantangan hidup dan tenggelam dalam kejumudan, maka akan dipastikan bahwa kehidupan yang dijalani akan mengalami pembusukan.
Kita harus bangkit. Kebangkitan sangat tergantung pada ada atau tidaknya inisiatif-inisiatif, dan pikiran-pikiran kreatif yang bisa mengalirkan energi positif dalam merespon secara efektif terhadap situasi-situasi baru yang sedang berkembang. Namun ketidakhadiran sosok-sosok kreatif yang mampu mengalirkan energi positif dan potensi inti akan mengakibatkan kelesuan bahkan kehancuran sebuah kehidupan.
Maka dari itu tulisan singkat kali ini, akan menghadirkan satu sosok yang telah mampu membangun kehidupannya bahkan membangun peradaban yang gemilang.
Dialah seorang pemimpin yang pernah memimpin kaum Muslimin secara mendunia, Khalifah Harun Ar-Rasyid. Dengan kecerdikan dan perhatiannya dalam dunia ilmu yang begitu besar ia berhasil membawa umat ke puncak peradaban Islam yang tersohor dan diakui di seluruh dunia.
Secercah Kisah Hidup Harun Ar-Rasyid
Dialah, Abu Ja’far Harun, bin Al Mahdi Muhammad, bin Al Manshur Abu Ja’far Abdullah, bin Muhammad, bin Ali, bin Abdullah bin Abbas Al Hasyimi Al Abbasi. Harun Ar Rasyid adalah khalifah kelima dari kerajaan Bani Abbasiyyah dan merupakan khalifah yang teragung dan paling terkemuka daripada sembilan orang khalifah yang agung dan gemilang dalam sejarah kerajaan Bani Abbasiyyah. Kerajaan Bani Abbasiyyah merupakan keturunan dari Al-Abbas bin Abdul Muththalib yang merupakan keturunan dari Hasyim bin Abdul Manaf.
Harun Al-Rasyid dilahirkan di kota Rayy, pada tahun 148 H/762 M, saat khalifah Bani Abbasiyyah masih dipegang oleh kakeknya Abu Ja’fal Al Manshur, dan ayahandanya Al-Mahdi menjabat gubernur wilayah tempat kelahirannya yaitu Khurasan, sebelum akhirnya menjadi khalifah ketiga Bani Abbasiyyah. Ibundanya adalah seorang mantan budak yang bernama Jurasyiyah yang dijuluki Khaizuran, yang juga ibu dari khalifah keempat Bani Abbasiyyah yaitu Musa Al-Hadi.
Ar-Rasyid yang memiliki kulit putih, postur tubuh yang tinggi dengan wajah rupawan dan murah senyum menjalani masa kanak-kanaknya dengan mempelajari ilmu-ilmu agama dan ilmu pemerintahan, sehingga kata-katanya fasih dan memiliki wawasan yang luas. Guru Ar-Rasyid adalah ayahanda dan kakeknya sendiri serta guru agama yang terkenal pada masa itu yakni Yahya bin Khalid Al-Barmaki.
Kemahiran Harun ar-Rasyid di dalam bidang politik dan keperkasaannya di medan perang telah terlihat ketika ia masih remaja. Sebab itu, khalifah Al Mahdi menunjuk Ar-Rasyid yang masih berusia 18 tahun untuk menjadi walikota Saifah pada tahun 163/779 M.
Setahun kemudian, pada tahun 164 H/780 M, ayahandanya melantik Ar-Rasyid menjadi Gubernur di kota Anbar hingga meliputi bumi Afrika bagian utara. Harun Ar-Rasyid diangkat menjadi khalifah pada tahun 170 H/786 M, pada usianya yang sangat muda, 25 tahun. Jabatan khalifah itu dipegangnya setelah kakaknya yang menjabat khalifah, Musa Al-Hadi wafat. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Harun Ar-Rasyid didampingi Yahya bin Khalid dan empat putranya.
Harun Ar-Rasyid adalah sosok khalifah yang sangat mencintai ilmu dan senang kepada orang-orang yang berilmu, serta sangat menjunjung tinggi ajaran agama Islam. Dia mengumpulkan dan melibatkan orang-orang berilmu dalam setiap kebijakan yang akan diambil pemerintah.
Salah seorang ulama besar di zamannya, Yahya bin Khalid Al-Barmaki yang juga merupakan guru masa kecil Harun Ar-Rasyid, pernah menjadi perdana menterinya, meskipun tidak terlalu lama. Kecintaannya terhadap ilmu dan kedekatannya dengan para ulama membentengi Harun Ar-Rasyid dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam. Dia sangat tidak senang dengan perdebatan dalam masalah agama dan tidak suka membicarakan sesuatu yang telah jelas nashnya dalam agama.
Sebagaimana diungkapkan oleh Jalaluddin As-Suyuthi dalam Tarikh Khulafa, “Telah sampai kabar kepada khalifah Harun Al-Rasyid tentang Bisyr Al-Marisi yang berpendapat bahwa Al-Qur'an adalah makhluk. Ketika itu dia kemudian berkata,” Jika saya bisa menangkapnya, niscaya akan saya penggal lehernya!” Pendapat yang dikemukakan oleh Bisyr itu berkembang pesat pada zaman ke-khalifahan putranya, yaitu Al-Ma’mun, namun ternyata Al-Ma’mun mendukung apa yang dikatakan oleh Bisyr. Sehingga Al-Ma’mun tidak memenggal kepalanya.
Pada suatu hari Abu Mu'awiyah adh-Dharir berkata, “Tidak pernah satu kalipun saya menyebutkan nama Rasulullah di depan Ar-Rasyid, kecuali dia akan selalu mengatakan, “Semoga Allah melimpahkan shalawat atas junjunganku.” Lalu pada kesempatan yang lain Abu Mu’awiyah berkata bahwa dia pernah membacakan hadits Rasulullah Saw., di depannya yang berbunyi: “Saya sungguh menginginkan mati di jalan Allah, lalu saya hidup dan dibunuh kembali di jalannya.” Mendengar ini dia menangis terisak-isak.”
Ketika Abu Mu’awiyah meriwayatkan sebuah hadits yang berbunyi: ”Adam dan Musa berdebat,” di hadapan Ar-Rasyid, ada beberapa pemuka dari orang-orang Quraisy yang menyela pembicaraan, lalu berkatalah salah seorang dari mereka: “Bagaimana Adam bisa bertemu dengan Musa?” Mendengar pertanyaan itu Ar-Rasyid marah, lalu berkata, “Ambil cemeti dan pedang. Dia adalah zindiq yang melecehkan hadits Rasulullah.” Kemudian Abu Mu'awiyah berkata: “Saya berusaha menenangkannya, lalu saya katakan kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin dia memiliki perilaku yang aneh.” Cukup lama saya menenangkannya, hingga akhirnya dia kembali tenang.” Pungkas Abu Mu’awiyah.
Kecintaan Harun Ar-Rasyid terhadap ilmu pun tercermin dalam akhlaknya kepada ulama. Suatu ketika dia meminta kepada Imam Malik bin Anas untuk datang kepadanya supaya mengajar anak-anaknya Amin dan Ma'mun, namun Imam Malik menolak, seraya berkata, “sesungguhnya ilmu itu didatangi, bukan mendatangi. “Lantas untuk kedua kalinya, dia mengirim anaknya, dan dikatakan kepada Imam Malik, “Aku mengirim kedua anakku ini untuk mendengarkan ilmu bersama para sahabatmu. “Mendengar ini Imam Malik berpesan, “Dengan syarat kedua anak ini tidak menulis khat di pundak orang-orang, dan mereka berdua duduk sampai selesai majelis.” Lantas mereka boleh menghadirinya dengan dua syarat tersebut. Hingga akhirnya Khalifah kaum Muslimin, Harun Ar-Rasyid pun membawa kedua anaknya Amin dan Ma'mun untuk mendengarkan “Kitab Al-Muwatha” lmam Malik di Madinah Al-Munawarah.
Perhatian yang sangat baik terhadap ilmu dan ilmuwan membuat Ar-Rasyid juga sangat giat dalam pergerakan penerjemahan berbagai buku-buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab. Pergerakan penerjemahan mengalami kemajuan pesat ketika ia menghidupkan kembali dan mengembangkan perpustakaan besar yang telah dibangun khalifah kedua Bani Abbasiyyah Abu Ja’far Al-Manshur, di ibukota kekhilafahan Baghdad. Dia begitu antusias terhadap ilmu, sehingga yang banyak disebut-sebut dalam sejarah sebagai khalifah terbesar Bani Abbasiyyah ini memerintahkan supaya mengeluarkan peninggalan buku-buku kuno, diwan-diwan, dan manuskrip-manuskrip yang ditulis dan diterjemahkan, yang terjaga dan dipelihara dalam istana khilafah setelah menjadi megah. Kemudian ia membuatkan bangunan khusus, untuk memperbaiki ruang lingkup sebagian besar jumlah kitab-kitab yang ada, dan itu terbuka di hadapan setiap para pengajar dan penuntut ilmu. Lalu tahun 813 M ia mendirikan sebuah tempat yang sangat luas dan megah, kemudian semua kitab-kitab simpanan itu dipindahkan ke tempat tersebut dan disebutlah tempat itu dengan nama Baitul Hikmah.
Kantor Baitul Hikmah di Baghdad dikelola oleh sejumlah mudir (direktur) para ilmuan. Mereka mendapatkan gelar “Shahib”. Direktur Baitul Hikmah ini disebut dengan “shahib Baitul Hikmah.” Sedangkan mudir pertama Baitul Hikmah adalah Sahal bin Harun Al-Farisi (215 H/830 M). Dia diangkat oleh Harun Ar-Rasyid sebagai penanggung jawab perbendaharaan kitab-kitab hikmah yang disalin dari bahasa Persia ke bahasa Arab dan apa yang didapatinya dari semua hikmah Persia. Bahasa Arab ketika itu merupakan bahasa resmi negara dan bahasa pengantar di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, dan bahkan menjadi alat komuniksi umum. Sehingga tepat bila semua pengetahuan yang termuat dalam bahasa asing itu banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Adapun orang yang diberi tanggungjawab melaksanakan menyalin dari bahasa Persia ke bahasa Arab adalah perdana menteri Yahya bin Khalid Al Barmaki, yang juga seorang berketurunan Persia. Yahya Al Barmaki adalah seorang pencinta ilmu pengetahuan, dan beliau adalah seorang yang sangat pandai dan alim di dalam bermacam-macam ilmu pengetahuan termasuklah ilmu-ilmu agama. Yahya al-Barmaki telah meminta para sarjana dan cendekiawan India untuk datang ke kota Baghdad. Yahya bin Khalid mengarahkan kepada sarjana-sarjana India itu menterjemahkan buku-buku India ke dalam bahasa Arab.
Ibnu Usaibiyah pula menyebut bahwa Khalifah Harun ar-Rasyid telah mengarahkan kepada Yuhanna bin Masawaih untuk menjadi anggota dewan penerjemah yang bertanggung jawab menerjemahkan buku-buku lama yang ditemui di kota Ankara, Ammuriyyah dan di tanah jajahan takluk Rom yang lain ke dalam bahasa Arab. selain itu ada pula buku-buku lama yang dibawa dari pulau Cyprus atas perintah Khalifah Harun ar-Rasyid. Tetapi buku-buku yang dibawa dari pulau Cyprus tidak sempat diterjemah pada zaman pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid. Penerjemahan itu baru giat dilakukan pada zaman pemerintahan khalifah Al Ma'mun.
Kota Baghdad menjadi daya tarik kepada manusia seperti lampu yang menjadi daya tarik kepada laron-laron yang terbang dari kegelapan. Meskipun pada awalnya merupakan sebuah perpustakaan biasa, tetapi Baitul Hikmah berkembang pesat menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia. Setelah kota Baghdad dibangun pada zaman pemerintahan kerajaan Bani Abbasiyyah, yaitu setelah berlalu masa sekitar 135 tahun dari masa hidup Rasulullah Saw., para tabiin, para tabiut tabiin beserta seluruh murid-murid dan penuntut ilmu lainnya telah banyak yang memusatkan kegiatan pembelajaran di kota Baghdad. Manakala ketika itu, saat Ar-Rasyid mulai menjabat sebagai khalifah, telah hidup tiga orang tokoh ulama pengasas mazhab yang empat, yang terkemuka yaitu Imam Malik bin Anas, Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Ketika itu Imam Malik berusia 77 tahun, Imam Asy-Syafi’i berusia 20 tahun, dan Imam Ahmad bin Hanbal baru berusia 6 tahun. Sedangkan Imam Abu Hanifah sudah lebih dulu wafat sebelum Ar Rasyid menjadi khalifah, yakni pada tahun 150 hijrah/767 Masehi.
Pada zaman pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid, Baitul Hikmah menjadi pusat pertemuan ilmu pengetahuan dari Barat (Yunani dan Romawi) dan dari Timur (Persia, India, dan China). Banyak sekali cendekiawan-cendekiawan Islam dari berbagai bangsa yang menetap di kota Baghdad dan telah banyak pula muncul tokoh-tokoh ilmu baik dalam bidang ilmu-ilmu naqli (tafsir, hadits, musthalah hadits, tauhid, ushul fiqh, fiqih, tasawuf, jarh wa ta'dil dan lain-lain), ilmu bahasa (nahwu, saraf, bayan dan lain-lain), maupun ilmu-ilmu aqli seperti ilmu kedokteran, sejarah, kesusasteraan, filsafat, astronomi, matematika, ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu di bidang-bidang lainnya. Perkembangan ilmu selanjutnya semakin mengalami kemajuan pesat pada zaman pemerintahan putranya yaitu khalifah Al-Ma'mun. Dalam perkembangannya, Baitul Hikmah telah memunculkan tokoh-tokoh besar dalam sejarah ilmu pengetahuan Islam seperti Al Kindi, Al Khawarizmi, Al Jahiz, Al Farabi, Ibnu Sina, Al Biruni, Al Ghazali, Ibnu Misykawaih, Ibnu Khaldun dan lainnya. Merekalah tokoh-tokoh yang berpengaruh besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya, bukan hanya untuk peradaban Islam, tetapi juga berpengaruh besar terhadap kemajuan peradaban Barat, bahkan peradaban dunia secara keseluruhan hingga saat ini.
Pada zaman pemerintahan khalifah Harun Ar-Rasyid, pusat pemerintahan adalah kota Baghdad. Adapun wilayah kekuasaan pada waktu itu luas membentang dari Afrika Utara sampai ke Hindu Kush India. Ar-Rasyid tidak pernah memikirkan untuk membina ibukota baru, sebab tidak ada alasan yang mengharuskan dia melakukan itu. Bahkan kota Baghdad telah menjadi kota yang sangat maju pada masa pemerintahannya dalam berbagai bidang kehidupan, khususnya di dalam bidang kebudayaan, perdagagangan, ilmu pengetahuan dan pembangunan.
Perkembangan Kota Baghdad secara berangsur-angsur sampai menjadi pusat perdagangan telah di mulai sejak didirikan oleh khalifah Ja’far Al-Manshur pada 145 H/762 Masehi. Jumlah masuknya para pedagang terus bertambah sampai khalifah Ja’far Al-Manshur wafat pada tahun 158 H/775 Masehi. Pada pemerintahan Al-Mahdi, intensitas perdagangan semakin meningkat antara pedagang dengan para penduduk dan permukiman bertambah banyak untuk menampung penduduk yang datang dari luar negeri. Setibanya zaman Ar-Rasyid, perdagangan dan perekonomian amat pesat lagi perkembangannya, yang mana pedagang-pedagang dari berbagai negeri seperti Persia, India, China, Turki, Syam, Mesir dan Afrika Utara, Hijaz, dan lain-lain negeri telah datang berkumpul di kota Baghdad. Inilah pangkal kenapa kota Baghdad menjadi sangat maju di dalam bidang perdagangan pada zaman pemerintahan khalifah Harun Ar-Rasyid.
Kesejahteraan masyarakat Abbasiyyah ketika itu pun sangat luar biasa. Suasana negeri aman, damai, dan rakyat merasa tentram. Bahkan, pada masa pemerintahan khalifah Harun Ar-Rasyid sangat sulit mencari orang yang akan diberikan zakat, infaq, serta shadaqah, karena tingkat kemakmuran penduduknya telah mencapai tingkat di atas garis kemiskinan. Di samping itu, banyak para pedagang dan saudagar yang menanamkan investasinya pada berbagai kegiatan usaha di wilayah Daulah Bani Abbasiyyah pada masa itu. Masjid-masjid, perguruan tinggi, madrasah-madrasah, rumah sakit, dan sarana kepentingan umum lainnya banyak dibangun pada masa ini. Setiap orang merasa aman untuk keluar pada malam hari, karena tingkat kejahatan yang minim. Kaum terpelajar dan masyarakat umum dapat melakukan perjalanan dan penjelajahan di negeri yang luas itu dengan aman. Kemajuan dalam bidang perdagangan dan perekonomian di kota Baghdad ini menjadi salah satu faktor yang mendukung pertumbuhan dan kemajuan ilmu pengetahuan baik ilmu-ilmu keagamaan maupun non keagamaan.
Kekhalifahan Harun Ar-Rasyid telah menjalin hubungan diplomatik dengan dua kerajaan Eropa pada waktu itu, yaitu kekaisaran Romawi Timur atau Bizantium yang berpusat di kota Konstantinopel Turki, dan kerajaan Perancis. Hubungan diplomatik antara kerajaan Bani Abbasiyyah dengan kerajaan Perancis amat dielu-elukan oleh kedua belah pihak sebab masing-masingnya juga mempunyai kepentingan demi keutuhan negaranya masing-masing. Adapun hubungan kekhalifahan Harun Ar Rasyid dengan kota Konstantinopel pada mulanya tidak begitu terjalin erat. Hubungan antara kekhalifahan Harun Ar Rasyid dengan kekaisaran Bizantium baru terjalin setelah beberapa kali terjadi peperangan di antara keduanya. Kekhalifahan Harun Ar-Rasyid terus berperang dengan kekaisaran Bizantium hingga akhirnya kerajaan itu diperintah oleh Ratu Irene yang menggulingkan puteranya sendiri Kaisar Konstantin VI. Ratu Irene tidak mau berperang dengan kerajaan Bani Abbasiyyah yang di bawah pemerintahan khalifah Harun Ar-Rasyid sebab dia mengakui kekuatan kerajaan Bani Abbasiyyah ketika itu dan dia bersedia membayar upeti kepada khalifah Harun Ar-Rasyid.
Tetapi menjelang tahun 187 Hijriah/ 803 Masehi, Ratu Irene digulingkan oleh pasukan yang dipimpin oleh Panglima Niqfur atau dalam bahasa Romawi disebut Nicephorus. Panglima Nicephorus yang asalnya adalah seorang Arab keturunan suku Jafnah Al Ghassani, mendeklarasikan dirinya sebagai Kaisar Bizantium. Dia menganggap bahwa pembayaran upeti dari Romawi Timur kepada kerajaan Islam di bawah pemerintahan khalifah Harun Ar-Rasyid adalah karena pemerintahnya seorang wanita. Namun setelah pemerintah kekaisaran Bizantium sudah di tanganya sebagai seorang lelaki, dia tidak bersedia membayar upeti kepada khalifah Harun Ar-Rasyid.
Sampai suatu ketika, Harun Ar-Rasyid menerima surat dari Kaisar Nicephorus I (802-811 M). Surat itu berisi pembatalan sepihak kesepakatan antara kaum Muslimin dan Ratu Irene (797-802 H), Ratu Romawi. Surat itu berbunyi sebagai berikut:
“Dari Nicephorus Kaisar Romawi kepada Harun Raja Arab.”
“Sesungguhnya kaisar putri yang berkuasa sebelum aku telah mendudukkan kamu pada posisi burung garuda raksasa, sedangkan dia sendiri menempatkan dirinya sebagai burung elang, sehingga membuatnya membawa harta-hartanya kepadamu. Ini karena lemahnya seorang wanita dan kebodohannya. Jika kamu selesai membaca surat ini, maka kembalikan semua harta yang telah dia serahkan kepadamu sebelum ini. Jika tidak maka pedanglah yang akan bermain untuk menyelesaikan permasalahan antara aku dan kamu!”
Tatkala Ar-Rasyid membaca surat ini dia sangat marah. Lalu dia meminta tinta dan segera menulis surat balasan. Surat balasan itu berbunyi sebagai berikut:
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”
“Dari Harun Ar-Rasyid, pemimpin kaum mukminin kepada Nicephorus, anjing Romawi. Saya telah membaca surat anda dengan jelas, Hai anak seorang ibu yang kafir. Sebagai jawabannya adalah apa yang akan kau lihat, bukan apa yang kau dengar.”
Salam.”
Setelah itu, khalifah Harun Ar-Rasyid menyiapkan sebuah angkatan perang yang besar, maka berangkatlah ia beserta pasukan pada hari itu juga dan dia terus merangsek melewati Asia Kecil dan mencapai puncaknya tatkala dia dan pasukannya di suatu tempat bernama Heraclia. Perang ini merupakan peristiwa perang yang sangat masyhur dan sekaligus sebagai penaklukan kekaisaran Romawi yang gemilang. Akhirnya Neciphorus meminta perdamaian dengan cara bersedia membayar upeti setiap tahunnya. Harun Ar-Rasyid menerima tawaran tersebut.
Akan tetapi, setelah Ar-Rasyid kembali pulang ke Baghdad, Neciphorus berkhianat dan mengingkari kesepakatan yang dia ucapkan dengan menganggap bahwa Ar-Rasyid tidak akan lagi melakukan serangan di musim dingin. Namun ternyata Ar-Rasyid kembali menyerang walaupun harus berhadapan dengan kondisi yang sangat sulit, hingga akhirnya pihak Romawi Timur kembali meminta perdamaian dan diterima kembali dengan baik oleh Ar-Rasyid. Pada kali ini pihak kekaisaran Romawi itu membayar upeti kepada khalifah jauh lebih besar dari sebelumnya. Demikianlah khalifah Harun Al-Rasyid tidak pernah beristirahat hingga mencapai tujuannya dalam melakukan jihad. Pada tahun ini juga Ar-Rasyid berhasil menebus semua pasukannya yang telah ditawan di wilayah-wilayah Romawi akibat peperangan sebelumnya, sehingga tidak seorang tawanan pun tersisa di wilayah mereka.
Namun, pada tahun ini juga terjadi peristiwa politik dramatis di dalam kerajaan Bani Abbasiyyah. Ar-Rasyid memusnahkan seluruh keluarga Barmaki yang telah setia mengabdi selama bertahun-tahun di kerajaan Bani Abbasiyyah dari pemerintahannya. Keluarga Barmaki adalah keluarga yang berbangsa Persia dari Khurasan. Nama Barmaki sendiri diambil dari nama Khalid bin Barmaki yang memiliki peranan besar pada masa pemerintahan khalifah Abul Abbas As- Saffah dan khalifah Abu Ja’far Al Manshur. Dia pernah dipercaya oleh khalifah Al Manshur sebagai pimpinan pasukan perang. Dia meninggal dunia pada akhir pemerintahan khalifah Al Manshur atau pada zaman khalifah Al Mahdi. Keluarga Barmaki menjadi keluarga yang paling dekat dengan khalifah pada masa pemerintahan khalifah Al Mahdi. Khalifah Al Mahdi menjadikan anak Khalid, yaitu Yahya sebagai bagian dari anggota keluarga Al Mahdi sendiri.
Yahya bin Khalid Al Barmaki adalah anggota keluarga Barmaki yang paling hebat. Yahya Al Barmaki tinggal di dalam istana khalifah Al Mahdi dan menjadi pengasuh dan pendidik Harun Ar-Rasyid sejak Ar-Rasyid masih kecil. Harun Ar-Rasyid tumbuh besar di bawah penjagaan dan didikan Yahya bin Khalid bahkan menyusu kepada isteri Yahya bersama anak-anak Yahya. Harun Ar-Rasyid pun pernah memanggil Yahya dengan panggilan bapak. Sebab itu, setelah menjadi khalifah, Harun Ar-Rasyid mempercayai Yahya bin Khalid untuk menjadi salah satu menteri dalam pemerintahannya.
Menjelang tahun 187 H/803 Masehi, setelah memerintah selama kira-kira 17 tahun, khalifah Harun Ar-Rasyid mengambil keputusan yang nekad, yaitu bertindak menghapuskan kaum Barmaki dari kerajaannya. Langkah pertama yang dilakukan adalah membunuh anak dari Ja’far bin Yahya bin Khalid. Menurut pendapat terkuat yang dikemukakan para ahli sejarah, hal ini disebabkan perseteruan Ar-Rasyid dengan keluarga Barmaki memang dipicu oleh Ja’far bin Yahya yang dituduh membantu kabur seorang saudara Idris pendiri Dinasti Syiah Idrisiyah, yakni Yahya bin Abdullah bin Hassan dari penjara. Yahya bin Abdullah adalah seorang Syiah Alawiyyin, sehingga tersiak kabar bahwa Ja’far bin Yahya adalah seorang pendukung kaum Syiah itu. Berita Ja’far membebaskan Yahya pun sampai ke telinga Fadhl bin Rabi’ lewat mata-mata. Fadhl bin Rabi’, pun langsung menyampaikan berita tersebut kepada khalifah Harun Ar-Rasyid.
Kejadian ini menjadi awal mula dihembuskannya fitnah perseteruan antara Ar-Rasyid dengan keluarga Barmaki. Akibat suara-suara yang mengandung fitnah, Ar-Rasyid menuduh keluarga Barmaki lebih mengutamakan kepentingan pendukung Syiah daripada kepentingan sang khalifah. Sebab pada masa pemerintahan Ar-Rasyid sebelumnya pernah terjadi pemberontakan kaum Syiah Alawiyyin yang dicetuskan oleh Yahya itu sendiri dan saudaranya Idris bin Abdullah bin Hassan bin Al Hassan bin Ali bin Abi Thalib. Akhirnya, hanya dalam waktu satu malam keluarga Barmaki dimusnahkan dari istana Ar-Rasyid. Ja’far bin Yahya dibunuh secara keji melalui tangan seorang budak Ar-Rasyid yang bernama Masrur. Akan tetapi, khusus terhadap dua orang lagi tokoh keluarga Barmaki, yaitu Yahya bin Khalid dan anaknya Al Fadhl, Ar-Rasyid hanya berpuas hati untuk memenjarakan mereka. Kedua-duanya wafat di dalam penjara.
Mengenai peristiwa pembasmian keluarga Barmaki, tidak ada seorangpun ahli-ahli sejarah yang mengaku tahu sebab-sebab sebenarnya khalifah Harun Ar-Rasyid mengambil tindakan kejam itu. Namun, di antara pendapat yang mencuat, pendapat yang masuk akal menyebutkan bahwa itu disebabkan oleh pengaruh keluarga Barmaki yang semakin meluas dan besar dalam pemerintahan khalifah Harun Ar-Rasyid, sementara di luar istana banyak para pendengki dan orang-orang iri hati yang tak rela melihat keluarga Barmaki memegang pengaruh, meskipun itu didapatkan keluarga Barmaki dengan cerdas, kerja keras, dan bijaksana. Akhirnya para pendengki itu pun melakukan cara-cara licik untuk mengadu domba mereka dengan Ar-Rasyid. Hingga terjadilah peristiwa yang mengejutkan itu.
Peristiwa itu mungkin menjadi satu catatan hitam dalam kisah kehidupan Harun Ar-Rasyid. Bagaimana pun, Ar-Rasyid juga seorang manusia yang tak sempurna dalam dunia yang tak sempurna. Dikemudian hari, Ar-Rasyid pun tampaknya menyesali, hatinya remuk tatkala mengingat tindakannya yang keji itu. Dengan lirih ia berkata, “semoga Allah melaknat orang-orang yang telah menghasut saya agar menghukum keluarga Barmaki. Sepeninggal mereka saya tidak bisa lagi merasakan satu pun kenikmatan atau pengharapan. Demi Allah, saya sudah membuang separuh umurku dan kekuasaanku. saya telah membiarkan mereka dalam keadaan yang menderita.”
Mungkin catatan kisah Ar Rasyid dalam peristiwa yang dramatik itu akan menjadi bahan pembahasan yang terus berlanjut tanpa habis. Namun tampaknya, itu hanya sebagian dari keseluruhan catatan sejarah dunia tentang kisah keshalihan, kepemimpinan, kebijaksanaan, dan pengajarannya yang begitu berjasa bagi peradaban dunia secara keseluruhan.
Imam Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam An Nubala menyatakan bahwa Harun Ar-Rasyid termasuk khalifah yang paling terhormat, dan raja yang mengalami kejayaan, ia rajin menunaikan ibadah haji dan turun berlaga di medan jihad, mempunyai watak pemberani dan pandangan yang luas.
Harun Ar-Rasyid adalah seorang khalifah yang taat beragama, shalih, dermawan, hampir bisa disamakan dengan khalifah Umar bin Abdul Aziz, dari Bani Umayyah. Sepanjang hidupnya, Ar Rasyid selalu suka bergaul dengan para ulama dan begitu mengagungkan kehormatan agama. Semasa menjadi khalifah dia selalu melakukan shalat sebanyak seratus rakaat setiap hari sampai akhir hayatnya. Dia tidak pernah meninggalkan kebiasaan tersebut kecuali dalam keadaan sakit. Dan jabatan khalifah yang disandangnya pun tidak membuat langkahnya terhalang untuk turun ke jalan-jalan pada malam hari, hanya untuk melihat keadaan sekitar yang sebenarnya. Apa yang terjadi dan menimpa kaum lemah, ia ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri untuk kemudian memberi bantuan. Dia tidak segan bersedekah dari sakunya sendiri sebanyak seribu dirham setiap hari.
Khalifah Harun Ar-Rasyid telah berjaya membangun pemerintahan Islam kerajaan Bani Abbasiyyah hingga mencapai puncak kegemilangan dalam berbagai bidang kehidupan. Kerajaan Bani Abbasiyyah pada zamannya telah menjadi pusat perdagangan dan pusat ilmu pengetahuan internasional. Dia telah mengangkat popularitas Bani Abbasiyyah dan bahkan dunia Islam untuk mencapai puncaknya melalui peningkatan kesejahteraan rakyat, pengembangan ilmu pengetahuan, dan hubungan diplomatic dengan negara luar. Popularitasnya telah menghiasi sejarah dunia. Jiwa kesatrianya telah mencerminkan kembali ciri-ciri kepemimpinan Islam sebagaimana ciri-ciri yang diajarkan oleh Rasulullah Saw., yaitu tatkala Ar Rasyid bertindak memimpin sendiri bala tentera untuk menghadapi musuh negara atau kerajaan. Sampai-sampai akhir hayatnya pun terjadi ketika sedang memimpin pasukan perang.
Sebagaimana ditulis Imam As-Suyuthi, ia meninggal saat hendak memimpin perang di kota Thus. Sebuah riwayat menceritakan, bahwa Harun Ar-Rasyid pernah bermimpi tentang kematiannya. Dalam mimpinya ia melihat bahwa dirinya menggenggam tanah berwarna merah dan akan meninggal di wilayah kota Thus. Dia pun memerintahkan para pasukannya untuk menggalikan kuburan untuknya di sana.
Harun Ar Rasyid pun pergi dan sesampainya di tempat yang dituju, ketika kuburannya sudah digali, ia pun melihat dari atas ontanya ke arah dalam kuburannya seraya berkata, “Wahai anak Adam, apakah pada tempat yang demikian itu kalian akan kembali?” lalu, ia pun memerintahkan untuk menutup kembali kuburannya itu. Tiga hari kemudian, khalifah Harun Ar-Rasyid pun meninggal dunia tepat saat tiba di kota Thus dan dikuburkan di tempat itu pada tanggal 3 atau 4 Jumadil Tsani 193 H/809 M. Setelah menjabat sebagai khalifah selama lebih kurang 23 tahun 6 bulan, Ar-Rasyid kembali keharibaan Tuhan. Pada saat meninggal usianya menginjak 45 tahun, dan yang bertindak sebagai imam shalat jenazahnya ketika itu adalah anaknya sendiri yang bernama Shalih. Kerajaan Bani Abbasiyyah dan dunia Islam ketika itu benar-benar kehilangan sosok pemimpin yang shalih, berilmu dan adil.
Hikmah Harun Ar-Rasyid
Dengan mengenal sosok khalifah Harun Ar-Rasyid, semoga kita bisa memetik pelajaran-pelajaran berharga yang menggugah kesadaran sejarah kita untuk kembali bercermin ulang pada perjalanan para pendahulu kita yang telah mampu membangun sebuah tatanan kehidupan yang demikian agung dan disegani. Dengan membacanya, semoga memacu kita untuk menyelami makna hakiki dari sebuah episode kehidupan tokoh sejarah sehingga kita menyadari peran sejarah yang seharusnya kita jalani.
Meskipun sebagai manusia biasa dia tidak lepas dari fitnah dan tidak luput dari ketidaksempurnaan, namun sejarah telah mencatat dengan tinta emasnya bahwa Harun Ar-Rasyid adalah salah satu tokoh pemimpin agung dan gemilang dalam sejarah dunia. Kini kisah kepemimpinan dan keteladanannya yang luhur mestinya menjadi buah sejarah yang akan selalu segar dalam ingatan. Kisahnya mesti membuat kita semakin menyadari peran sejarah apa yang seharusnya kita mainkan di dalam kehidupan ini. Dan kisahnya pun, mesti menjadi hikmah bagi diri untuk membangkitkan ruh keimanan, keilmuan, dan perjuangan dalam membangun sejarah diri, sebagai sejarah yang dikemudian hari setiap orang akan mengenangnya dan mendoakan kebaikan untuk diri dalam waktu yang tidak terbatas. Insyaa Allah.
Rujukan
Adz Dzahabi. Ringkasan Siyar ‘Alam An Nubula. Penyusun: Muhammad Hassan bin Aqil. Penerbit Buku Islam Rahmatan
As Sirjani, Raghib. 2009. Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia. Terjemahan. Jakarta: Pustaka Al Kautsar
As Suyuthi. 2001. Tarikh Khulafa. Terjemahan. Jakarta: Pustaka Al Kautsar
Bastomi, Hepi Andi. 2008. Sejarah Para Khalifah. Jakarta: Pustaka Al Kautsar
Tarikuddin. Pemerintahan Kerajaan Bani Abbasiyyah. Johor Bahru: Perniagaan Jahabersa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H