3. Sosok Ayah (Part 4)
Aku masih menyimpan tanda tanya itu ketika Pak Salim mengantarkan aku dan Fajar ke ujung Jalan Ikan Mujaer. Pagi itu, kami sudah berkemas, berpamitan
dan berterimakasih pada Ibu Salim dan Aliya.
Fajar bahkan sempat menggoda dan mencubit pipi Aliya yang nggemesin.
Fajar menuntun motornya ke depan jalan, sementara aku dan Pak Salim
berjalan di belakangnya. Aku bertanya kepada Pak Salim,
“Pak Salim bolehkah aku memanggilmu ayah?”
Dengan lembut Pak Salim menjawab, “ya, nak Aris, gapapa.
Saya sebenarnya juga pernah punya putra,
mungkin sekarang usianya sudah sekamu.”
Aku menjadi yakin bahwa Yusuf S adalah Yusuf Salim, Pak Salim adalah ayahku.
Dengan perasaan menggebu, aku langsung to the point,
“Apa dulu Pak Salim pernah punya istri bernama Suhartiningsih?
Tinggal di Simorejo?”
Pak salim kaget dan menghentikan langkahnya, beliau menatapku tajam,
“nak Aris, dari mana tahu nama itu?”
“Dia adalah Ibuku”
Seketika itu juga Pak Salim memelukku, matanya berkaca-kaca,
semakin erat dia memelukku,
“Aris kamu adalah anak ayah!
Ayah minta maaf nak! Ayah dulu harus pergi, Ayah minta maaf!”
Aku tertegun, tak berkata-kata,
hanya memeluk ayah, hanya memeluk ayah....
Ayah, akhirnya aku bertemu denganmu. Kamulah sosok yang ku rindukan
selama ini. Meski aku besar tanpamu, sosokmu tak pernah tergantikan.
Samar-samar kebahagiaan masa kecil bersamamu dan Ibu
selalu menjadi mimpi-mimpiku.
Ibu kini telah tiada dan meninggalkan sebuah rahasia akan masa laluku.
Aku berharap bisa mengetahui asal-usulku darimu Ayah.
***
Pertemuan tak terduga dengan ayah adalah salah satu kebahagiaan
dalam hidupku. Sahabatku Fajar juga senang mengetahui hal tersebut.
Ayah Yusuf begitu sedih ketika mengetahui bahwa Ibu Ningsih
sudah meninggal. Sejatinya Ayah memintaku untuk tinggal bersamanya,
beliau bahkan bilang mau membiayai seokalahku hingga perguruan tinggi,
namun aku menolaknya dengan halus khawatir akan memberatkan beliau.
Dulu ayah terpaksa pergi meninggalkan aku dan Ibu karena konflik dengan nenek.
Nenek meminta agar ayah berhenti menjadi pelaut, dan mencari pekerjaan lain.
Karena bagi nenek, menjadi pelaut membuatnya jauh dari keluarga,
buat apa bekerja jauh-jauh jika tidak bisa bersama keluarga.
Tapi ayah tidak bisa, karena beliau terlanjur cinta dengan laut.
Lautan seperti sudah menjadi rumah keduanya.
Percecokkan dan pertengkaran nenek dengan ayah semakin berlarut-larut,
puncaknya nenek mengusir ayah dan ayah didorong rasa harga dirinya
memilih pergi. Ibu tidak bisa melakukan apa-apa atas kepergian ayah
karena dilarang oleh nenek. Di luar masalah laut, ayah sebenarnya
sangat sayang dengan Ibu dan aku.
Tapi dorongan emosi membuat situasi saat ini menjadi lain.
Ayah kemudian menikah lagi dengan ibunya Aliya, dan semenjak Aliya lahir,
beliau memutuskan untuk berhenti menjadi pelaut agar lebih banyak
waktu untuk keluarganya. Beliau tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama
ketika bersama Ibu dan aku. Ayah lebih baik menjadi sopir dengan penghasilan
yang pas-pasan tetapi bisa dekat dengan istri dan anaknya, putri kecil cantik
berambut panjang, Aliyah, yang ternyata adik tiriku.
Sayang, Ayah juga tidak mengetahui dengan pasti darimana asal-usulku?
Siapa keluargaku sebenarnya? Karena memang nenek-lah yang mengetahuinya.
Satu minggu kemudian aku kembali mengunjungi ayah Yusuf,
aku sudah menceritakan semua perihal keinginanku untuk mencari
keluarga kandungku. Pada prinsipnya ayah mendukung, namun dia tidak bisa
memberikan petunjuk karena memang tidak tahu.
Dalam kesempatan pertemuan berikutnya, Ayah menasehatiku.
“Ris, sampai kapan kamu mencari keluarga kandungmu! Sudahlah sekarang
kamu tinggal di rumah Ayah saja, biarkan ayah membalas kesalahan masa lalu Ayah”
“Ayah, bukannya aku tidak senang bisa kembali sama Ayah,
Tapi... Ini menyangkut jati diri dan mungkin masa depanku Ayah”
“Ayah tahu, Ris... memang itu penting, tapi kamu harus ingat,
Masih ada keluargamu yang lain, masih ada Ayah, masih ada Pak Lek dan Bu Lek-mu!
Meski tidak ada hubungan darah, mereka semua adalah keluargamu!”
Aku tertegun dan menundukkan muka,
Ayah mendekatiku dan berkata,
“Ris, jati diri seseorang tidak akan hilang, meski dia tidak tahu masa lalunya”
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H