Mohon tunggu...
depra rasio
depra rasio Mohon Tunggu... Administrasi - Staf di Sekolah Tinggi

Membaca dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Seratus Hari Menulis Novel FC - Aku Ini Siapa? (10)

30 Maret 2016   16:19 Diperbarui: 30 Maret 2016   16:45 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

3. Sosok Ayah (Part 4)

 

Aku masih menyimpan tanda tanya itu ketika Pak Salim mengantarkan aku dan Fajar ke ujung Jalan Ikan Mujaer. Pagi itu, kami sudah berkemas, berpamitan 

dan berterimakasih pada Ibu Salim dan Aliya.

Fajar bahkan sempat menggoda dan mencubit pipi Aliya yang nggemesin. 

Fajar menuntun motornya ke depan jalan, sementara aku dan Pak Salim 

berjalan di belakangnya. Aku bertanya kepada Pak Salim,

“Pak Salim bolehkah aku memanggilmu ayah?”

Dengan lembut Pak Salim menjawab, “ya, nak Aris, gapapa. 

Saya sebenarnya juga pernah punya putra, 

mungkin sekarang usianya sudah sekamu.”

Aku menjadi yakin bahwa Yusuf S adalah Yusuf Salim, Pak Salim adalah ayahku.

Dengan perasaan menggebu, aku langsung to the point, 

“Apa dulu Pak Salim pernah punya istri bernama Suhartiningsih? 

Tinggal di Simorejo?”

Pak salim kaget dan menghentikan langkahnya, beliau menatapku tajam,

“nak Aris, dari mana tahu nama itu?”

“Dia adalah Ibuku”

Seketika itu juga Pak Salim memelukku, matanya berkaca-kaca, 

semakin erat dia memelukku,

“Aris kamu adalah anak ayah!

Ayah minta maaf nak! Ayah dulu harus pergi, Ayah minta maaf!”

Aku tertegun, tak berkata-kata, 

hanya memeluk ayah, hanya memeluk ayah....

 

Ayah, akhirnya aku bertemu denganmu. Kamulah sosok yang ku rindukan 

selama ini. Meski aku besar tanpamu, sosokmu tak pernah tergantikan. 

Samar-samar kebahagiaan masa kecil bersamamu dan Ibu 

selalu menjadi mimpi-mimpiku. 

Ibu kini telah tiada dan meninggalkan sebuah rahasia akan masa laluku. 

Aku berharap bisa mengetahui asal-usulku darimu Ayah.

 

***

 

Pertemuan tak terduga dengan ayah adalah salah satu kebahagiaan

dalam hidupku. Sahabatku Fajar juga senang mengetahui hal tersebut. 

Ayah Yusuf begitu sedih ketika mengetahui bahwa Ibu Ningsih 

sudah meninggal. Sejatinya Ayah memintaku untuk tinggal bersamanya, 

beliau bahkan bilang mau membiayai seokalahku hingga perguruan tinggi, 

namun aku menolaknya dengan halus khawatir akan memberatkan beliau. 

Dulu ayah terpaksa pergi meninggalkan aku dan Ibu karena konflik dengan nenek. 

Nenek meminta agar ayah berhenti menjadi pelaut, dan mencari pekerjaan lain.

Karena bagi nenek, menjadi pelaut membuatnya jauh dari keluarga, 

buat apa bekerja jauh-jauh jika tidak bisa bersama keluarga. 

Tapi ayah tidak bisa, karena beliau terlanjur cinta dengan laut. 

Lautan seperti sudah menjadi rumah keduanya. 

Percecokkan dan pertengkaran nenek dengan ayah semakin berlarut-larut, 

puncaknya nenek mengusir ayah dan ayah didorong rasa harga dirinya 

memilih pergi. Ibu tidak bisa melakukan apa-apa atas kepergian ayah 

karena dilarang oleh nenek. Di luar masalah laut, ayah sebenarnya 

sangat sayang dengan Ibu dan aku. 

Tapi dorongan emosi membuat situasi saat ini menjadi lain. 

Ayah kemudian menikah lagi dengan ibunya Aliya, dan semenjak Aliya lahir, 

beliau memutuskan untuk berhenti menjadi pelaut agar lebih banyak 

waktu untuk keluarganya. Beliau tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama

ketika bersama Ibu dan aku. Ayah lebih baik menjadi sopir dengan penghasilan

yang pas-pasan tetapi bisa dekat dengan istri dan anaknya, putri kecil cantik

berambut panjang, Aliyah, yang ternyata adik tiriku.

 

Sayang, Ayah juga tidak mengetahui dengan pasti darimana asal-usulku? 

Siapa keluargaku sebenarnya? Karena memang nenek-lah yang mengetahuinya. 

Satu minggu kemudian aku kembali mengunjungi ayah Yusuf, 

aku sudah menceritakan semua perihal keinginanku untuk mencari 

keluarga kandungku. Pada prinsipnya ayah mendukung, namun dia tidak bisa 

memberikan petunjuk karena memang tidak tahu. 

Dalam kesempatan pertemuan berikutnya, Ayah menasehatiku.

 

“Ris, sampai kapan kamu mencari keluarga kandungmu! Sudahlah sekarang

kamu tinggal di rumah Ayah saja, biarkan ayah membalas kesalahan masa lalu Ayah”

 

“Ayah, bukannya aku tidak senang bisa kembali sama Ayah,

Tapi... Ini menyangkut jati diri dan mungkin masa depanku Ayah”

 

“Ayah tahu, Ris... memang itu penting, tapi kamu harus ingat,

Masih ada keluargamu yang lain, masih ada Ayah, masih ada Pak Lek dan Bu Lek-mu!

Meski tidak ada hubungan darah, mereka semua adalah keluargamu!”

 

Aku tertegun dan menundukkan muka,

Ayah mendekatiku dan berkata,

“Ris, jati diri seseorang tidak akan hilang, meski dia tidak tahu masa lalunya”

 

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun