'Boleh aku ikut?' tanyaku penuh harap.
Mereka berhenti bermain dan memandangiku. 'Siapa kamu?'
'Namaku Dani. Boleh ikut main?'
Mereka memandangiku lama sekali. Aku jadi tidak enak dibuatnya. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berdiri di sebelahku.
'Yang terawat dan yang tidak terawat.' Kata salah seorang dari mereka.
Mereka semua tertawa terbahak-bahak. Aku tidak mengerti apa yang mereka terwakan.
Tiba-tiba tante Akim datang dari belakangku. 'Eh, jangan begitu anak-anak.' Katanya. 'Dia bukannya tidak terawat tapi dia memang keturunan tiko.' Kata tante Akim sambil tersenyum sinis.
Semua saudara sepupuku tertawa lagi. Aku tetap tidak mengerti kalau akulah yang mereka tertawakan. Pada saat itulah ibu datang sambil menangis dan Iangsung membawaku pergi.
'Kenapa, bu? Tanyaku. Tapi ibu tidak pernah menjawab. Aku baru tahu kejadian sebenarnya bertahunÂtahun kemudian kalau ternyata atas hasutan tante Akim nenek tidak mengakui ayah sebagai menantunya. Lebih parah lagi nenek dan keluarga besarnya tidak mengakui keberadaan ibu. Dan aku? Aku tidak pernah dianggap ada. Bagi mereka aku tidak Iebih dari anak haram.
'Kenapa, Dan? Kok bengong?' tanya ayahnya saat melihat Dani tidak menanggapi usulnya. 'Nggak apa, yah.'
'Jadi kamu mau ngomong sama tante Akim?'