Mohon tunggu...
denny pranolo
denny pranolo Mohon Tunggu... -

Seorang editor di sebuah penerbitan di bandung, seorang penerjemah dan penulis. Seorang penggemar karya sastra yang tidak biasa, dan kadang2 suka narsis sendiri dan seorang Sherlock Holmes maniak.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Namaku Tuhan

23 Agustus 2010   08:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:47 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dan tanpa sadar manusia juga mempercayakan hidupnya di tangan dokternya. Kalau dokternya mau, bisa saja dia memberi racun kepada pasiennya dan selesai sudah.

Aku selesai sekolah kedokteran  dan tetek bengeknya satu tahun lebih cepat dari orang lain. Wajar memang karena aku kan Tuhan. Setelah lulus, dapat izin praktek, mulailah aku buka praktek.

Sebentar saja aku menjadi terkenal. Orang-orang mengenalku sebagai dokter Tuhan. Aku adalah dokter yang dikenal bisa menyembuhkan sakit separah apapun. Tapi orang-orang tidak tahu kalau ada beberapa pasien yang berobat kepadaku yang sengaja kubunuh. Kenapa? Karena mereka memang tidak layak hidup.

Belum pernah aku merasa sebahagia ini. Mungkin karena aku sudah menemukan tujuan hidupku. Aku adalah Tuhan. Aku menentukan nasib seseorang. Dan aku tidak menentukan apakah mereka layak hidup atau mati sesukaku, tapi karena aku tahu. Entah bagaimana menjelaskannya, tapi begitu melihat seseorang aku langsung tahu orang ini layak hidup atau harus mati.

Suatu hari aku kedatangan pasien spesial. Ibuku sendiri. Begitu melihatnya aku tahu dia harus hidup. Jadi setelah diperiksa aku memberinya obat. Tapi belum lagi dia melangkah keluar dari ruang praktekku, ibu langsung roboh.

Tergopoh aku langsung mengangkatnya dan menaruhnya di ranjang dan langsung melakukan pemeriksaan kilat. Napasnya tersengal-sengal. Somehow aku tahu hidupnya tidak akan lama. Tapi kenapa? Bukankah aku sudah putuskan kalau dia akan hidup?

"Nak..." kata ibu dengan napas tersengal-sengal.

"Ibu..." air mata mengalir di pipiku. "Jangan mati..."

Dan tepat setelah aku menyelesaikan kata-kataku, ibu menghembuskan napas terakhirnya.

"Tidaaaaakk...."

Tidaaaakkkkk.....tidaaaakkkkk.....ini tidak mungkin terjadi. Aku Tuhan. Aku yang menentukan nasib manusia. Tidak. Tidak. Tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun