"Kalau kamu, dek?" tanya Ayah.
Leonardus mengangkat bahu. "Aku belum tahu. Lagi pula, kenapa harus memikirkan itu sekarang? Toh masih lama."
Markus menatap adiknya dengan prihatin. Ia tahu adiknya cerdas, tetapi malasnya sering menjadi penghalang untuk maju.
Hari-hari berlalu. Markus terus belajar dengan giat, sementara Leonardus tetap sibuk dengan ponselnya. Suatu hari, Markus mendapatkan kesempatan untuk mengikuti seleksi beasiswa ke kota besar. Ayah dan Ibu sangat mendukungnya.
"Doakan aku, ya, Leonardus," ujar Markus sebelum berangkat.
Leonardus hanya mengangguk sambil berkata, "Semoga beruntung." Namun dalam hati, Leonardus merasa iri.
Setelah Markus pergi, Leonardus merasa rumah menjadi sepi. Ia mulai merindukan kakaknya, tetapi rasa irinya tetap membara. Beberapa bulan kemudian, Markus kembali dengan kabar baik. Ia diterima di universitas ternama dengan beasiswa penuh. Ayah, Ibu, dan seluruh warga desa merasa bangga. Namun, Leonardus malah bersikap dingin.
"Ah, beruntung saja dia. Kalau aku yang pergi, pasti aku juga bisa seperti itu," ucap Leonardus dengan nada meremehkan.
Ibu yang mendengar itu tidak bisa menahan diri. "Leonardus, sampai kapan kamu akan menyalahkan orang lain atas kemalasanmu sendiri? Kamu cerdas, tapi kamu sendiri yang menghambat masa depanmu!" Kata-kata Ibu seperti tamparan bagi Leonardus. Ia mulai merenung. Selama ini, ia selalu mencari alasan, selalu menyalahkan keadaan, dan tidak pernah sungguh-sungguh berusaha. Beberapa tahun kemudian, Markus berhasil menjadi dokter muda. Sementara itu, Leonardus, setelah perjuangan panjang melawan rasa malasnya, mulai membangun bisnis kecil di desanya. Hari itu,Â
Leonardus menemui Markus di klinik sederhana yang baru dibangun di desa mereka. "Kak, aku minta maaf. Dulu aku terlalu malas dan egois. Tapi sekarang aku ingin membuktikan kalau aku juga bisa berbuat sesuatu untuk masa depanku," ujar Leonardus tulus. Markus tersenyum dan menepuk pundak adiknya. "Aku selalu percaya kamu bisa, Leo. Jangan biarkan dirimu sendiri menjadi penghambat masa depanmu." Dua kakak-adik  itu akhirnya berjalan beriringan, membangun masa depan bersama, dan menjadi kebanggaan bagi keluarga mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H