Matahari bersinar terik di desa kecil tempat Markus dan Leonardus tinggal. Dua kakak dan adik ini dikenal sangat berbeda. Markus, si sulung, selalu patuh, rajin, dan memiliki cita-cita besar untuk menjadi seorang dokter. Sementara itu, Leonardus, si bungsu, cenderung malas, suka mencari alasan, dan sering mengeluh tentang hidupnya.
Di rumah kecil mereka, Ayah dan Ibu selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk kedua anaknya meski hidup serba pas-pasan. Ayah bekerja sebagai buruh tani, sedangkan Ibu menjual kue di pasar.
"Markus, Ibu minta tolong jemur cucian ini, ya." kata Ibu suatu pagi.
"Baik, Bu," jawab Markus sambil bergegas mengambil cucian.
Di sisi lain, Leonardus hanya duduk di kursi sambil memainkan ponselnya.
"Leo, bantu kakakmu, ya," kata Ibu dengan nada lembut.
"Ah, Ibu kan tahu aku capek! Lagi pula, itu kan tugas Kakak," jawab Leonardus dengan santai.
Markus hanya menghela napas sambil tetap melanjutkan pekerjaannya. Dia tahu Leonardus selalu punya alasan untuk menghindari tanggung jawab.
Suatu malam, di meja makan, Ayah berbicara serius kepada kedua anaknya.
"Kalian sudah besar, Markus dan Leonardus. Ayah ingin kalian memikirkan masa depan dengan sungguh-sungguh. Hidup ini tidak akan mudah kalau kalian tidak berusaha."
"Ayah tenang saja, aku sudah tahu apa yang ingin aku capai. Aku ingin menjadi seorang dokter," kata Markus penuh keyakinan.
Ayah tersenyum bangga, sementara Ibu memandang Markus dengan mata berkaca-kaca.
"Kalau kamu, dek?" tanya Ayah.
Leonardus mengangkat bahu. "Aku belum tahu. Lagi pula, kenapa harus memikirkan itu sekarang? Toh masih lama."
Markus menatap adiknya dengan prihatin. Ia tahu adiknya cerdas, tetapi malasnya sering menjadi penghalang untuk maju.
Hari-hari berlalu. Markus terus belajar dengan giat, sementara Leonardus tetap sibuk dengan ponselnya. Suatu hari, Markus mendapatkan kesempatan untuk mengikuti seleksi beasiswa ke kota besar. Ayah dan Ibu sangat mendukungnya.
"Doakan aku, ya, Leonardus," ujar Markus sebelum berangkat.
Leonardus hanya mengangguk sambil berkata, "Semoga beruntung." Namun dalam hati, Leonardus merasa iri.
Setelah Markus pergi, Leonardus merasa rumah menjadi sepi. Ia mulai merindukan kakaknya, tetapi rasa irinya tetap membara. Beberapa bulan kemudian, Markus kembali dengan kabar baik. Ia diterima di universitas ternama dengan beasiswa penuh. Ayah, Ibu, dan seluruh warga desa merasa bangga. Namun, Leonardus malah bersikap dingin.
"Ah, beruntung saja dia. Kalau aku yang pergi, pasti aku juga bisa seperti itu," ucap Leonardus dengan nada meremehkan.
Ibu yang mendengar itu tidak bisa menahan diri. "Leonardus, sampai kapan kamu akan menyalahkan orang lain atas kemalasanmu sendiri? Kamu cerdas, tapi kamu sendiri yang menghambat masa depanmu!" Kata-kata Ibu seperti tamparan bagi Leonardus. Ia mulai merenung. Selama ini, ia selalu mencari alasan, selalu menyalahkan keadaan, dan tidak pernah sungguh-sungguh berusaha. Beberapa tahun kemudian, Markus berhasil menjadi dokter muda. Sementara itu, Leonardus, setelah perjuangan panjang melawan rasa malasnya, mulai membangun bisnis kecil di desanya. Hari itu,Â
Leonardus menemui Markus di klinik sederhana yang baru dibangun di desa mereka. "Kak, aku minta maaf. Dulu aku terlalu malas dan egois. Tapi sekarang aku ingin membuktikan kalau aku juga bisa berbuat sesuatu untuk masa depanku," ujar Leonardus tulus. Markus tersenyum dan menepuk pundak adiknya. "Aku selalu percaya kamu bisa, Leo. Jangan biarkan dirimu sendiri menjadi penghambat masa depanmu." Dua kakak-adik  itu akhirnya berjalan beriringan, membangun masa depan bersama, dan menjadi kebanggaan bagi keluarga mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI