Dongeng! Banyak diantara kita yang menghabiskan masa kecil dengan bertemankan dongeng menjelang tidur. Penuh drama pada awalnya, indah pada akhirnya, serta bahagia selama-lamanya. Selalu demikian adanya kan? Sebut saja Bawang Merah dan Putih, Cinderella, Putri Salju, Timun atau Keong Mas, Lutung Kasarung, dan banyak lagi lainnya. Tapi apakah kalian yakin mereka hidup berbahagia selamanya? Tidak adakah kekerasan dalam rumah tangga, tunggakan utang kepada rentenir yang melilit kehidupan sehari-hari, atau masalah-masalah kehidupan yang lazimnya ditemui dalam sinetron Indonesia? Maka untuk alasan itulah tulisan ini hadir. Mengulik cerita dibalik dongeng yang melegenda. Bahwa semuanya tidak baik-baik saja seperti cerita yang terlanjur diperdengarkan dan diadaptasi ke dalam film animasi yang dikonsumsi anak-anak kita. Dongeng-dongeng itu mengabaikan fakta yang sejatinya lebih hidup, realistis, dan tentu saja dramatis.
        Kita tentu saja sudah mahir menuturkan cerita Lutung Kasarung yang berakhir manis, dimana Purbasari dan Purbararang berdamai. Mereka hidup berdampingan sebagai adik dan kakak, menjalankan kekuasaan kerajaan warisan ayahanda mereka, menikah dengan pasangan masing-masing, dan melupakan semua intrik sebelumnya. Sungguh bukan seperti itu keadaan sebenarnya. Oiya, sebelum kalian membaca lebih lanjut ceritaku, maka aku sangat menyarankan kalian mencari tahu cerita Lutung Kasarung yang sudah terlanjur melegenda di masyarakat kita. Kenapa? Agar dalam setiap plot twist yang akan muncul dalam tulisanku nanti, kalian tinggal membenarkan seraya berkata "Ohh, jadi seperti itu kejadian sebenarnya?"
***
        Apa yang dialami oleh Purbasari di akhir dongeng tak lepas dari peran Lutung Kasarung atau yang dalam wujud aslinya adalah Sanghyang Guruminda. Lelaki yang tak lain adalah seorang aristokrat sejati, bangsawan, jelas tahu lebih banyak terkait bagaimana mengelola kerajaan dibanding Purbasari. Pasca sayembara yang dimenanginya, Purbasari tidak serta merta menjadi ratu di Kerajaan Pasir Batang. Dia harus menjalani masa orientasi atau magang, jika kita menggunakan istilah kekinian. Dia memang bertalenta, tapi apalah daya, dia tidak pernah mengoordinasikan pelaksanaan pekerjaan apapun di kerajaan selama ini. Justru figur aristokrat sang Guruminda-lah yang mengajari, membimbing, mendukung Purbasari dalam menyelesaikan segala perintah sang raja.
        Sempurna! Guruminda yang semampai, berbadan proporsional, mempunyai senyum yang khas serta memiliki paras berhias jambang yang makin mengukuhkan kedewasaannya, melengkapi kepiawaiannya dalam mengelola urusan kerajaan. Purbasari tentu semakin bergantung kepadanya. Sangat! Tak ayal lagi sang raja pun lebih memilih berdiskusi dengan Guruminda daripada dengan Purbasari jika terkait segala urusan kerajaan. Kapasitas, itu satu-satunya argumentasi yang mendasar. Purbasari yang hanya diam jika dimintakan pendapat, maka bersuaralah Guruminda untuk memberikan penjelasan dan jawaban, tuntas dan memuaskan. Bagi Guruminda, bukankah memang demikian seharusnya, karena dia akan mendampingi Purbasari, menjadi suami dari sang ratu, hidup bahagia bersama selama-lamanya? Tapi ternyata tidak demikian yang berkecamuk dalam pemikiran Purbasari yang penuh praduga.
        "Kamu terlihat bernafsu sekali menjadi raja ya? Kamu ingin mengambil alih posisiku sebagai pewaris kerajaan ini? Hah?" Purbasari menuduh. Intonasi suaranya naik. Tapi bukankan memang selalu demikian. Harusnya Guruminda tidak kaget dengan tabiat Purbasari kan?
        "Aku tidak bermaksud demikian Adinda. Aku tahu posisiku. Aku hanya ingin terus mendukung Adinda untuk...." Guruminda mencoba menjelaskan, walau rasanya tidak ada gunanya, karena Purbasari memang tidak pernah mau menerima pendapat orang lain.
        "Cukup! Kamu tidak perlu cari muka di hadapan Ayah. Aku tidak suka!" Purbasari memotong ucapan Guruminda. Dia melangkah pergi meninggalkan calon suaminya. Bukan hanya meninggalkan dalam arti bergerak secara fisik menjauh. Tetapi lebih dari itu, Purbasari tidak lagi melibatkan Guruminda dalam urusan kerajaan. Bergelar Raden Nganten Purbasari, dialah sang ratu yang menguasai seluruh hajat hidup rakyat Kerajaan Pasir Batang, sejak saat itu. Lantas kemanakah Sanghyang Guruminda, sang aristokrat? Dia meneruskan pengembaraannya ke kotaraja Lebak Benteng, meninggalkan Purbasari, Kerajaan Pasir Batang, dan segala dinamika kerajaan yang terus bergolak ibarat menaiki roller coaster. Berhenti sebentar, tenang, untuk kemudian terombang-ambing kembali, begitu seterusnya.
***
        Purbasari menjadi ratu bukanlah hal yang mengagetkan. Sejak awal Purbasari sudah dipersiapkan oleh sang raja walaupun statusnya sebagai putri bungsu. Sebenarnya masih ada kakak-kakaknya yang lebih pantas dan berpengalaman menggantikan sang raja. Tapi faktor anak kesayanganlah yang menjadi kunci penentu mengapa dia terpilih. Jauh sebelum sayembara yang menghebohkan seperti yang didongengkan, ada kisah yang telah disamarkan.
        Diantara sekian bersaudara, Purbasari remajalah yang pernah diutus oleh sang raja untuk mempelajari ilmu kanuragan ke kotaraja, sedangkan kakak-kakak lainnya cukup diasuh sendiri oleh sang ayahanda. Tentu saja itu diluar kebiasaan. Selain usianya yang masih belia, Purbasari diterima di padepokan hanya berdasarkan rekomendasi sang raja, tanpa melewati ujian kemampuan dasar bela diri. Ini tak ubahnya seperti sebuah hadiah. Tidak hanya sampai disitu, selama proses mempelajari ilmu kanuragan di kotaraja, ternyata Purbasari tidak mampu memenuhi minimum requirement dari sang guru. Mengecewakan sekali!
Ahhh..., aku sebenarnya tak ingin mengulang kisah ini. Aku pernah menceritakan sebelumnya di bagian akhir kisah Ketika Crazy "Rich" Asians adalah Kita. Saat itu aku memang tak menyebut secara spesifik bahwa itu adalah cerita Purbasari, akan tapi peristiwa yang melibatkan sang maharesi, sang putri, dan sang raja cukup mewakili kisah ini. Sang putri yang tidak mampu memenuhi ketentuan kenaikan tingkat, sang maharesi yang menegakkan aturan disiplin padepokan, serta sang raja yang melakukan lobi tingkat tinggi agar sang putri tidak dipulangkan karena gagal. Mengapa? Karena satu muslihat memang seharusnya ditutupi dengan muslihat lainnya bukan? Alamiahnya demikian, kalian tidak perlu heran.
Sang raja tidak sepenuhnya bersalah, tentu saja. Ada sang ratu yang menjadi pembisik setia. Handayani. Ampuun, ternyata aku sangat tidak kreatif. Mengapa aku harus menggunakan nama yang sama dari cerita Tembe Kanjeng Romo Murka. Ahhh sudahlah, abaikan saja, hanya kebetulan semata. Ratulah yang mempengaruhi sang raja untuk lebih memilih Purbasari dibanding putri lainnya. Maka dengan kehendak semesta: rasa sayang, perhatian, dukungan, pembelaan sang raja membabi buta untuk Purbasari.
***
        "Mboookkk, aku mau mandi! Ini kenapa belum siap? Cepaaaaat!" Terdengar suara Purbasari dari dalam pemandian keputren. Sekedar suara? Tentu saja tidak. Itu lebih kearah teriakan, jeritan, intonasi ketus, tidak bersahabat, dan mengintimidasi. Sejatinya tanpa menggunakan pilihan nada dasar itupun, semua abdi dalem pasti akan tunduk. Dia penguasa yang menentukan hajat hidup orang banyak bukan?
        "Ngapunten Den Nganten, ini sudah saya siapkan seperti biasanya, air hangat dengan rendaman bunga melati. Tadi Maharani meminta bantuan saya untuk memetik bunga melati dari halaman keputren." Wulandari, salah satu emban keputren berusaha menjelaskan.
        "Punten ndalem sewu Den Nganten, betul demikian. Tadi Den Nganten Purbasari meminta saya menyiapkan air hangat dengan rendaman bunga berwarna putih untuk mandi. Karena saya sedang menyiapkan perapian, saya minta bantuan Wulandari untuk mengambil bunga berwarna putih...." Jlebh! Tiba-tiba Maharani menyadari, ada yang salah dengan eksekusi tugasnya kali ini.
        "Dasar bodoh kalian berdua! Aku maunya mawar putih, bukan melati. Urusan seperti ini saja kalian tidak becus! Kalian ini bisanya kerja apa sih?" Purbasari melontarkan peluru amarahnya kepada dua emban keputren yang sedang apes kali ini. Peluru yang tiada habisnya tertumpah hampir setiap hari kepada emban keputren maupun prajurit yang berjaga di sekitar istana.
        "Ngapunten Den Nganten, panjenengan dalem biasanya pakai melati, jadi kami berdua menurut pada kebiasaan selama ini." Maharani berusaha membela diri. Dan Wulandari menambahkan hampir bersamaan. "Injih leres mekaten Den Nganten, sebelumnya kami pernah siapkan mawar putih tapi panjenengan dalem ngersakaken melati." Tapi justru itu makin memperkeruh keadaan. Purbasari muntab. "Semua kan terserah saya! Saya junjungan kalian disini! Kalian mau apa? Haahh?"
        Tragis? Tentu saja. Maharani meracau dalam isak tangis yang tertahan, ngeri dengan segala ulah Purbasari. "Aku mau pulang kampung saja, aku sudah tidak kuat lagi disini." Tak ubahnya dengan Maharani, namun Wulandari lebih ekspresif lagi, dia menangis dengan kencang, berurai air mata, dan mengumpat lantang dengan segenap amarah "Dasaaar Lampiiiiirrrr...."
***
        Tak ubahnya dengan dua emban yang bernasib mengenaskan, prajurit penjaga keputren pun tak luput dari perangai unik Raden Nganten Purbasari. Justru setelah dia diangkat menjadi ratu di Kerajaan Pasir Batang, kelakuannya berubah terbalik dibanding sebelumnya.
        "Hei kalian berdua, aku mau kalian melaporkan berapa jumlah warga di negeri bawahan kerajaan ini. Kalian harus datang langsung kesana dengan cara apapun, aku tidak mau tahu, pokoknya dalam dua hari ini harus sudah selesai." Purbasari memerintah dua prajurit keputren saat itu juga, tiba-tiba.
        "Maaf Den Nganten, diluar benteng istana sedang ada pageblug, apa tidak lebih baik kita tunda saja dulu utusan bepergian ini, demi keselamatan bersama, nuwun sewu." Koestimo, seorang prajurit mencoba mengutarakan pendapatnya. Logis, tentu saja. Dia jauh lebih senior dalam urusan kerajaan dan kehidupan.
        "Heehh, yang pageblug kan di luar istana, disini tuh enggak! Lagian kalian kan bisa perginya melipir, pilih jalan lain, jangan lewat daerah yang kena pageblug. Pergi sana, jangan kebanyakan alasan!" Purbasari meradang, tidak mau mendengarkan pendapat si prajurit. "Hehh, kamu mau pakai alasan apalagi buat mangkir dari kerjaan!" Kini giliran prajurit satu lagi yang kena getahnya.
        "Maaf Den Nganten, saya sedang sakit. Kemarin tabib istana menyarankan agar saya istirahat dulu dari aktifitas fisik, apalagi kalau sampai bepergian keluar daerah, akan sangat riskan, ngapunten Den." Koesroedi tanpa bermaksud menghindar dari penugasan, menceritakan kondisi yang sebenarnya.
        "Kalian semua kenapa sih! Selalu saja tidak becus kalau disuruh bekerja. Koesroedi! Kamu kan sakitnya kemarin, buktinya sekarang kamu baik-baik saja. Sana pergi! Kerjakan perintahku! Jangan lagi beralasan." Purbasari melangkah masuk ke dalam keputren, meninggalkan kedua prajurit yang menatap nanar. Menerima perintah yang tidak logis bahkan lebih tepat jika disebut tidak berperikemanusiaan, kedua prajurit itu tidak sanggup untuk berkata tidak.
        Dan benar saja, Koestimo gugur dalam menjalankan tugas kerajaan. Seharusnya menjadi sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi pimpinan kerajaan, jika mereka memiliki hati dan otak yang digunakan sebagaimana mestinya. Tapi ternyata tidak. Kepergian abdi dalem itu dianggap biasa saja. Purbasari adalah penguasa Kerajaan Pasir Batang saat ini. Maka apapun kondisinya seluruh rakyat harus menerima kepemimpinannya. Bisa jadi Purbasari tidak sepenuhnya salah, tetapi raja dan ratu sebelumnya yang salah, mengapa Purbasari yang diangkat sebagai penguasa di kerajaan.
***
        Setiap cerita memang tidak harus selalu berakhir bahagia kan? Karena dalam materi menulis pada pelajaran Bahasa Indonesia, kita telah dikenalkan dengan cerita bertema romantis, komedi, atau tragedi. Dan kehidupan Purbasari sehari-hari memang luput dari dongeng yang telah melegenda dimana hanya dipotong sepenggal saja. Pada setiap dongeng, tokoh harus sepenuhnya baik atau sepenuhnya jahat. Dongeng tidak pernah menempatkan tokoh dengan watak yang pura-pura baik, padahal sejatinya jahat, atau sebaliknya. Tidak popular. Itu saja alasannya. Dan itu pula yang telah dipropagandakan kepada para pembaca dan penikmat cerita, cukup lihat dari cerita yang dituturkan saja. Karena mengulik fakta dibalik cerita itu butuh nyali dan kebersihan hati. Sangat berat!
        Lantas siapa aku sebenarnya? Perkenalkan akulah Raden Indrajaya yang seharusnya duduk di kursi istana. Menikmati pujian sebagai raja yang mendampingi putri sulung pewaris tahta, Purbararang. Tapi karena perseteruan itu, aku terbuang bersama istriku. Dan kisahku tak pernah didongengkan.
***
...sebuah dongeng yang disekuelkan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H