*****
Suasana bangsal keraton nampak mulai lengang. Beberapa abdi dalem sedang membereskan sisa perhelatan yang baru saja selesai diselenggarakan. Pengukuhan dan penobatan panglima dan maharesi kerajaan. Di ujung singgasana keprabon, nampak dua orang lelaki dan perempuan sedang berbicara serius. Usianya tak berpaut jauh, nampak nuansa keakraban namun mengesankan ada aura yang berjarak dan tak kasatmata diantara mereka. Jika menilik dari pakaian serta bahasa tubuh yang ditunjukkan, jelas sang perempuan memiliki kedudukan sosial yang lebih tinggi daripada lawan bicaranya.
"Kangmas Soleman, jika memang sanggar yang panjenengan pimpin sudah ndak bisa ngugemi adat dan budaya jawa yang kita junjung tinggi, lantas mengapa masih harus dipertahankan?" Suara sang perempuan yang terdengar lembut namun tegas dan penuh kharisma. Tutur bahasanya tertata, meski tersirat nada gugup dalam setiap penggalan kata terucap dan nafas terhembus, berat.
"Ngapunten Kanjeng Sri...." Romo Soleman hendak mengutarakan jawaban, entah pembelaan atau pembenaran, namun sang perempuan bernama Handayani memotong ucapannya. Perempuan yang berjuluk Yang Mulia Kanjeng Sri Ratu bagi seluruh rakyat di kerajaan itu.
"Kangmas, kalo njenengan ndak keberatan, mari kita rembugan sebagai kawan lama yang sama-sama pernah ngangsu kawruh di negeri nun jauh disana. Bukan sebagai ratu kerajaan dan pemimpin sanggar tari. Boleh Kang?" Handayani meminta persetujuan. Tidak ada alasan bagi Soleman untuk menolak. "Nuwun injih Nimas Handayani."
"Saya sangat percaya Kangmas punya kemampuan yang luar biasa untuk mengelola sanggar. Tapi dengan melihat perkembangan akhir-akhir ini, saya merasa Sanggar Tari Anoman Nindita sudah ndak seperti dulu lagi. Ingatkan saya kalo mata batin saya salah menangkap njih Kangmas." Handayani mengambil jeda bicara. Menarik nafas dalam-dalam. Butuh letupan kekuatan atau keberanian untuk melanjutkan pembicaraan ini.
"Ngapunten Kangmas, jujur saya meragukan kemampuan Nakmas Sangadji dan Ruswanto dalam hal mengelola sanggar." Akhirnya tumpah sudah gulana yang Handayani pendam selama ini. Selesai? Sepertinya belum. Masih ada goresan yang memilukan yang menjadi pamungkas pembicaraan mereka kali ini.
"Mereka adalah putra kandung Kangmas Soleman, mereka dibesarkan oleh didikan sanggar yang luar biasa saat itu. Saya mengerti dan paham betul. Tapi bisa jadi justru itu yang membuat mereka merasa jumawa bahwa apa yang mereka lakukan saat ini adalah paling benar. Menopo malih, mereka adalah ingkang putro panjenengan. Mungkin alangkah baiknya mereka berdua ndak lagi terlibat di sanggar untuk sementara waktu, atau sanggar diistirahatkan dulu njih Kang, menurut saya, itu akan lebih baik." Dari nada bicara Handayani, ungkapan tersebut bukanlah sebuah permintaan pendapat atau persetujuan, tapi lebih tepat jika disebut sebagai perintah dari sang ratu.Â
*****
Pantulan warna jinga dari matahari sore menyeruap ke seluruh penjuru sanggar. Membungkus tubuh-tubuh gemulai yang sedang meliuk seiring ketukan gamelan pengiring tarian. Salah satu yang tak luput dari perhatian adalah sosok mungil, berkulit kuning langsat, lihai menirukan gerakan sembilan penari di barisan depannya. Gerakannya sama, kostumnya sama, riasan wajahnya sama, tidak ada yang membedakan, kecuali, dia ini lelaki.
*****