Mohon tunggu...
Denyl Setiawan
Denyl Setiawan Mohon Tunggu... Administrasi - aku ingin bercerita

Menulislah, setelah kamu selesai membaca....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tembe Kanjeng Romo Murka

19 Desember 2019   22:18 Diperbarui: 19 Desember 2019   22:48 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

BRAAAKKK!!!

Ruswanto menggebrak meja kayu yang ada di depannya, yang sekaligus menjadi pembatas antara dia dan Sangadji. Seketika dia bangkit dari duduknya. Mukanya memerah dengan urat-urat wajahnya yang nampak menonjol. Emosinya tidak terkendali.

"Jangkrik! Asu tenan sampeyan Kangmas! Kok bisa-bisanya bocah itu sampeyan terima jadi murid di sanggar ini? Kalau umume masarakat ngerti, kabeh bakal menjadi masalah." Ruswanto meluapkan kemarahannya. Telunjuknya mengarah ke wajah Sangadji. Sementara telapak tangan lainnya mengepal seolah berusaha menahan diri untuk tidak berbuat lebih jauh, brutal.

"Ruswanto, cangkemmu dijaga! Ojo angger nyocot! Aku iki isih kangmasmu, ngendi unggah-ungguhmu marang wong sing luwih tuwo?" Sangadji muntab. Dia tidak kalah emosional demi menyaksikan tingkah adiknya yang dia rasa sudah melanggar adab kesopanan. Sangadji berdiri, bertolak pinggang, dan masih tidak terima dengan perlakuan adiknya, Ruswanto.

"Opo rumangsamu kowe iki wes bener olehe ngasuh sanggar? Bocah-bocah ndek sanggar podho ora ngerti subasita, ora nggugemi adat istiadat sing adiluhung. Ngendi tanggung jawabmu dadi kepala sanggar? Pimpinan kok nyontoni sing ora bener!" Sangadji seolah menelanjangi kualitas kepemimpinan adiknya. Mengungkit pola pengasuhan di sanggar yang semakin carut marut. Yang tanpa Sangadji sadari, sebenarnya dia punya andil juga dalam segala keruwetan yang mereka perdebatkan selama ini. Mereka berdua sebenarnya sama saja.

*****

"Kulo nyuwun tulung Kangmas Sangadji. Ingkang putro, menawi saged supados dipun tampi dumateng sanggar." Perempuan paruh baya, berparas ayu, masih menyisakan pesona kecantikannya sewaktu masih belia, mengenakan pakaian dan perhiasan yang mencirikan dia adalah seseorang dari kalangan bangsawan, mengutarakan maksud kedatangannya ke sanggar. Langsung, tanpa tedheng aling-aling. "Thole Dhika puniko gadhah kekajengan badhe nderek njoget ing keraton, bedhaya ketawang Kangmas." Tanpa menunggu lawan bicaranya memberikan jawaban, perempuan itu terus melakukan persuasi, demikian meyakinkan.

"Ngapunten Nimas Roro, bedhaya ketawang? Menopo kulo mboten klentu mireng? Bedhaya ketawang puniko jogedan ingkang dipuntumindakaken dening estri. Nakmas Dhika puniko, piyambakipun leres lare jaler njih?" Sangadji mencoba mencari nada bercanda dari lawan bicaranya, Roro. Namun gagal. Raut wajah Roro menunjukkan keseriusan tingkat dewa, seolah abai bahwa Sangadji diliputi keraguan dan tanya yang sedemikian nyata.

"Kangmas Sangadji, saleresipun thole Dhika puniko, wandu. Thole langkung nggadhahi kebiyasan lumrahipun piyantun estri. Thole saged nyaru supados mboten ketingal dening murid sanggar lintunipun." Tuntas sudah Roro menjawab kegelisahan Sangadji. Tarian sakral bedhaya ketawang, seremonial keraton, penari perempuan, dan kaitannya dengan Dhika, seseorang yang sejatinya lelaki. Namun masih ada yang mengganjal, kenapa harus Dhika? Atau siapa Roro sebenarnya?

"Menawi panjenengan mboten kawratan, sedaya kagem rerencangan kulo kalian panjenengan, kagem wektu ingkang sampun kepengker, sakmeniko, ugi wektu ingkang badhe rawuh. Kulo nyuwun tulung dhateng panjenengan, Kangmas Sangadji." Tatapan mata Roro sedemikian rupa mempunyai daya magis, sebegitu meyakinkan dan berkekuatan luar biasa. Sangadji speechless, untuk istilah kekiniannya.

"Sampun dipun penggalih Nimas, sakmeniko kulo tumindak dados wakilipun kanjeng Romo ing sanggar menika, kulo tampi Nakmas Dhika supados kalebet dumateng pamangga bedhaya ketawang." Sangadji menutup pembicaraan diantara mereka berdua, siang itu. Maka angin semilir yang bertiup di penghujung musim penghujan, membawa kesejukan bagi Sangadji dan Roro, dan tentu saja bagi sanggar serta keluarga kebangsawanan. Semilirnya berakhir pada bunga kamboja yang bermekaran, namun salah satu kelopaknya gugur, begitu saja ke tanah. Rebah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun