Mohon tunggu...
Denyl Setiawan
Denyl Setiawan Mohon Tunggu... Administrasi - aku ingin bercerita

Menulislah, setelah kamu selesai membaca....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tembe Kanjeng Romo Murka

19 Desember 2019   22:18 Diperbarui: 19 Desember 2019   22:48 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ngapunten Romo, kulo kaliyan adhi Ruswanto mboten badhe nguciwakaken kanjeng Romo." Salah satu pria paruh baya yang berperawakan tinggi mencoba mencairkan suasana yang kaku malam itu. Duduk bersebelahan dengan sosok pria yang nampak lebih muda namun memiliki wajah yang lebih tirus.

"Injih Romo, kulo kaliyan kangmas Sangadji nyuwun taksih dipun paringi kapitadosan kagem mangarsani sanggar tari puniko." Suara pria tersebut terdengar ragu dan pandangannya tertunduk, tidak berani menatap sang Romo yang duduk takzim di hadapan mereka.

"Romo ndak mau dengar lagi, Yang Mulia Kanjeng Sri Ratu Handayani kuciwo atas kelalaian kalian dalam mengajari murid-murid di sanggar tari ini. Bagaimana mungkin Sanggar Tari Anoman Nindito yang sudah turun temurun mengajarkan adat dan budaya Jawa yang adiluhung, bisa kalian luluh lantakkan dalam sekejap. Apa yang sudah kalian lakukan terhadap sanggar ini?" Suara berwibawa dari pria sepuh yang sedang duduk bersila di pendopo rumah bergaya jawa, menutup pembicaraan canggung malam itu.

Temaran cahaya lampu ublik yang tergantung di tiang pendopo, nampak kontras dengan bias keperakan dari rambut sang Romo yang sudah memutih. Ada gurat kecewa di wajahnya yang mulai keriput. Namun tatapan matanya yang tajam masih mampu menelanjangi ketidakbecusan kedua putranya, yang kini duduk dan tertunduk di hadapan sang Romo. Keheningan seketika menyergap, hingga hembusan nafas Romo Soleman yang seolah sedang menahan beban berat, terdengar satu persatu, demikian mengintimidasi kedua putranya, Sangadji dan Ruswanto.

*****

Kesibukan nampak sekali pagi itu di pendopo sanggar. Purnama mendatang akan ada perhelatan di keraton. Para penari yang sudah dilatih di sanggar akan menjadi salah satu penampil utama dalam perhelatan tersebut. Sebagaimana layaknya sebuah kepercayaan yang demikian besar diberikan ke sanggar, maka keseriusan pula yang ditunjukkan dengan penuh tanggung jawab oleh para penari dan pelatih tari. Tak hanya itu, para nayaga dan para pendukung pementasan pun turut disibukkan dengan berbagai persiapan. Namun, ada satu hal yang rasanya mengganjal.

"Ngapunten, Kang Ruswanto. Kalo menurut pakem dari kanjeng Romo, jumlah penari ingkang badhe nampil cacahipun songo. Lha meniko kok langkung setunggal? Menopo mboten klentu?" Salah seorang pelatih tari tergopoh-gopoh menghampiri Ruswanto yang pada saat itu sedang mengawasi jalannya latihan di pendopo dari balik gebyok rumah utama sang pemilik sanggar, bertanya. Kemudian salah satu nayaga yang akan mengiringi pementasan di keraton pada purnama mendatang menyusul, tak berselang lama setelah sang penanya mengatupkan kedua belah bibirnya.

"Kang Ruswanto, nderek tanglet. Laras ingkang badhe ngiringi tarian meniko pelog kaliyan slendro, kenging punapa meniko namung pelog ingkang dipunjagikaken?" Jelas sudah apa yang hendak disampaikan seseorang yang datang belakangan tersebut. Mungkin tepatnya bukan bertanya, tetapi lebih kepada menuntut penjelasan atas perubahan sesuatu yang sifatnya mendasar. Fundamental.

"Wes kono, terusno olehmu latihan. Ojo kakehan takon. Aku sing ndek sanggar iki dadi wakile kanjeng Romo. Aku lho sing ndek kene minangka putrane Romo Soleman. Kowe kabeh mung batur, gedibal sing ora enek regane. Kok dumadakan ngatur olehku ngurusi sanggar." Ruswanto bergeming dari balik gebyok, tatapannya dingin, suaranya terdengar lirih, namun tegas menghardik kedua abdi dalem sanggar yang baru saja meminta penjelasan.

"Sing ora nggugu karepku, luwih becik lunga soko sanggar, aku ora sudi nyawang raimu kabeh." Ruswanto berlalu dari hadapan keduanya. Meninggalkan rasa jeri yang demikian sangat. Ruswanto yang dingin, demikian mengancam, terlebih lagi, dia adalah putra bungsu kesayangan Romo Soleman, pemilik sanggar tari. Maka mengiyakan segala keinginan Ruswanto adalah pilihan terakhir dan satu-satunya.

*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun