Mohon tunggu...
Denyl Setiawan
Denyl Setiawan Mohon Tunggu... Administrasi - aku ingin bercerita

Menulislah, setelah kamu selesai membaca....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sirkus Tarian Anak Nusantara

13 Juli 2018   11:48 Diperbarui: 14 Juli 2018   14:35 1179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saudara-saudara, saksikanlah

Sirkus Tarian Anak Nusantara hadir kembali

Di lapangan kampung Angkara

Mulai jam 7 malam ini

Mengingat kembali masa kecilku di kampung halaman yang jauh di pedalaman pulau, dimana sawah dan ladang menjadi halaman rumah, sedangkan rimbunnya hutan laksana kebun belakang tanpa pembatas. Setiap masa liburan sekolah tiba, selalu saja ada rombongan sirkus dari ibu kota kabupaten yang menggelar atraksi di lapangan kampung selama beberapa malam. Para pemain sirkus menunjukkan kebolehan mereka yang membuat kami, anak kampung, selalu saja terpukau. Usiaku berbilang tahun kesepuluh saat itu, kedatangan rombongan sirkus maka berarti keceriaan dan keramaian. Itulah hiburan paling menakjubkan yang dapat kami nikmati, selain acara yang tayang melalui televisi tabung dengan tampilan dua warna serta berasal dari satu saluran siaran saja, pada saat itu.

Sirkus sendiri layaknya sebuah pesta pora, lapangan kampung kami akan berhiaskan lampu warna-warni yang benderangnya berbanding terbalik dengan kondisi rumah kami yang hanya diterangi lampu tempel minyak tanah setiap kali matahari tenggelam di balik punggung bukit yang membujur dari ujung ke ujung pulai ini. Kedatangan rombongan sirkus maka berarti pula anak-anak kampung akan mempunyai kesempatan mencicipi jajanan yang hanya ada ibu kota kabupaten; gumpalan-gumpalan kapas beraroma dan berasa manis, permen yang meletup-letup di mulut kami yang tanpa gigi, bola-bola renyah yang rasa asinnya bukan seperti garam dapur beryodium atau lelehan ingus atau keringat yang tanpa sengaja kami hisap saat bermain bola di lapangan. Badut-badut dengan kaki semampai setinggi galah, orang mengendarai sepeda motor bersuara menggelegar dengan kecepatan luar biasa di dalam bola besi raksasa berbentuk jaring-jaring, pemain atraksi lainnya yang dari mulutnya tak henti mengeluarkan semburan api yang menyala-nyala, atau ada sebagian diantaranya yang sangat lihai melempar dan menangkap selusin bola tenis warna-warni. Semoga kalian bisa membayangkan seperti apa bentuk sirkus di masa itu, tiga dekade yang lalu. Sirkus Tarian Anak Nusantara.

Jangankan ikutan hadir dan menonton sirkus di lapangan kampung secara langsung, demi mendengar teriakan cempreng seorang pembaca pengumuman melalui corong pengeras suara yang diletakkan di atas sebuah mobil bak terbuka butut pun kami sudah senang bukan kepalang. Mobil itu dilengkapi rangka besi di bagian belakang dimana disana terpasang kain lebar dengan lukisan tangan yang menggambarkan berbagai atraksi sirkus. Serta merta kami anak kampung, dengan bertelanjang kaki saling berkejaran, berlari mengikuti mobil tersebut, keliling kampung, bangga menjadi bagian dari kegembiraan sebuah pagelaran sirkus. Seolah kebahagiaan demikian mudah diraih, sesederhana menjadi orang yang paling depan mengikuti kemana mobil pembawa berita tentang atraksi sirkus itu melaju. Tak masalah bagi kami yang berpeluh sembari menghirup kepulan debu dari bekas lintasan roda mobil yang menggelinding di jalanan kampung kami, yang berbatu dan berdebu.

Tak hanya berhenti sampai disitu saja, begitu malam beranjak, kami berduyun-duyun ke lapangan kampung. Anak-bapak, sanak-saudara, laki-perempuan berjalan kaki bersisihan sambil berkemul sarung, sesekali berbincang dengan para tetangga. Sebenarnya bagi anak-anak kampung seperti kami, atraksi dari Sirkus Tarian Anak Nusantara adalah sebuah tontonan yang bisa membuat jantung kami berdetak lebih cepat, mulut berdecak kagum, mata membelalak tanpa sempat berkedip, sesekali nafas kami tertahan menunggu atraksi selanjutnya, dan kesemuanya berakhir dengan sorakan kegembiraan den gemuruh tepuk tangan penonton. Bagi sebagian warga kampung yang lain, sirkus yang menyambangi kami setiap musim liburan sekolah telah memantik rasa keingintahuan warga yang seharian penat berladang, untuk sedikit menyenangkan hati dengan tontonan yang dalam bahasa kekinian aku menyebutnya "spektakuler". Layaknya tetesan gerismis yang menyapa hamparan ladang yang kering akibat kemarau panjang, maka sirkus keliling adalah penawar dahaga bagi warga kampung kami yang jauh dari sentuhan kata hiburan. Berkumpul sejenak sembari menyesap aroma kopi hitam tanpa gula, sesekali mulut berbau rokok kretek tanpa pita cukai mengunyah bongkahan singkong rebus yang uapnya masih mengepul, warga kampung saling bercengkerama, mengurai cerita dari hari kehari yang taut-menaut membentuk keharmonisan yang bersisihan dengan alam yang masih perawan.

Tapi ada sebagian kecil dari kami yang terusik. Atraksi sirkus yang terpampang di hadapan kami mempunyai arti yang lebih daripada itu. Atraksi dari para pemain dan hingar bingar pementasan sirkus keliling adalah sebuah impian indah masa kecil kami dan rekaan imajinasi kaum kebanyakan, bahwa kehidupan para pemain sirkus nampak selalu menawarkan kebahagiaan, memberikan keceriaan, dan menjanjikan gelimang uang yang tumpah ruah setiap selesai pementasan. Ditambah lagi kami meyakini bahwa pada setiap kesempatan mereka akan berpindah dari suatu kampung ke kampung yang jauh, mengendarai iring-iringan mobil, mempersaudarakan teman sepekerjaan yang awalnya saling asing, mengunjungi tempat yang baru nan indah di pelosok kabupaten, bahkan seantero nusantara, seperti namanya. Kehidupan keras di kampung kami dimana setiap harinya bentang alam menantang kami untuk menaklukkan keangkuhannya, menjadikan kepopuleran kehidupan pekerja sirkus adalah sebuah keniscayaan. Jaminan bahwa disana ada kehidupan yang lebih manusiawi, beradab, dan menjanjikan masa depan yang layak.

Rombongan Sirkus Tarian Anak Nusantara tak pernah absen mengunjungi kampung kami. Atraksi yang ditampilkannya semakin hari pun kian beragam. Tak heran jika warga kampung selalu antusias menyambut pementasan mereka. Ada kalanya mereka mengajak para pemain atraksi yang mengendarai sepeda roda satu dengan diameter selebar meja pingpong, pemain yang bisa bergetantungan di tali ayunan dan palang bertingkat yang tingginya hampir menyentuh langit-langit tenda sirkus, atau di saat tertentu ada beberapa pemain yang unjuk kebolehan dengan berjalan pada seutas tali yang dibentangkan sambil membawa sebilah tongkat. Dan yang paling membuatkau terkagum-kagum adalah pernah suatu kali mereka membawa serombongan hewan buas yang sudah dijinakkan untuk turut serta dalam atraksi mereka. Kami yang sepanjang hari bergulat dengan alam dan senantiasa was-was atas kehadiran binatang buas seperti macan-sang raja rimba yang bagi kami adalah bencana, tapi justru di tangan para pemain sirkus ini, raja rimba itu nampak lucu, menggemaskan, dan sangat penurut. Aku terpukau. Bagi kita yang hidup tiga dekade setelah hari itu, bisa jadi tontonan sirkus tadi sangatlah biasa dan tidak istimewa. Tapi tidak untukku. Hidupku setelah hari itu adalah sebuah mimpi yang terus aku semaikan bahwa aku harus menjadi bagian dari Sirkus Tarian Anak Nusantara, suatu saat nanti.

***

Siang dan malam saling menutupi, bergantian berkejaran, padahal sejatinya mereka saling melengkapi, karena ketiadaan salah satu diantaranya maka takkan ada arti bagi sisa yang lainnya. Musim tak pernah jenuh untuk terus berulang, menggulung sang waktu, beranjak dari tahun ke windu bahkan lebih dari itu. Dan aku terus berjalan menjejak tepian batas mimpi masa kecilku, dulu. Setelah atraksi sirkus di lapangan kampung malam itu, maka aku meyakinkan diriku sendiri bahwa masa depanku bukanlah buruh tani seperti halnya ibu, atau kuli bangunan seperti bapak. Itu tidak serta merta berarti bahwa aku pantas menjadi guru, dokter, atau insinyur yang harus didahului dengan bersekolah di ibu kota provinsi atau bahkan sampai ke luar pulau. Aku tak bisa membayangkan bagaimana rasanya bersekolah dalam jangka waktu yang sekian lama. Bagi kami anak kampung pedalaman, bisa membaca, menulis, dan berhitung sederhana sudah cukup untuk bekal kami hidup. Kami hanya perlu untuk sekedar mengenali lembaran rupiah saat menerima upah atas tenaga yang kami berikan, agar kami dapat membaca angka-angka pada jam dinding sebagai penunjuk waktu sholat, atau kami bisa mengenali tulisan di pintu kelurahan, mana ruangan kepala desa dan mana ruangan petugas Babinsa. Aku justru mengambil jalan lain. Aku ingin bergabung dengan rombongan Sirkus Tarian Anak Nusantara, selepas aku menghabiskan masa kecilku yang terkungkung diantara dinding bersekat, berhiaskan papan tulis hitam lusuh, yang di atasnya terpampang lambang burung garuda dan dua pria berpeci hitam pemimpin negeri ini yang kesemuanya berbalut serbuk kapur sisa hapusan yang tertiup angin dari jendela tanpa kaca, dan kami diminta menyebut ini sebagai sekolah.

***

Maka masa penantianku berakhir sudah. Ijasah sekolahku tersimpan rapi di bawah lipatan baju di dalam lemari. Tak lama dari itu, rombongan sirkus kembali mengunjungi kampung kami pada musim liburan sekolah setelah kelulusanku. Dan aku sudah memantabkan diriku untuk menjemput episode dewasaku dengan berpetualang jauh dari kampung halamanku, dengan menjadi bagian dari Sirkus Tarian Anak Nusantara. Semesta telah menorehkan goresan yang sama, antara mimpiku dan jalan hidup yang harusnya aku lalui. Akhir musim kemarau di tahun dimana negeri kami sedang sekarat, aku meninggalkan kampung, merantau. Menumpang kendaraan rombongan sirkus yang selesai melakukan perhelatan di kampung kami, duduk selonjoran diantara para pemain sirkus dan perlengkapan pertunjukan, aku membaur dengan keluarga baruku, menuju ibu kota kabupaten, tempat sirkus kami menetap. Dan sejak hari itulah kisahku dan Sirkus Tarian Anak Nusantara saling berkaitan satu sama lain.

Pekerjaan pertama yang menjadi tanggung jawabku adalah mencuci pakaian kotor para pemain sirkus, membersihan kandang dan sisa makanan binatang sirkus, dan sesekali ikut menyiapkan kebutuhan pementasan sirkus di ibu kota. Pada tahap inilah aku menerima pemahaman, bahwa rombongan sirkus tak semuanya berkeliling dari kampung ke kampung, menghibur rakyat desa, dan membawa kepingan-kepingan rupiah setelahnya, tapi sebagian diantaranya melakukan pertunjukan rutin setiap malam di lokasi sirkus kami berdiam. Memberikan hiburan cuma-cuma bagi warga setempat atau para pendatang yang kebetulan singgah di ibu kota kabupaten. Kebanyakan pemain sirkus lebih memilih untuk turut serta dalam rombongan keliling, dengan berbagai macam alasan tentu saja. Uang? Pengalaman di tempat baru? Kebebasan? Entah apapun itu, tetapi yang pasti aku memilih atau dipilih untuk tetap tinggal di kediaman sirkus kami, karena ternyata aku memang bukan pemain sirkus. Tapi jangan khawatir, aku sangat menikmati tugasku. Penghasilanku dari peran pembantu di sirkus ini sudah jauh melampaui para buruh tani atau kuli bangunan di kampungku dulu, maka uang bukanlah menjadi masalah buatku, karena aku sudah kaya dan bahagia dalam persepsiku sendiri.

Irama kehidupan terus mengalun, harmoni nampak padu, sekali waktu timpa-menimpa dengan nada sumbang, terus terdengar bersahutan. Maka seperti itu pulalah perputaran hidup yang aku jalani selama menyertai Sirkus Tarian Anak Nusantara. Kawan-lawan, sendiri-berkelompok, tutur manis-pahit, pujian-gunjingan, silih-berganti aku nikmati. Saat purnama tak lagi terhitung jumlahnya, aku naik kelas dari sekedar tukang bantu-bantu di urusan belakang, menjadi seorang petugas penjaga pintu masuk arena sirkus. Kami masih bertahan di lokasi ibu kota kabupaten. Beberapa saat sebelum pertunjukan sirkus dimulai sampai dengan seluruh penonton meninggalkan arena sirkus, aku harus berdiri di pintu. Rupa-rupa pesan dari pemilik sirkus. Aku harus memastikan usia pengunjung sirkus jika ada ketentuan pertunjukan yang mempersyaratkan bahwa anak dibawah umur tidak boleh menonton. Jika pada waktu tertentu atraksi sirkus mematok harga tiket masuk, maka aku harus memastikan bahwa pengunjung yang masuk arena sirkus hanya mereka yang memiliki tiket. 

Sekali waktu pertunjukan sirkus dilaksanakan beberapa kali dalam sehari dan jika demikian maka aku harus memastikan bahwa jumlah penonton tidak melebihi tempat duduk atau penonton yang memiliki tiket pertunjukan pertama tidak akan masuk lagi di pertunjukan kedua. Lagi-lagi aku menikmati tugas ini. Anak kampung yang hanya bisa baca tulis sederhana ini, menjadi penjaga pintu masuk arena sirkus. Aku bisa menyuruh pulang penonton yang tidak sesuai usia atau mereka yang bermasalah dengan karcis.Aku memang tak lagi menghitung jumlah purnama yang telah terlewati. Saat pimpinan negeri berganti, reformasi, sirkus keliling yang menjadi andalan mencari rupiah selama ini, tak bisa lagi dijalankan. Orang menyebutnya karena otonomi, entah disebabkan oleh isu ekonomi atau politik, atau hanya sekedar ingin berbeda dari rezim sebelumnya. 

Aku yang hanya mengenyam pendidikan tingkat dasar, hanya mampu mencuri dengar pembicaraan pemilik sirkus, tanpa daya untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Pemain sirkus yang selama ini berkelana dari kampung ke kampung, akhirnya menetap di lokasi ibu kota. Segala rupa perlengkapan dan binatang sirkus, tumpah ruang di sekitar arena. Lokasi sirkus di ibu kota, semakin ramai. Penuh dan sesak. Ketika semua pemain harus diberi panggung, maka pertunjukan sirkus dibuat dengan jadwal yang demikian padat, tanpa mengenal waktu maupun hari. Jika sebelumnya pementasan hanya pada malam hari, maka kini pertunjukan sirkus layaknya layanan dukun beranak. Kapan saja ada, seolah denyut kehidupan sirkus tiada pernah akan berhenti. Pada saat dimana panggung arena sirkus sudah terlampau penuh, beberapa pertunjukan dilaksanakan di arena parkir dan halaman lokasi sirkus. Ramai, tapi semrawut karena meninggalkan kesan bahwa ini dipaksakan.

Ibarat permainan orkestra yang melibatkan banyak pemain musik beserta alat musiknya, akan padu dan memesona jika semua tunduk pada satu komposer yang dipercaya. Namun tidak demikian halnya dengan Sirkus Tarian Anak Nusantara saat ini, semakin banyak pemain sirkus, peralatan, dan binatang, maka semakin banyak pula pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dan semakin banyak kepentingan yang harus disuarakan. Hal ini dipadukan pula dengan semakin banyak yang turut bersuara kencang untuk merebut panggung pertunjukan. Dan aku masih saja menjadi penjaga pintu yang sekaligus pemeriksa karcis penonton. Apakah aku masih menikmati tugasku saat ini? Bisa dikatakan sudah tidak lagi seperti dulu saat aku bangga bahwa anak kampung yang hanya bisa baca tulis sederhana ini, menjadi penjaga pintu masuk arena sirkus dan bisa menyuruh pulang penonton yang tidak sesuai usia atau mereka yang bermasalah dengan karcis. Kini ada yang berbeda.

Sekali waktu aku diminta mengijinkan anak kecil untuk masuk arena sirkus dimana pada saat itu akan dilaksanakan pertunjukan sulap potong kepala. Sederhana sekali, karena anak itu harus ikut serta orang tuanya yang ingin menonton dan anak itu tidak ada yang mengasuh di rumah. Pada kesempatan yang lain, aku diminta mengijinkan beberapa kenalan sang pemilik sirkus ikut menyaksikan atraksi sirkus walau mereka tidak memegang karcis. Pernah pula ada kolega jauh dari sang pemilik sirkus yang sangat suka dengan pertunjukan, sehingga dia memaksa untuk menggunakan karcis sesi pertama untuk digunakan lagi di sesi kedua. Ada-ada saja. Banyaknya pemain sirkus dan karyawan baru yang bergabung, berbanding pula dengan beberapa yang sudah lama bergabung di sirkus, mengundurkan diri, dengan berbagai alasan dan aku tak hendak bertanya. Apakah sirkus ini berakhir? Tentu saja tidak. Dengan keberadaan di ibu kota kabupaten dan ijin dari pemerintah yang ada, maka pertunjukan yang dilaksanakan selalu ramai didatangi pengunjung bahkan pada setiap sesinya. Sirkus Tarian Anak Nusantara masih menjadi pilihan hiburan rakyat yang sudah lelah dengan kerasnya kehidupan jalanan. Disini mereka bisa tertawa, bercengkerama, gembira, dan sejenak melupakan realita di dunia nyata.

***

Aku masih bertahan sampai dengan saat ini, disini. Menjadi penjaga pintu masuk arena sirkus dan sekaligus menjadi petugas Penyobek Karcis Nonton segala jenis atraksi. Apakah aku bahagia? Tentu saja, karena aku punya definisi bahagia yang berbeda dari apa yang selama ini orang kebanyakan terjemahkan. Apakah kisahku sudah berakhir sampai disini saja? Tentu saja tidak. Aku akan kembali bercerita kepadamu, kawan, nanti. Sebentar lagi....

 #spin off Balada Pawang Anjing (coming soon)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun