Siang dan malam saling menutupi, bergantian berkejaran, padahal sejatinya mereka saling melengkapi, karena ketiadaan salah satu diantaranya maka takkan ada arti bagi sisa yang lainnya. Musim tak pernah jenuh untuk terus berulang, menggulung sang waktu, beranjak dari tahun ke windu bahkan lebih dari itu. Dan aku terus berjalan menjejak tepian batas mimpi masa kecilku, dulu. Setelah atraksi sirkus di lapangan kampung malam itu, maka aku meyakinkan diriku sendiri bahwa masa depanku bukanlah buruh tani seperti halnya ibu, atau kuli bangunan seperti bapak. Itu tidak serta merta berarti bahwa aku pantas menjadi guru, dokter, atau insinyur yang harus didahului dengan bersekolah di ibu kota provinsi atau bahkan sampai ke luar pulau. Aku tak bisa membayangkan bagaimana rasanya bersekolah dalam jangka waktu yang sekian lama. Bagi kami anak kampung pedalaman, bisa membaca, menulis, dan berhitung sederhana sudah cukup untuk bekal kami hidup. Kami hanya perlu untuk sekedar mengenali lembaran rupiah saat menerima upah atas tenaga yang kami berikan, agar kami dapat membaca angka-angka pada jam dinding sebagai penunjuk waktu sholat, atau kami bisa mengenali tulisan di pintu kelurahan, mana ruangan kepala desa dan mana ruangan petugas Babinsa. Aku justru mengambil jalan lain. Aku ingin bergabung dengan rombongan Sirkus Tarian Anak Nusantara, selepas aku menghabiskan masa kecilku yang terkungkung diantara dinding bersekat, berhiaskan papan tulis hitam lusuh, yang di atasnya terpampang lambang burung garuda dan dua pria berpeci hitam pemimpin negeri ini yang kesemuanya berbalut serbuk kapur sisa hapusan yang tertiup angin dari jendela tanpa kaca, dan kami diminta menyebut ini sebagai sekolah.
***
Maka masa penantianku berakhir sudah. Ijasah sekolahku tersimpan rapi di bawah lipatan baju di dalam lemari. Tak lama dari itu, rombongan sirkus kembali mengunjungi kampung kami pada musim liburan sekolah setelah kelulusanku. Dan aku sudah memantabkan diriku untuk menjemput episode dewasaku dengan berpetualang jauh dari kampung halamanku, dengan menjadi bagian dari Sirkus Tarian Anak Nusantara. Semesta telah menorehkan goresan yang sama, antara mimpiku dan jalan hidup yang harusnya aku lalui. Akhir musim kemarau di tahun dimana negeri kami sedang sekarat, aku meninggalkan kampung, merantau. Menumpang kendaraan rombongan sirkus yang selesai melakukan perhelatan di kampung kami, duduk selonjoran diantara para pemain sirkus dan perlengkapan pertunjukan, aku membaur dengan keluarga baruku, menuju ibu kota kabupaten, tempat sirkus kami menetap. Dan sejak hari itulah kisahku dan Sirkus Tarian Anak Nusantara saling berkaitan satu sama lain.
Pekerjaan pertama yang menjadi tanggung jawabku adalah mencuci pakaian kotor para pemain sirkus, membersihan kandang dan sisa makanan binatang sirkus, dan sesekali ikut menyiapkan kebutuhan pementasan sirkus di ibu kota. Pada tahap inilah aku menerima pemahaman, bahwa rombongan sirkus tak semuanya berkeliling dari kampung ke kampung, menghibur rakyat desa, dan membawa kepingan-kepingan rupiah setelahnya, tapi sebagian diantaranya melakukan pertunjukan rutin setiap malam di lokasi sirkus kami berdiam. Memberikan hiburan cuma-cuma bagi warga setempat atau para pendatang yang kebetulan singgah di ibu kota kabupaten. Kebanyakan pemain sirkus lebih memilih untuk turut serta dalam rombongan keliling, dengan berbagai macam alasan tentu saja. Uang? Pengalaman di tempat baru? Kebebasan? Entah apapun itu, tetapi yang pasti aku memilih atau dipilih untuk tetap tinggal di kediaman sirkus kami, karena ternyata aku memang bukan pemain sirkus. Tapi jangan khawatir, aku sangat menikmati tugasku. Penghasilanku dari peran pembantu di sirkus ini sudah jauh melampaui para buruh tani atau kuli bangunan di kampungku dulu, maka uang bukanlah menjadi masalah buatku, karena aku sudah kaya dan bahagia dalam persepsiku sendiri.
Irama kehidupan terus mengalun, harmoni nampak padu, sekali waktu timpa-menimpa dengan nada sumbang, terus terdengar bersahutan. Maka seperti itu pulalah perputaran hidup yang aku jalani selama menyertai Sirkus Tarian Anak Nusantara. Kawan-lawan, sendiri-berkelompok, tutur manis-pahit, pujian-gunjingan, silih-berganti aku nikmati. Saat purnama tak lagi terhitung jumlahnya, aku naik kelas dari sekedar tukang bantu-bantu di urusan belakang, menjadi seorang petugas penjaga pintu masuk arena sirkus. Kami masih bertahan di lokasi ibu kota kabupaten. Beberapa saat sebelum pertunjukan sirkus dimulai sampai dengan seluruh penonton meninggalkan arena sirkus, aku harus berdiri di pintu. Rupa-rupa pesan dari pemilik sirkus. Aku harus memastikan usia pengunjung sirkus jika ada ketentuan pertunjukan yang mempersyaratkan bahwa anak dibawah umur tidak boleh menonton. Jika pada waktu tertentu atraksi sirkus mematok harga tiket masuk, maka aku harus memastikan bahwa pengunjung yang masuk arena sirkus hanya mereka yang memiliki tiket.Â
Sekali waktu pertunjukan sirkus dilaksanakan beberapa kali dalam sehari dan jika demikian maka aku harus memastikan bahwa jumlah penonton tidak melebihi tempat duduk atau penonton yang memiliki tiket pertunjukan pertama tidak akan masuk lagi di pertunjukan kedua. Lagi-lagi aku menikmati tugas ini. Anak kampung yang hanya bisa baca tulis sederhana ini, menjadi penjaga pintu masuk arena sirkus. Aku bisa menyuruh pulang penonton yang tidak sesuai usia atau mereka yang bermasalah dengan karcis.Aku memang tak lagi menghitung jumlah purnama yang telah terlewati. Saat pimpinan negeri berganti, reformasi, sirkus keliling yang menjadi andalan mencari rupiah selama ini, tak bisa lagi dijalankan. Orang menyebutnya karena otonomi, entah disebabkan oleh isu ekonomi atau politik, atau hanya sekedar ingin berbeda dari rezim sebelumnya.Â
Aku yang hanya mengenyam pendidikan tingkat dasar, hanya mampu mencuri dengar pembicaraan pemilik sirkus, tanpa daya untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Pemain sirkus yang selama ini berkelana dari kampung ke kampung, akhirnya menetap di lokasi ibu kota. Segala rupa perlengkapan dan binatang sirkus, tumpah ruang di sekitar arena. Lokasi sirkus di ibu kota, semakin ramai. Penuh dan sesak. Ketika semua pemain harus diberi panggung, maka pertunjukan sirkus dibuat dengan jadwal yang demikian padat, tanpa mengenal waktu maupun hari. Jika sebelumnya pementasan hanya pada malam hari, maka kini pertunjukan sirkus layaknya layanan dukun beranak. Kapan saja ada, seolah denyut kehidupan sirkus tiada pernah akan berhenti. Pada saat dimana panggung arena sirkus sudah terlampau penuh, beberapa pertunjukan dilaksanakan di arena parkir dan halaman lokasi sirkus. Ramai, tapi semrawut karena meninggalkan kesan bahwa ini dipaksakan.
Ibarat permainan orkestra yang melibatkan banyak pemain musik beserta alat musiknya, akan padu dan memesona jika semua tunduk pada satu komposer yang dipercaya. Namun tidak demikian halnya dengan Sirkus Tarian Anak Nusantara saat ini, semakin banyak pemain sirkus, peralatan, dan binatang, maka semakin banyak pula pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dan semakin banyak kepentingan yang harus disuarakan. Hal ini dipadukan pula dengan semakin banyak yang turut bersuara kencang untuk merebut panggung pertunjukan. Dan aku masih saja menjadi penjaga pintu yang sekaligus pemeriksa karcis penonton. Apakah aku masih menikmati tugasku saat ini? Bisa dikatakan sudah tidak lagi seperti dulu saat aku bangga bahwa anak kampung yang hanya bisa baca tulis sederhana ini, menjadi penjaga pintu masuk arena sirkus dan bisa menyuruh pulang penonton yang tidak sesuai usia atau mereka yang bermasalah dengan karcis. Kini ada yang berbeda.
Sekali waktu aku diminta mengijinkan anak kecil untuk masuk arena sirkus dimana pada saat itu akan dilaksanakan pertunjukan sulap potong kepala. Sederhana sekali, karena anak itu harus ikut serta orang tuanya yang ingin menonton dan anak itu tidak ada yang mengasuh di rumah. Pada kesempatan yang lain, aku diminta mengijinkan beberapa kenalan sang pemilik sirkus ikut menyaksikan atraksi sirkus walau mereka tidak memegang karcis. Pernah pula ada kolega jauh dari sang pemilik sirkus yang sangat suka dengan pertunjukan, sehingga dia memaksa untuk menggunakan karcis sesi pertama untuk digunakan lagi di sesi kedua. Ada-ada saja. Banyaknya pemain sirkus dan karyawan baru yang bergabung, berbanding pula dengan beberapa yang sudah lama bergabung di sirkus, mengundurkan diri, dengan berbagai alasan dan aku tak hendak bertanya. Apakah sirkus ini berakhir? Tentu saja tidak. Dengan keberadaan di ibu kota kabupaten dan ijin dari pemerintah yang ada, maka pertunjukan yang dilaksanakan selalu ramai didatangi pengunjung bahkan pada setiap sesinya. Sirkus Tarian Anak Nusantara masih menjadi pilihan hiburan rakyat yang sudah lelah dengan kerasnya kehidupan jalanan. Disini mereka bisa tertawa, bercengkerama, gembira, dan sejenak melupakan realita di dunia nyata.
***
Aku masih bertahan sampai dengan saat ini, disini. Menjadi penjaga pintu masuk arena sirkus dan sekaligus menjadi petugas Penyobek Karcis Nonton segala jenis atraksi. Apakah aku bahagia? Tentu saja, karena aku punya definisi bahagia yang berbeda dari apa yang selama ini orang kebanyakan terjemahkan. Apakah kisahku sudah berakhir sampai disini saja? Tentu saja tidak. Aku akan kembali bercerita kepadamu, kawan, nanti. Sebentar lagi....