Para guru dituntut untuk mengenal siswanya secara individual dan kalau bisa menyelenggarakan pembelajaran berdiferensiasi. Sudah pasti ini menguras pikiran dan tenaga sang guru. Guru berusaha sedapat mungkin menangkal kegabutan siswanya dengan melaksanakan metode pembelajaran yang bervariasi. Maka, dia sendiri harus fresh.
***
Apakah ini karena sekolah kerap mempromosikan diri sebagai lembaga yang sanggup 'mencetak' lulusan dengan kompetensi ini dan itu?
Kata 'mencetak' itu rupanya sering digunakan dalam naskah-naskah copywriting iklan lembaga pendidikan. Kata itu mengandaikan adanya kepastian, keseragaman dan sifat massif dari output lembaga pendidikan. Seperti halnya pabrik dan mesin, sekolah mengandaikan dirinya sebagai produsen sumber daya manusia.
Karena tugasnya 'mencetak' maka menjadi wajar jika terjadi sejumlah 'salah cetak'. Bukan saja dalam hal lulusan yang dihasilkan ternyata 'meleset' dari harapan, dalam prosesnya pun sudah banyak technical and human error.
Yang sering dijadikan percontohan dalam hal mengusir kegabutan dalam belajar adalah sistem pendidikan di Finlandia. Di sekolah dasar, siswa diberi waktu bermain dan beristirahat yang lebih banyak dari waktu belajar di kelas. Fasilitas bermain di waktu rehat dibuat lengkap dan anak-anak diberi kesempatan untuk bersosialiasi dengan keluarganya di rumah dan lingkungan sosialnya. Ringkasnya kalaupun harus bersekolah, anak harus gembira belajar dan bahagia bersekolah. Harapannya, kalau siswa senang dan bahagia maka mereka akan dengan mudah menyerap materi pelajaran dan akhirnya menguasai kompetensi yang diinginkan.
Mantan wakil presiden Yusuf Kalla pernah menyarankan India atau Cina sebagai teladan sistem pendidikan bagi Indonesia. Alasannya, kedua negara itu lebih mirip situasinya dengan negara kita ketimbang Finlandia (https://www.youtube.com/watch?v=YRhROd3QdeQ).
Di Asia model pendisiplinan terbukti manjur untuk mutu output pendidikan, misalnya Singapura. Model belajar di Singapura memang stresful, tapi berhasil guna. Sedangkan kultur orang Indonesia umumnya lebih santai -apakah etos kerja ala Jepang dan Singapura misalnya cocok diterapkan di Indonesia? Apakah kita merujuk dan memaksa diri mengikuti praktik terbaik negara lain itu, ataukah kita susun praktik yang sesuai dengan karakter umum bangsa kita? Semacam diferensiasi antar bangsa, begitu.
Singkat kata, merumuskan sistem pendidikan ideal memang tidak mudah. Terutama jika harus mencomot praktik terbaik dari negara-negara yang setting sosiokulturalnya tidak sama. Tetapi juga tidak mustahil diikhtiarkan.  Intisarinya bisa dirumuskan sebagaimana berikut: Pertama, siswa harus gembira belajar dan bahagia bersekolah. Maka, mekanisme dari-hari-ke-hari di sekolah ditujukan untuk meminimalisir kegabutan saat belajar dan rasa benci bersekolah. Kedua, pembelajaran harus benar-benar selaras dengan minat dan bakat siswa. Kompetensi lulusan tidak bisa diseragamkan dan dipukul rata. Pembelajaran mandiri (heutagogy) adalah proses belajar yang disarankan. Ketiga, selain penguasaan kompetensi, pembinaan iman dan takwa serta pendidikan karakter  merupakan prioritas utama karena makin ke sini tantangan moralitas sudah pasti makin berat dan kompleks. Dekadensi tidak hanya mengancam para siswa, guru dan penyelenggara pendidikan pada umumnya juga menghadapi tantangan serupa.
Wallahu a'lam bisshawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H