Bosan atau gabut adalah psikologi sehari-hari yang tak terhindarkan. Dikatakan bahwa orang yang paling sering dilanda bosan adalah orang yang dominan otak kanan. Orang-orang ini terbiasa berpikir acak, suka sesuatu yang baru dan karenanya, kreatif. Kreativitas dengan demikian adalah sejenis perilaku melanggar aturan atau membolak-balik kenyataan dengan tujuan memperoleh sudut pandang yang baru: keluar dari kotak (out of the box) kata orang barat.
Kreativitas jadinya adalah semacam hidup nyerempet-nyerempet bahaya (vivere pericoloso). Karena kalau yang dibolak-balik atau dilanggar itu norma dan nilai masyarakat yang dianggap sakral, pelakunya bisa dianggap tidak waras, melanggar aturan, kriminal bahkan.
Tentu saja, orang yang keluar dari kotak harus kembali masuk ke dalam kotaknya (into the box)Â agar secara sosial dia berterima kembali. Tatanan sosial dan ketertiban tidak bisa tidak harus ditegakkan lewat kedisiplinan, aturan yang ajeg dan perulangan-perulangan. Dari sinilah bisa muncul kebosanan alias kegabutan. Â Jika keberulangan itu berlangsung lama atau terlalu lama tanpa variasi, siapa pun pasti dilanda gabut.
Sebagai pengalaman kejiwaan, kegabutan bisa disebabkan beberapa faktor. Pertama, rutinitas yang serba monoton dalam jangka waktu yang lama. Kedua, situasi eksternal yang tidak menantang atau tidak menarik minat. Ketiga, kelelahan fisik dan mental. Indikasi kegabutan yang disebabkan kelelahan fisik dan mental antara lain mengantuk atau tertidur saat mengikuti pelajaran. Kecuali guru menyentak adrenalin siswa, tidur adalah pelarian paling aman dari kegabutan.
Saat menghadapi siswa mengantuk ada dua policy yang dijalankan guru. Pertama policy yang lebih tegas: guru meminta siswa agar tidak tidur dengan pertimbangan merupakan kewajiban dan adab penuntut ilmu untuk menghargai keberadaan guru dan menyimak ilmu yang diajarkan. Meski sedang gabut atau bosan siswa harus memaksakan dirinya belajar. Belajar memang tidak selalu menyenangkan dan sejenis penderitaan, tetapi adalah ibadah yang harus dijalani demi cita-cita yang luhur dan pembiasaan pada akhlak yang baik.
Policy kedua yang biasanya diambil para guru yang lebih lembut adalah membiarkan siswa tidur di kelas dengan pertimbangan tokh kalaupun dipaksa bangun siswa tidak akan maksimal menyerap pelajaran. Jadi biarkanlah dia tuntaskan kantuknya. Kalau dia tidak dapat ilmu atau informasi itu adalah konsekuensi yang harus ia terima. Dan, diharapkan pada mata pelajaran berikutnya, dia sudah segar kembali dan bisa belajar secara normal.
Ini kutipan dari Google: "Nukleus akumbens, bagian otak yang mengatur hormon adenosin, akan terpengaruh saat seseorang merasa bosan. Hormon adenosin merupakan hormon yang merangsang rasa kantuk dan membuat seseorang tertidur."
Dalam setting pesantren dan persekolahan, kegabutan santri atau siswa adalah problem yang perlu mendapat perhatian. Siswa 'mencelat' dan melanggar aturan, dengan alasan gabut. Kabur dari pesantren yang dipandangnya sebagai 'penjara suci'.
Santri boarding mengaku gabut, karena terus menerus belajar dari pagi hingga malam. Mereka tidak berminat pada mayoritas pelajaran pondok dengan berbagai sebab. Misalnya: Â masuk boarding lantaran dipaksa orang tua, minatnya pada pelajaran umum tetapi yang banyak di pondok adalah halaqah tahfizh, tidak gemar olahraga tetapi tidak ada perpustakaan atau bahan bacaan yang menarik. Sekolah harus menyediakan bamyak sekali kegiatan ekstra kurikuler agar santri betah di pondok. Yang parah ialah jika santri/siswa berbuat maksiat dengan alasan gabut.
Yang lebih parah dari itu jika gurunya yang gabut. Maka, ada sejumlah lembaga pendidikan yang menyediakan fasilitas anti-gabut untuk para guru. Guru diberi ruangan model kafe di mana mereka bisa ngopi dan berbincang dengan sesama rekan . Juga fasilitas seperti televisi, video, dan alat kebugaran. Kalau siswa harus belajar dalam kondisi senang terlebih lagi para guru. Mereka harus dapat entertainment yang cukup.
Para guru dituntut untuk mengenal siswanya secara individual dan kalau bisa menyelenggarakan pembelajaran berdiferensiasi. Sudah pasti ini menguras pikiran dan tenaga sang guru. Guru berusaha sedapat mungkin menangkal kegabutan siswanya dengan melaksanakan metode pembelajaran yang bervariasi. Maka, dia sendiri harus fresh.
***
Apakah ini karena sekolah kerap mempromosikan diri sebagai lembaga yang sanggup 'mencetak' lulusan dengan kompetensi ini dan itu?
Kata 'mencetak' itu rupanya sering digunakan dalam naskah-naskah copywriting iklan lembaga pendidikan. Kata itu mengandaikan adanya kepastian, keseragaman dan sifat massif dari output lembaga pendidikan. Seperti halnya pabrik dan mesin, sekolah mengandaikan dirinya sebagai produsen sumber daya manusia.
Karena tugasnya 'mencetak' maka menjadi wajar jika terjadi sejumlah 'salah cetak'. Bukan saja dalam hal lulusan yang dihasilkan ternyata 'meleset' dari harapan, dalam prosesnya pun sudah banyak technical and human error.
Yang sering dijadikan percontohan dalam hal mengusir kegabutan dalam belajar adalah sistem pendidikan di Finlandia. Di sekolah dasar, siswa diberi waktu bermain dan beristirahat yang lebih banyak dari waktu belajar di kelas. Fasilitas bermain di waktu rehat dibuat lengkap dan anak-anak diberi kesempatan untuk bersosialiasi dengan keluarganya di rumah dan lingkungan sosialnya. Ringkasnya kalaupun harus bersekolah, anak harus gembira belajar dan bahagia bersekolah. Harapannya, kalau siswa senang dan bahagia maka mereka akan dengan mudah menyerap materi pelajaran dan akhirnya menguasai kompetensi yang diinginkan.
Mantan wakil presiden Yusuf Kalla pernah menyarankan India atau Cina sebagai teladan sistem pendidikan bagi Indonesia. Alasannya, kedua negara itu lebih mirip situasinya dengan negara kita ketimbang Finlandia (https://www.youtube.com/watch?v=YRhROd3QdeQ).
Di Asia model pendisiplinan terbukti manjur untuk mutu output pendidikan, misalnya Singapura. Model belajar di Singapura memang stresful, tapi berhasil guna. Sedangkan kultur orang Indonesia umumnya lebih santai -apakah etos kerja ala Jepang dan Singapura misalnya cocok diterapkan di Indonesia? Apakah kita merujuk dan memaksa diri mengikuti praktik terbaik negara lain itu, ataukah kita susun praktik yang sesuai dengan karakter umum bangsa kita? Semacam diferensiasi antar bangsa, begitu.
Singkat kata, merumuskan sistem pendidikan ideal memang tidak mudah. Terutama jika harus mencomot praktik terbaik dari negara-negara yang setting sosiokulturalnya tidak sama. Tetapi juga tidak mustahil diikhtiarkan.  Intisarinya bisa dirumuskan sebagaimana berikut: Pertama, siswa harus gembira belajar dan bahagia bersekolah. Maka, mekanisme dari-hari-ke-hari di sekolah ditujukan untuk meminimalisir kegabutan saat belajar dan rasa benci bersekolah. Kedua, pembelajaran harus benar-benar selaras dengan minat dan bakat siswa. Kompetensi lulusan tidak bisa diseragamkan dan dipukul rata. Pembelajaran mandiri (heutagogy) adalah proses belajar yang disarankan. Ketiga, selain penguasaan kompetensi, pembinaan iman dan takwa serta pendidikan karakter  merupakan prioritas utama karena makin ke sini tantangan moralitas sudah pasti makin berat dan kompleks. Dekadensi tidak hanya mengancam para siswa, guru dan penyelenggara pendidikan pada umumnya juga menghadapi tantangan serupa.
Wallahu a'lam bisshawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H