Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menulis Fakta Sejarah Tidak Perlu Ilmu Musthalah

13 Juli 2024   06:15 Diperbarui: 15 Juli 2024   13:13 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Pinterest/@luhputuaprilliani

Mungkin setelah abad XIV M, ketika Al-Hafizh Ibnu Katsir penulis kitab Al-Bidayah Wan Nihayah wafat maka tradisi penulisan sejarah Islam berdasar sanad juga pupus. Penulis tidak tahu apakah penulisan biografi Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab (wafat 1793 M) juga ditulis berdasarkan sanad.

Penulisan sejarah Nusantara dan Indonesia tidak ditulis berdasarkan sanad tetapi sumber-sumber historiografi tradisional seperti manuskrip (serat, babad, tambo, hikayat, primbon), prasasti, artefak, catatan perjalanan pelancong asing, tradisi lisan, arsip Belanda, buku, koran, majalah, sumber lisan, rekaman foto dan audio video. Validitas informasinya jelas di bawah sejarah-berdasarkan-sanad akan tetapi juga tidak tepat jika dinafikan seluruhnya.

Perlu dijelaskan bahwa ilmu sejarah umum itu bisa dijadikan hujjah, sebatas keperluan benar tidaknya suatu fakta, berikut penjelasan-penjelasan (analisis dan interpretasi) bagi kejadian itu.

Pertama, tidak semua berita yang datang dari orang fasik pasti dusta seluruhnya. Al-Qur`an menyatakan bila datang orang fasik kepadamu membawa kabar berita hendaklah diperiksa terlebih dahulu (tabayyun). Ini berarti berita yang ia bawa ada kemungkinan benar dan ada kemungkinan keliru (dusta). Peluangnya fifty-fifty.

Kedua, jangankan berita dari orang fasik atau orang kafir, berita dari iblis sekalipun jika isinya benar maka harus diterima sebagai kebenaran. Tentu tanpa menghilangkan kritisisme bahwa iblis pada dasarnya adalah pendusta. Juga tanpa konsekuensi menjadikan iblis sebagai sumber informasi dalam segala hal.

Ketiga, topik bahasan sejarah umum tidak berurusan dengan yurispridensi atau hukum Islam. Jadi, tidak mesti menerapkan kaidah-kaidah kritik riwayat secara ketat sebagaimana dalam ilmu hadis. Itu yang dinyatakan Syaikh Akram Dhiya Al-Umari dalam 'Masyarakat Madinah Pada Masa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam' (1994) ketika membahas penerapan ilmu musthalah untuk cerita-cerita sejarah (maghazi dan semisalnya).

Dalam ilmu hadis dikenal kritik sanad (transmisi periwayatan) dan kritik matan (konten berita). Tujuannya adalah terpeliharanya syariat dan ucapan Nabi dari kedustaan dan pemalsuan fakta. Adapun detail-detail penggambaran fakta sejarah -yang tidak berhubungan dengan akidah atau syariah-urusannya lebih longgar.

Keempat, syariat Islam menenggang kisah-kisah Israiliyat yang kebenarannya sulit dipastikan. Jika riwayat Israiliyat itu selaras atau dikuatkan hadis sahih maka validitasnya berterima. Namun secara umum berita-berita Israiliyat yang belum pasti validitasnya disikapi secara netral: tidak dibenarkan juga tidak didustakan. Bahkan dalam satu hadis dinyatakan tidak mengapa menyampaikan cerita-cerita yang berasal dari Bani Israil lantaran keunikan cerita-cerita itu. "Sampaikanlah cerita-cerita yang berasal dari Bani Israil dan itu tidaklah mengapa." (Hadis riwayat Ahmad, Abu Dawud dan lain-lain). Dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah terdapat tambahan, "Karena sesungguhnya dalam cerita-cerita Bani Israil terkandung cerita-cerita yang menarik". Tambahan Ibnu Abi Syaibah ini dinilai sahih oleh Al Albani (https://ustadzaris.com/haramkah-cerita-fiksi).

Kalau kaidah ilmu musthalah diterapkan pada sejarah Walisongo misalnya, jelas bakal gugur semua. Sejarah Walisongo memang paling banyak dimistifikasi, tetapi cukup dengan kritik internal fakta dan fiksi bisa dipilah secara memadai. Alm. Ridwan Saidi pernah bilang bahwa sejarah itu harus rasional, harus logis. Zainal Abidin Syamsudin mengakui bahwa Walisongo itu historis, tetapi mistifikasinya harus dibuang.

Fakta bahwa Indonesia merdeka pada Jumat, 17 Agustus 1945 lewat pembacaan naskah proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur No.56 Jakarta oleh Sukarno-Hatta apakah mesti ditulis dan diperiksa dengan kaidah ilmu hadis? Apakah berita ini dusta hanya karena sampai kepada kita lewat kesaksian orang-orang fasik bahkan orang kafir? Fakta ini sampai kepada kita secara mutawatir lewat berbagai jalan dan cara (sumber lisan, tulisan, rekaman foto). Fakta bahwa Sukarno berkuasa di era Orde Lama (1959-1965) dan bahwa telah terjadi pergantian kekuasaan saat Suharto mengundurkan diri selaku presiden kepada B.J. Habibie apakah perlu ilmu musthalah? Ini juga sudah diterima secara mutawatir.

Jadi sepanjang bertutur tentang 'fakta umum' ilmu musthalah sama sekali tidak diperlukan. Untuk fakta yang lebih detail, orang bisa melakukan kritik. Sejarah tetap bisa direkonstruksi berdasarkan sumber-sumber yang valid dari segi bahan (misalnya kertas koran, buku, manuskrip, prasasti, artefak) dan dari segi isi (apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, bagaimana). Semua keterangan yang dihimpun sejarawan -dari orang saleh, orang fasik, orang muslim, orang kafir- bisa dipertentangkan satu sama lain-jika memang bertentangan. Sebaliknya harus diterima jika bukti-buktinya kuat.

Kelima, sepertiga Al-Qur`an isinya adalah kisah-kisah para nabi dan umat terdahulu. Kalau 'sejarah' dalam narasi Al-Qur`an itu bermakna transendental maka untuk skala kesadaran yang lebih rendah (misalnya menginspirasi perjuangan umat muslim dalam konteks sosial tertentu) sejarah akan sangat berguna dan dibutuhkan. Tinggal lagi cara penyajiannya.

Sejarah adalah disiplin ilmu yang terbuka. Siapa pun yang punya daya baca, kritisisme dan akses pada sumber primer bisa menjadi sejarawan. Urgensi ilmu sejarah dalam Islam tidak seperti ilmu aqidah, adab-akhlak, tata cara ibadah atau ilmu-ilmu alat, akan tetapi sebatas fardhu kifa'i yang sifatnya penyempurna.

Pemerintah melihat sejarah sebagai mata pelajaran yang strategis bagi pembinaan kesadaran nasional dan kewarganegaraan. Sedangkan dunia pendidikan Islam melihat sejarah sebagai sarana yang menghubungkan peserta didik dengan nilai-nilai perjuangan dan orientasi keumatan. Kalau misi pendidikan dan pembinaan sumber daya manusia itu sifatnya reflektif dan jangka panjang, kesadaran sejarah harus ditumbuhkan bersama dengan kesadaran-kesadaran yang lain.

Wallahu a'lam bis shawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun