Jadi sepanjang bertutur tentang 'fakta umum' ilmu musthalah sama sekali tidak diperlukan. Untuk fakta yang lebih detail, orang bisa melakukan kritik. Sejarah tetap bisa direkonstruksi berdasarkan sumber-sumber yang valid dari segi bahan (misalnya kertas koran, buku, manuskrip, prasasti, artefak) dan dari segi isi (apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, bagaimana). Semua keterangan yang dihimpun sejarawan -dari orang saleh, orang fasik, orang muslim, orang kafir- bisa dipertentangkan satu sama lain-jika memang bertentangan. Sebaliknya harus diterima jika bukti-buktinya kuat.
Kelima, sepertiga Al-Qur`an isinya adalah kisah-kisah para nabi dan umat terdahulu. Kalau 'sejarah' dalam narasi Al-Qur`an itu bermakna transendental maka untuk skala kesadaran yang lebih rendah (misalnya menginspirasi perjuangan umat muslim dalam konteks sosial tertentu) sejarah akan sangat berguna dan dibutuhkan. Tinggal lagi cara penyajiannya.
Sejarah adalah disiplin ilmu yang terbuka. Siapa pun yang punya daya baca, kritisisme dan akses pada sumber primer bisa menjadi sejarawan. Urgensi ilmu sejarah dalam Islam tidak seperti ilmu aqidah, adab-akhlak, tata cara ibadah atau ilmu-ilmu alat, akan tetapi sebatas fardhu kifa'i yang sifatnya penyempurna.
Pemerintah melihat sejarah sebagai mata pelajaran yang strategis bagi pembinaan kesadaran nasional dan kewarganegaraan. Sedangkan dunia pendidikan Islam melihat sejarah sebagai sarana yang menghubungkan peserta didik dengan nilai-nilai perjuangan dan orientasi keumatan. Kalau misi pendidikan dan pembinaan sumber daya manusia itu sifatnya reflektif dan jangka panjang, kesadaran sejarah harus ditumbuhkan bersama dengan kesadaran-kesadaran yang lain.
Wallahu a'lam bis shawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H