Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Dekade Kedua Sekolah-sekolah Sunnah: Saatnya Beralih ke Isu-isu Strategis

27 Juni 2024   14:35 Diperbarui: 21 Juli 2024   21:12 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tahun 2024, sekolah-sekolah sunnah, terutama yang didirikan di sekitaran tahun 2010 --memasuki dekade kedua dari masa perkembangannya. Masa pandemi adalah disrupsi dan sekarang segala sesuatunya sudah berjalan normal kembali. Lembaga pendidikan (pesantren dan sekolah) berbasis sunnah kian banyak didirikan dan makin mudah ditemui, seiring dengan maraknya dakwah salafiyah di Indonesia.

Yang terdata sebagai anggota Puldapii (Perkumpulan Lembaga Dakwah dan Pendidikan Islam Indonesia) dan Asesi (Perkumpulan Komunikasi Sekolah Sunnah Indonesia) mungkin ada sekitar 300-an yayasan dan sekolah. Direktori https://sekolahsunnah.com menyediakan daftar sekolah sunnah lengkap dengan alamat dan biaya-biayanya. Belum lagi lembaga-lembaga berbasis PKBM atau gugus PKBM dan lembaga non-formal lain yang jumlahnya tidak terdeteksi. Singkat kata, keberadaan lembaga pendidikan sunnah secara kuantitas sudah sangat signifikan.

Dalam kondisi semacam ini semestinya ada pergeseran isu, dari yang sudah 'usang' kepada isu-isu lain yang lebih strategis.

Ideal atau komersial

Frasa 'bisnis pendidikan' mengandung pertentangan pada dirinya sendiri (paradoks). Kalau tujuan-tujuan pendidikan dihubungkan dengan misi manusia di alam dunia ini selaku hamba Allah dan khalifah Allah, sudah pasti prosesnya harus bersifat transenden. Akan tetapi  -de facto- uang selalu menjadi masalah bagi roda operasional pendidikan, betapa pun idealisnya misi suatu lembaga. 

Di dekade yang lalu kentara betul adanya kecenderungan komersialisasi pendidikan itu-disadari atau tidak, diakui atau tidak. Yayasannya yayasan wakaf dan nirlaba namun menangguk laba besar-besaran dari pintu komersial yang lain -yang tentu saja masih halal jika tidak melabrak aturan syar'i. 

Keluhan 'sekolah sunnah mahal' dan 'rendahnya kesejahteraan guru' di sekolah elite cukup menggema bahkan hingga bulan-bulan kemarin. Dalam acara Kopdar Diskusi Pendidikan Islam Juni 2023 di Bekasi (https://www.youtube.com/watch?v=Asac05sLfQI) sejumlah punggawa sekolah sunnah sudah menjelaskan logika matematis dari besaran pembiayaan itu.  Intinya, masing-masing lembaga memiliki segmen.

Pemberlakuan subsidi silang, penyelenggaraan sekolah gratis atau pesantren gratis, penyediaan beasiswa bagi masyarakat kurang mampu juga ditempuh oleh sejumlah lembaga pendidikan. Orang harus melihat hal itu sebagai niat baik pengelolanya dan sebagai perkembangan yang positif. 

Oleh karenanya, dikotomi ideal-komersial seharusnya sudah hilang. Sifat komersial dari 'bisnis pendidikan' itu tidak boleh lebih besar dari visi dan misi (idealisme) lembaga pendidikan. Lebih bagus lagi jika yang komersial itu sengaja diupayakan untuk menyokong idealisme lembaga.

Keluarga atau Perusahaan

Atmosfer 'perusahaan' di lembaga pendidikan ditandai dengan adanya 'politik di tempat kerja'. Hirarki dan aturan yang kaku, pendisiplinan, pengedepanan sanksi dan otoritas daripada empati dan rasa kemanusiaan. Lawan dari atmosfer perusahaan adalah atmosfer kekeluargaan. 

Selaku penganut sunnah, relasi yang terbangun antara sesama pekerja, atasan dan bawahan, sudah semestinya dilandaskan pada kesamaan manhaj, ilmu dan adab. Namun perlu ada political will khususnya dari pimpinan lembaga untuk menghidupkan iklim kekeluargaan itu. 

Apalagi jika kesejahteraan belum tercapai, guru dan pegawai bisa memperoleh kebahagiaan dari saluran yang lain, dari kenyamanan berukhuwah dan kebersamaan selaku keluarga. 

Dalam lembaga berciri kekeluargaan masalah selalu bisa dibicarakan dan dirembuk bersama-sama. Toleransi yang besar dan kesetaraan menjadi ciri yang lain. Kelemahan hidup  berkomunitas/berkeluarga salah satunya adalah pergosipan yang lazim lantaran terlalu peduli.

Dengan atau Tanpa Standar

Secara filosofis, standar pendidikan itu diperlukan. Standar itu harus cukup umum dan berterima namun tetap bisa dijadikan tolok ukur. Standar kompetensi lulusan (SKL) semua lembaga pendidikan sunnah misalnya harus mencintai Allah dan Rasul-Nya (akidah), mempraktikkan sunnah (ibadah), berakhlak luhur dan bermanfaat secara sosial. Setiap SKL ditunjang standar proses dan standar asesmen yang bersesuaian.  

Standar proses dan standar asesmen adab dan akhlak perlu disusun secara lebih teliti dan tepat sasaran. Melakukan studi banding pada model-model pendidikan lain semacam kuttab, sekolah alam, sekolah adab, sentra, montessori, pendidikan karakter nabawiyah dan lain-lain tetap diperlukan agar penyusunan standar tersebut didukung oleh wawasan yang kaya sekaligus lentur. 

Kekhasan lembaga pendidikan pada tahfizh Al-Quran, sanad kitab, keterampilan membaca kitab, keterampilan berbahasa Arab, keterampilan teknologi informasi (IT), keputrian dan lain-lain bisa ditambahkan sebagai standar kompetensi tambahan atau standar kompetensi spesifik tersendiri.

Hingga saat ini, tidak ada standar dan panduan akreditasi umum yang bisa digunakan sebagai referensi dan benchmark bagi sekolah-sekolah sunnah yang baru bertumbuh. 

Nyaris semua lembaga sibuk dengan dirinya masing-masing. Juga ada kesenjangan wawasan teoretis dan standar pendidikan antara lembaga-lembaga di Jabodetabek dengan yang ada di daerah-daerah. Kondisi ini berbeda dengan JSIT (Jaringan Sekolah Islam Terpadu) yang sudah punya standar akreditasi tersendiri sejak lama.

Selain standar-standar akreditasi, pernah ada wacana menyusun kurikulum sekolah sunnah yang bisa digunakan sebagai percontohan di lingkup nasional. Namun hingga hari ini niatan itu belum kunjung terealisasi.

Manusia atau Bangunan 

Aset untuk pendidikan yang diselenggarakan secara offline, terutama selalu dibayangkan sebagai tanah dan fisik bangunan (yang tidak dipungkiri nilai strategisnya), namun menyampingkan sumber daya manusia (SDM) sebagai aset yang justeru lebih bernilai.

Pimpinan dan pengelola lembaga lebih berani mencari dana  pinjaman atau dana sumbangan untuk membangun gedung ketimbang menyediakan dana cadangan untuk memberi remunerasi yang lebih tinggi kepada guru selaku SDM unggulan. 

Kesejahteraan guru bisa ditunda sedangkan pembangunan gedung harus mendapat prioritas. Mungkin karena investasi benda mati jauh lebih aman (harganya juga naik terus), ketimbang investasi SDM yang banyak maunya.

Lewat remunerasi yang tinggi, pimpinan dan pengelola 'membeli' hati dan loyalitas para guru. Itu adalah 'bahasa cinta' pimpinan yang kelak ditangkap oleh para guru dan pegawai sebagai bukti perhatian dan penghargaan. Lagipula guru dan pegawai sejatinya adalah konsumen internal yang perlu disupport, dilayani, dan dibersamai. 

Tidak perlu kuatir guru jadi materialistis. Tidak ada pendidik yang hatinya 100% komersil. Harta itu hanyalah sarana ta'liful qulub (menjinakkan hati). Kalau hati sudah jinak, orang tidak gampang berontak. Turnover tidak perlu terjadi.

Allah saja mengganti satu kebaikan dengan 10 kali lipat ganjaran, dan hanya membalas 1 kejahatan dengan 1 balasan yang setara.

"Barangsiapa yang datang dengan amal yang baik, maka baginya sepuluh kali lipat pahala; dan barangsiapa yang datang dengan perbuatan jahat maka dia tidak diberi balasan melainkan dengan yang seimbang, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)." (QS. Al An'am (6): 160).

Artinya, dalam Islam ada apresiasi yang sangat tinggi untuk prestasi (10 kali lipat) dan satu sanksi yang setara kadarnya untuk satu kesalahan/pelanggaran. Seakan-akan ada ruang toleransi yang besar bagi kesalahan karena hukumannya tokh seimbang. Sedangkan untuk kebaikan dan prestasi justru ada dorongan dan anjuran yang besar dengan iming-iming ganjaran minimal 10 kali lipat.

Jika manajemen reward ini bisa diterapkan maka pimpinan tidak perlu fokus berlebihan pada kesalahan sementara kurang memberi apresiasi atas capaian prestasi guru dan pegawai. Dengan cara ini pula insya Allah investasi SDM bisa dijalankan secara berkelanjutan.

Wallahu a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun