Dalam dialog-dialog yang diterakan dalam Al-Qur`an, para nabi selalu unggul dalam adu argumentasi dengan kaum musyrikin, baik itu dari kalangan awam, raja, pembesar, atau tokoh masyarakat.
Kefasihan (al-fashahah) itu memang dibutuhkan dalam rangka menerangkan kebenaran, dalam rangka wajadilhum billati hiya ahsan (berdebat dengan cara terbaik).
Nabi Musa alaihissalam meminta kepada Allah agar Harun, kakak beliau, dijadikan mitra beliau dalam berdakwah, semata karena Harun lebih fasih berbicara. Menyadari kekurangfasihannya, beliau juga berdoa agar dikaruniai kemampuan berucap dan berkata-kata.
Kaum Nabi Musa  pernah melecehkan Musa sebagai orang rendahan (mahinun) yang tidak pandai menjelaskan sesuatu (wala yakadu yubin).
Sedangkan Syuaib alaihissalam dikatakan kaumnya sebagai orang yang memperbanyak debat (fa-aktsarta jidalana). Padahal sejatinya yang dilakukan Syuaib adalah memperbanyak hujjah dari berbagai sisi.
Kaum Nabi Syuaib juga berdusta dengan mengatakan bahwa mereka tidak paham kebanyakan ucapan Syuaib. Sebetulnya, bukannya mereka tidak paham, melainkan enggan menerima hujjah yang disampaikan Syuaib.
Ibrahim al-Khalil alaihissalam adalah salah satu figur nabi yang banyak melakukan dialog. Di antaranya adalah dialog beliau bersama ayahnya yang termuat di dalam Surat Maryam sebagai berikut:
Dan kisahkanlah (Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Kitab (Al-Qur`an), sesungguhnya dia seorang yang sangat jujur, seorang nabi.
(Ingatlah) ketika dia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya, "Wahai ayahku! Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun?
Wahai ayahku! Sungguh, telah sampai kepadaku sebagian ilmu yang tidak diberikan kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.