Bahasa cinta itu harus 'sampai' kepada orang lain. Orang yang butuh kata-kata dukungan tidak merasa dicintai dengan 'pelayanan' dan 'sentuhan fisik'. Ada orang yang lebih tersentuh dengan pemberian daripada sekadar apresiasi dan pujian. Maka, orang yang hendak mengirim bahasa cintanya harus tahu betul kebutuhan anak, peserta didik, pasangan atau orang lain yang hendak ia cintai (dan kelak membalas cintanya).
Kesulitan dan seninya justru ada situ. Yaitu menjadikan pengendalian ego, pikiran positif, kelembutan dan kesabaran sebagai refleks yang muncul secara organik saat obyek cinta itu ngelunjak dan belum juga menunjukkan isyarat dan keinginan membalas cinta kita. Kita merasa bertepuk sebelah tangan, padahal soalnya adalah kesetiaan, harapan positif, dan menunggu dengan segenap rasa sabar.
Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H