Sebaliknya, ada yang memandang guru tak lebih sebagai pegawai lembaga, sebagai buruh di dunia pendidikan yang dibayar menurut jam ajar, menurut presensi dan absensi. Kemerdekaan guru tergadai dengan kontrak kerja, gaji, dan fasilitas lain. Maka, di lembaga pendidikan semacam ini guru didisiplinkan dengan ketat. Secara legal-formal penyikapan ini sah-sah saja. Guru memang harus didisiplinkan sebelum mereka mendisiplinkan murid-muridnya. Tapi, betapa kasihan!
Menurut kami, tidak tepat menganalogikan profesi guru dengan profesi nabi yang berdakwah di jalan Allah yang melazimkan nihilnya upah. Guru adalah penyedia jasa yang berhak diberi upah sewajarnya. Sebagai pendidik memang dia harus sedapat mungkin menjadi teladan, mencontoh para nabi berdakwah, terlebih jika sang guru mengajar ilmu-ilmu diniyah.
Dalam satu hadis Nabi disebutkan:
Inna ahaqqa ma akhadztum alaihi ajran kitabullah...
"Sesungguhnya yang paling pantas diambil upahnya oleh kalian adalah mengajarkan kitab Allah (Al-Qur`an)," hadis ini sahih diriwayatkan oleh Al-Bukhari.
Kalau mengajarkan Al-Qur`an -kalam Allah yang paling suci saja layak mendapat upah, apalagi pelajaran-pelajaran diniyah dan keterampilan duniawi di bawah itu. Â
Kemerdekaan guru selayaknya tidak digadaikan total semata lantaran kesejahteraan yang diterimanya. Sekolah bukan perusahaan (ataukah sekolah itu perusahaan?). Sekolah harus menjadi rumah dan keluarga. Pertemanan antar guru, perhubungan antara pengayom guru dan guru bukan dilandaskan pada asas kolegial transaksional. Semuanya keluarga, berteman dan bersaudara (ataukah semestinya hanya hubungan kerja?). Hanya sekolah yang punya misi dakwah yang sanggup memperlakukan guru sebagai keluarga bukan buruh atau pegawai.
Guru terjepit di antara dua karang: kesejahteraan dan kemerdekaan. Jika kesejahteraannya digenjot kemerdekaannya diinjak. Jika dia lebih longgar dan merdeka, kesejahteraannya boleh ditunda. Kebahagiaan guru adalah jika dia diberi ruang berekspresi dan berkarya sementara kesejahteraannya aman dan terjamin. Betapa menyedihkan jika sejahtera tidak, merdeka pun tidak.
Selama gaji guru belum standar maka standar-standar pendidikan lainnya hanya tinggal omong kosong. Bagaimana kita mau menjunjung pendidikan, menghasilkan lulusan unggulan yang begini dan begitu, jika kesejahteraan guru (ujung tombak pendidikan) masih pula di bawah standar?
Mungkin karena gedung dan bangunan tidak bisa ikhlas, bersabar dan bersyukur seperti para guru itu. Karena gedung dan bangunan tidak bisa dituduh kurang ikhlas dan tidak qana'ah.
Wallahu a'lam.