Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Isu Kesejahteraan Guru

20 Februari 2024   21:58 Diperbarui: 21 Februari 2024   06:21 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pexels-pixabay

Isu kesejahteraan guru masih bergulir hingga belakangan ini. Tentu kita tidak menyoal kesejahteraan para guru yang 'sukses', yang secara struktural dan fungsional karirnya berkembang secara runut dan wajar hingga mencapai kemapanan. Segmen sosial ini harus diakui memang ada dan cukup banyak. Namun, segmen mereka yang struggling dipastikan juga tak kalah banyaknya.

Sebagian orang enggan mengangkat atau menyinggung isu kesejahteraan guru, khususnya perihal gaji. Ada kesan memalukan, minimalnya 'menurunkan derajat' bagi pihak yang menuntut. 

Sedangkan bagi kalangan yang dituntut, gugatan soal gaji atau insentif seringkali menjadi perkara yang menyulut harga diri dan bisa jadi disikapi sebagai sikap kurang menerima, kurang bersyukur, dan kurang ikhlas. Mengapa para guru itu tidak bersyukur dan tidak ikhlas, bukankah seharusnya mereka menjadi teladan dalam pengabdian? 

Isu kesejahteraan guru kerap dianggap sebagai isu sensitif. Atasan merasa tahu kapan waktunya kesejahteraan itu digelontorkan. Sedangkan bawahan merasa takut: alih-alih hendak menyoal gaji dan insentif malah menyinggung ego atasan hingga berujung pada pemecatan.

Mengapa pula harus menjadi sensitif jika memang latar belakangnya adalah itikad baik dan cara mengomunikasikannya pun santun dan etis? Guru dan para pengayom guru pastinya adalah orang-orang bijak dan berilmu. Semestinya ada mekanisme komunikasi yang sejajar dari kedua belah pihak. Jika ada konflik kemungkinan lantaran itikad yang kurang baik atau cara berkomunikasi yang tidak santun.

Kesejahteraan guru merupakan isu yang sangat disadari namun lambat ditindaki. Ekspansi dan pengembangan kelembagaan dipandang lebih urgen daripada kesejahteraan para punggawa pendidikan itu. Pembangunan sarana fisik juga tak kalah pentingnya. Sebab, mayoritas konsumen pendidikan lebih percaya pada lembaga pendidikan (sekolah) yang bangunannya mentereng.

Guru juga menjadi pihak 'yang dikorbankan' manakala konsumen pendidikan (para orang tua) terdiri dari kalangan yang kurang mampu. Dalam kondisi ini, guru harus betul-betul melipatgandakan keikhlasannya.

Antara Buruh dan Pewaris Nabi

Ada sementara pegiat pendidikan yang memandang profesi guru sejajar dengan para ulama pewaris nabi bahkan dengan nabi itu sendiri. Para nabi adalah pendakwah di jalan Allah yang tidak diupah. Karena itu, para pengayom guru yang berpaham seperti ini mengartikan keikhlasan secara harfiah sebagai kerelaan tidak dibayar.

Guru adalah peran sosial profetis yang ganjarannya adalah pahala dan surga.

Sebaliknya, ada yang memandang guru tak lebih sebagai pegawai lembaga, sebagai buruh di dunia pendidikan yang dibayar menurut jam ajar, menurut presensi dan absensi. Kemerdekaan guru tergadai dengan kontrak kerja, gaji, dan fasilitas lain. Maka, di lembaga pendidikan semacam ini guru didisiplinkan dengan ketat. Secara legal-formal penyikapan ini sah-sah saja. Guru memang harus didisiplinkan sebelum mereka mendisiplinkan murid-muridnya. Tapi, betapa kasihan!

Menurut kami, tidak tepat menganalogikan profesi guru dengan profesi nabi yang berdakwah di jalan Allah yang melazimkan nihilnya upah. Guru adalah penyedia jasa yang berhak diberi upah sewajarnya. Sebagai pendidik memang dia harus sedapat mungkin menjadi teladan, mencontoh para nabi berdakwah, terlebih jika sang guru mengajar ilmu-ilmu diniyah.

Dalam satu hadis Nabi disebutkan:

Inna ahaqqa ma akhadztum alaihi ajran kitabullah...

"Sesungguhnya yang paling pantas diambil upahnya oleh kalian adalah mengajarkan kitab Allah (Al-Qur`an)," hadis ini sahih diriwayatkan oleh Al-Bukhari.

Kalau mengajarkan Al-Qur`an -kalam Allah yang paling suci saja layak mendapat upah, apalagi pelajaran-pelajaran diniyah dan keterampilan duniawi di bawah itu.  

Kemerdekaan guru selayaknya tidak digadaikan total semata lantaran kesejahteraan yang diterimanya. Sekolah bukan perusahaan (ataukah sekolah itu perusahaan?). Sekolah harus menjadi rumah dan keluarga. Pertemanan antar guru, perhubungan antara pengayom guru dan guru bukan dilandaskan pada asas kolegial transaksional. Semuanya keluarga, berteman dan bersaudara (ataukah semestinya hanya hubungan kerja?). Hanya sekolah yang punya misi dakwah yang sanggup memperlakukan guru sebagai keluarga bukan buruh atau pegawai.

Guru terjepit di antara dua karang: kesejahteraan dan kemerdekaan. Jika kesejahteraannya digenjot kemerdekaannya diinjak. Jika dia lebih longgar dan merdeka, kesejahteraannya boleh ditunda. Kebahagiaan guru adalah jika dia diberi ruang berekspresi dan berkarya sementara kesejahteraannya aman dan terjamin. Betapa menyedihkan jika sejahtera tidak, merdeka pun tidak.

Selama gaji guru belum standar maka standar-standar pendidikan lainnya hanya tinggal omong kosong. Bagaimana kita mau menjunjung pendidikan, menghasilkan lulusan unggulan yang begini dan begitu, jika kesejahteraan guru (ujung tombak pendidikan) masih pula di bawah standar?

Mungkin karena gedung dan bangunan tidak bisa ikhlas, bersabar dan bersyukur seperti para guru itu. Karena gedung dan bangunan tidak bisa dituduh kurang ikhlas dan tidak qana'ah.

Wallahu a'lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun