Pembelajaran di Raudhatul Ilmi dirancang sebermakna mungkin lewat tema-tema yang bersentuhan langsung dengan dunia nyata. Misalnya peserta didik diajak berbelanja sayur mayur di warung sayur dekat sekolah dan memasak. Pelajaran berhitung, ilmu alam (mengenal tetumbuhan), bernegosiasi dan berkomunikasi, bekerja sama, pendidikan jasmani dan kesehatan, project based learning, enviromental learning, learning by traveling sudah tercakup semua di situ.Â
Rekan guru yang lain -Kepala Rumah Tahfizh Riyadhul Qur`an, Sukatani Depok menyatakan bahwa dia tidak bisa mengabaikan administrasi dan pencatatan. Menurutnya administrasi tetap penting. Teman saya ini jelas tidak bisa disebut 'ekstrem kanan', apalagi jika tahfizh menjadi fokus utama kompetensi peserta didiknya. Pencatatan sangat penting untuk merekam perkembangan hafalan dan kekuatan hafalan peserta didik.
Yang disebut 'ekstrem kanan' adalah administrasi yang pernah dituntut para pengawas sekolah UPTD era Kurikulum 2013. Saat menjadi guru kelas di salah satu sekolah dasar Islam di Karawang, guru sangat dianjurkan membuat beragam catatan tentang peserta didik (sekitar 20 buku): catatan kehadiran, catatan kesehatan, tanda terima rapor, sampai perkembangan tinggi badan peserta didik semua harus ada bukunya. Belum lagi pengamatan karakter yang penilaiannya harus ditulis dalam bentuk narasi. Akhirnya, guru malah mengakali tuntutan itu dengan membuat aplikasi Excel. Penilaian tetap dalam format angka namun angka-angka itu akan terkonversi otomatis menjadi narasi di lembaran rapor. Administrasi demikian ini bisa digolongkan sebagai 'ekstrem kanan'.
Persoalannya apakah dengan menulis post learning notes guru dihasung menjadi 'ekstrem kanan'? Nah, soal ekstrem kanan atau kiri itu terserah pada kecenderungan dan pilihan pribadi. Juga tergantung pada kadar kerepotan masing-masing.Â
Wallahu a'lam bis shawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H