Sebagian rekan guru mengaku tidak memerlukan lesson plan. Kata mereka: tidak mau terjebak formalisme administratif. Sikap mereka hampir saya kategorikan sebagai 'ekstrem kiri '. Ini juga dimaklumi karena beban kerja dan tanggung jawab yang banyak. Mayoritas mereka adalah para guru berpengalaman yang sudah lihai mengendalikan dan memenej kelas. Meski tidak menyusun lesson plan mereka tetap punya promes (program semester) dan prota (program tahunan).Â
Post learning notes mencatat perubahan lesson plan itu dan merekam kejadian-kejadian menarik saat pembelajaran berlangsung. Munif Chatib menyebut istilah special moments, sedangkan Kurikulum Merdeka  menyebut catatan anekdotal. Post learning notes merupakan gabungan special moments dan catatan anekdotal yang ditulis secara rutin.
Atmosfer belajar tidak selalu menggairahkan namun lewat post learning notes guru bisa melakukan refleksi, mempertanyakan mengapa hal itu sampai terjadi. Apakah yang ia kejar penyampaian materi? Atau, sebaliknya ia mengabaikan materi karena ingin 'menyenangkan' peserta didik? Proses pembelajaran bagaimanakah yang membuat kompetensi terserap namun tetap menyenangkan dalam prosesnya? Apakah 'menyenangkan' itu wajib?
Bayangkan, menulis bisa membawa pada pertanyaan-pertanyaan mendasar semacam itu.
Sama seperti lesson plan, fungsi post learning notes di antaranya: menjadi alat dokumentasi pembelajaran dan kenang-kenangan, sarana literasi guru, bukti dan portofolio kerja guru, dan bahan referensi bagi guru yang lain, bahkan bisa diterbitkan sebagai buku.
Persoalannya apakah dengan menulis post learning notes guru dihasung menjadi 'ekstrem kanan'? Nah, soal ekstrem kanan atau kiri itu terserah pada kecenderungan dan pilihan pribadi. Juga tergantung pada kadar kerepotan masing-masing.Â
Wallahu a'lam bis shawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H