Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kesarjanaan & Kompetensi Rujulah

21 Desember 2023   17:51 Diperbarui: 29 Desember 2023   10:39 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto:https://unsplash.com/photos/fountain-pen-on-black-lined-paper-y02jEX_B0O0

Soedjatmoko, diplomat dan intelektual kenamaan itu, suatu hari pernah berpesan kepada sejarawan Anhar Gonggong: "Ada satu pekerjaan yang seharusnya [tidak] dilewati dan orang masih mencari sampai sekarang, yaitu menjadi seorang pembelajar intelektual. Tetapi itu pekerjaan yang tidak mudah, karena anda harus membaca tiap hari dan anda harus menulis tiap hari."
Peristiwa ini terjadi di Kongres Taman Siswa tahun 1971 yang dihadiri sejumlah intelektual terkemuka. Anhar saat itu masih berstatus mahasiswa.


Di lain kesempatan, kisah Anhar, Soedjatmoko juga berpesan kepadanya, "Kalau kamu diundang [dan] kamu diminta berbicara, jangan kamu ulangi apa yang telah kamu bicarakan. Kamu harus selalu mencari sesuatu yang baru, karena kalau kamu hanya mengulang-ulang, tidak ada gunanya kamu menjadi sarjana."

Menanggapi hal itu Anhar tertawa dan mengaku pusing: "Ternyata menjadi sarjana tidak mudah..."


Jadi sebenarnya sebelum melakukan 'terobosan-terobosan' baru, sekolah tinggi itu perlu merujuk pada tujuan dan misi awal pendiriannya: menghasilkan para sarjana orisinal, yang menulis dan membaca setiap hari, sarjana yang senantiasa menemukan dan memberi kontribusi berupa hal-hal baru dalam peran sosialnya sebagai anggota masyarakat, bangsa dan negara.


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sarjana didefinisikan sebagai orang pandai atau ahli ilmu pengetahuan. Sarjana juga berarti 'gelar strata satu yang dicapai oleh seseorang yang telah menamatkan pendidikan tingkat terakhir di perguruan tinggi.' Tentu saja yang perlu dikejar oleh lembaga pendidikan tinggi adalah esensi kesarjanaan sebagaimana definisi yang pertama, dan bukan gelarnya -- yang belakangan kerap disematkan secara palsu.


Kata 'sarjana' sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang salah satu maknanya adalah the act of creating (tindakan mencipta).  
Rasanya teramat musykil kalau perguruan tinggi sendiri masih berpihak pada komodifikasi pengetahuan. Perguruan tinggi butuh 'dana' dalam rangka bertahan hidup -terutama di tahun-tahun awal pendiriannya, dan komoditas andalan yang ia  miliki adalah ilmu pengetahuan.


Uang menjadi 'darah' yang menghidupi tubuh dan gerak kelembagaannya. Asal bisa membayar biaya kuliah, biaya SKS, uang ujian, biaya wisuda, dan lain sebagainya seseorang yang menyandang status 'mahasiswa' kelak bisa menjadi 'sarjana'. Sekolah-sekolah tinggi Islam pun tak luput dari penyakit yang sama. Orang yang tidak layak menyandang gelar sarjana karena tidak becus menyusun skripsi, tidak memahami logika sederhana dalam sistematika penulisan karya tulis, bisa lulus menjadi sarjana semata-mata karena telah membayar. Ini faktual.


Kemudian para dosen penguji terdiri dari pribadi-pribadi dengan kejujuran ilmiah yang berseberangan: yang satu idealis dan galak sekali, yang kedua sangat gampangan memberi tanda tangan persetujuan pada proposal bab-bab skripsi yang diajukan. Pada akhirnya tarik menarik itu kelak dimenangkan kebijakan lembaga untuk meluluskan semua mahasiswa yang lunas membayar segala biaya.


Jadilah gelar sarjana itu sebagai tulisan yang melekat di sertifikat dan foto kenang-kenangan wisuda dalam baju toga. Ijazah dan foto wisuda itu merupakan kesaksian palsu atas hakikat kesarjanaan yang tidak ada dalam hati dan pikiran sang lulusan. 'Sarjana' itu tidak membaca dan tidak menulis, tidak menemukan atau menciptakan hal-hal baru. Sarjana itu juga bukan pembelajar intelektual, melainkan buruh di dunia pendidikan yang sibuk mencari reimburse dari biaya pendidikan yang telah dikeluarkan (untuk mewakili kenyataan yang paling buruk).


Untuk kasus yang paling lazim, para 'sarjana' itu sebenarnya hanya membutuhkan lembaran sertifikat strata satu guna memenuhi syarat dan tuntutan birokrasi pendidikan. Seorang guru tahfizh misalnya sudah cukup kompeten di bidangnya karena sudah hafal Al-Qur`an, hafal Tuhfatul Athfal dan bisa mengajar. Dia tidak perlu menjadi 'sarjana'. Dia hanya perlu menunjukkan sertifikat kompetensi, bukan gelar sarjana.


Sikap yang tidak menjunjung etika kesarjanaan itu -dengan meluluskan mahasiswa yang tidak layak menyandang gelar sarjana --sebenarnya berasal dari sikap merendahkan ilmu pengetahuan, domain utama perguruan tinggi. Padahal sejarah awal pendirian perguruan tinggi adalah guna menemukan kebenaran.


Seorang guru yang sarjana bisa saja atau memang seharusnya mengajar, berbagi ilmu, membaca, menulis dan menemukan hal-hal baru yang bisa ia kontribusikan pada dunia yang digelutinya (termasuk dunia pendidikan). Sayangnya, dunia pendidikan kita masih berkutat pada birokrasi dan belum mampu memberi apresiasi kesejahteraan yang patut sehingga para pendidik itu pun harus mencari saluran-saluran lain guna meningkatkan hidup perekonomiannya. Alasan klasik ini membuat mereka tidak sempat membaca, menulis atau memikirkan serta merancang temuan-temuan baru lewat riset kecil-kecilan atau bahkan riset-riset serius yang anggarannya ditetapkan secara khusus oleh sekolah.


Sekolah tinggi yang kelak diselenggarakan nanti sudah pasti harus merujuk pada patokan-patokan etika agama Islam dengan manhaj yang sudah kita kenal. Rumusan-rumusan etika praktis juga bisa ditemukan dalam UU No.12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi. Dalam beberapa tahun ke depan  (misalnya lima tahun mendatang) upaya manajemen dan civitas akademika bisa diarahkan ke sana, baru setelah itu bisa dipikirkan terobosan-terobosan baru berdasarkan pengalaman dan integritas yang sudah dicapai.


Rumusan Tri Dharma saja sudah merupakan idealita dan tantangan yang serius (meski tidak selalu 'berat'). Menyelenggarakan pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat secara simultan sebagai pengalaman pertama merintis pendidikan tinggi yang diidamkan.


Sudah pasti sekolah tinggi itu terbuka terhadap model-model pembelajaran yang baru, menjadikan riset dan penelitian sebagai budayanya, menghasilkan orang-orang yang bersedia 'menyumbang sesuatu' bagi masyarakat (umat) utamanya lewat mengajar dan mendidik, menghasilkan para sarjana yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kebenaran yang merupakan produk dari sekolah tinggi dan para dosen dengan karakter serupa. Bisa dan terbiasa membaca, menulis, berdiskusi (mungkin juga berdebat), menyajikan hal-hal baru, temuan-temuan baru yang berguna untuk kemaslahatan umat dalam jangka pendek maupun jangka panjang.


Sekolah tinggi itu haruslah terjangkau biayanya dan berpihak pada masyarakat lemah, dalam rekrutmen dan dalam program pengabdian masyarakatnya, khususnya di segmen-segmen masyarakat yang belum tersentuh dakwah.


Dalam bayangan kita tentang lulusan sekolah tinggi itu, bukan hanya kompetensi kesarjanaan hakiki saja yang kita kejar di bawah semboyan Tridharma perguruan tinggi, akan tetapi juga para sarjana yang merupakan rijaalud da'wah. Para lelaki yang memiliki tekad kuat di dalam hati untuk menolong dan membela agama Allah. Dengan kalimat lain, mereka yang memiliki kompetensi rujulah sebagaimana pernah dibahas: pemimpin di lingkup keluarga dan umat, kader yang berilmu dan berpengalaman, penyokong ajaran Rasul, pendukung sunnah Nabi, memiliki rasa takut akan nikmat Allah (takut kufur nikmat), penganjur kebaikan, pendorong aksi nyata yang didasari tawakkal kepada Allah, mencintai kesucian lahir dan batin,  berorientasi akhirat dan mempunyai rasa takut akan hari akhir, suka menolong dan membela ahlul-haq.


Sementara kompetensi rujulah berorientasi 'ke atas', proses pendidikan itu juga harus menumbuhkan soft competence berupa kecintaan belajar, daya fleksibilitas, kelincahan dan adaptabilitas untuk masa depan yang serba tidak pasti. Etika ilmu, prinsip-prinsip belajar dan mendidik yang fundamental sudah harus dikuasai para mahasiswa itu secara mutqin, sehingga kerentanan, ketidakpastian, kompleksitas dan ambiguitas (VUCA) apa pun di masa mendatang tidak berdampak sgnifikan pada keberadaan dirinya dan keberadaan peran sosialnya di tengah-tengah umat dan masyarakat.


Wallahu a'lam bis shawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun