Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kesarjanaan & Kompetensi Rujulah

21 Desember 2023   17:51 Diperbarui: 29 Desember 2023   10:39 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto:https://unsplash.com/photos/fountain-pen-on-black-lined-paper-y02jEX_B0O0


Sikap yang tidak menjunjung etika kesarjanaan itu -dengan meluluskan mahasiswa yang tidak layak menyandang gelar sarjana --sebenarnya berasal dari sikap merendahkan ilmu pengetahuan, domain utama perguruan tinggi. Padahal sejarah awal pendirian perguruan tinggi adalah guna menemukan kebenaran.


Seorang guru yang sarjana bisa saja atau memang seharusnya mengajar, berbagi ilmu, membaca, menulis dan menemukan hal-hal baru yang bisa ia kontribusikan pada dunia yang digelutinya (termasuk dunia pendidikan). Sayangnya, dunia pendidikan kita masih berkutat pada birokrasi dan belum mampu memberi apresiasi kesejahteraan yang patut sehingga para pendidik itu pun harus mencari saluran-saluran lain guna meningkatkan hidup perekonomiannya. Alasan klasik ini membuat mereka tidak sempat membaca, menulis atau memikirkan serta merancang temuan-temuan baru lewat riset kecil-kecilan atau bahkan riset-riset serius yang anggarannya ditetapkan secara khusus oleh sekolah.


Sekolah tinggi yang kelak diselenggarakan nanti sudah pasti harus merujuk pada patokan-patokan etika agama Islam dengan manhaj yang sudah kita kenal. Rumusan-rumusan etika praktis juga bisa ditemukan dalam UU No.12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi. Dalam beberapa tahun ke depan  (misalnya lima tahun mendatang) upaya manajemen dan civitas akademika bisa diarahkan ke sana, baru setelah itu bisa dipikirkan terobosan-terobosan baru berdasarkan pengalaman dan integritas yang sudah dicapai.


Rumusan Tri Dharma saja sudah merupakan idealita dan tantangan yang serius (meski tidak selalu 'berat'). Menyelenggarakan pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat secara simultan sebagai pengalaman pertama merintis pendidikan tinggi yang diidamkan.


Sudah pasti sekolah tinggi itu terbuka terhadap model-model pembelajaran yang baru, menjadikan riset dan penelitian sebagai budayanya, menghasilkan orang-orang yang bersedia 'menyumbang sesuatu' bagi masyarakat (umat) utamanya lewat mengajar dan mendidik, menghasilkan para sarjana yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kebenaran yang merupakan produk dari sekolah tinggi dan para dosen dengan karakter serupa. Bisa dan terbiasa membaca, menulis, berdiskusi (mungkin juga berdebat), menyajikan hal-hal baru, temuan-temuan baru yang berguna untuk kemaslahatan umat dalam jangka pendek maupun jangka panjang.


Sekolah tinggi itu haruslah terjangkau biayanya dan berpihak pada masyarakat lemah, dalam rekrutmen dan dalam program pengabdian masyarakatnya, khususnya di segmen-segmen masyarakat yang belum tersentuh dakwah.


Dalam bayangan kita tentang lulusan sekolah tinggi itu, bukan hanya kompetensi kesarjanaan hakiki saja yang kita kejar di bawah semboyan Tridharma perguruan tinggi, akan tetapi juga para sarjana yang merupakan rijaalud da'wah. Para lelaki yang memiliki tekad kuat di dalam hati untuk menolong dan membela agama Allah. Dengan kalimat lain, mereka yang memiliki kompetensi rujulah sebagaimana pernah dibahas: pemimpin di lingkup keluarga dan umat, kader yang berilmu dan berpengalaman, penyokong ajaran Rasul, pendukung sunnah Nabi, memiliki rasa takut akan nikmat Allah (takut kufur nikmat), penganjur kebaikan, pendorong aksi nyata yang didasari tawakkal kepada Allah, mencintai kesucian lahir dan batin,  berorientasi akhirat dan mempunyai rasa takut akan hari akhir, suka menolong dan membela ahlul-haq.


Sementara kompetensi rujulah berorientasi 'ke atas', proses pendidikan itu juga harus menumbuhkan soft competence berupa kecintaan belajar, daya fleksibilitas, kelincahan dan adaptabilitas untuk masa depan yang serba tidak pasti. Etika ilmu, prinsip-prinsip belajar dan mendidik yang fundamental sudah harus dikuasai para mahasiswa itu secara mutqin, sehingga kerentanan, ketidakpastian, kompleksitas dan ambiguitas (VUCA) apa pun di masa mendatang tidak berdampak sgnifikan pada keberadaan dirinya dan keberadaan peran sosialnya di tengah-tengah umat dan masyarakat.


Wallahu a'lam bis shawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun