Ust. Abdul Khaliq sebelah kiri (dokumentasi pribadi)
Banyak sekali faidah dari pertemuan di acara ‘Implementasi Pendidikan Fitrah dalam Lembaga Pendidikan’ 10-12 Maret 2023 lalu bersama Ustadz Abdul Khaliq di IDN Boarding School Jonggol Jawa Barat . Acara itu digagas oleh Bayu Issetyadi –seorang pendidik lulusan UI yang sangat concern dengan pendidikan karakter.
Yang terpenting dari isi pertemuan itu di antaranya adalah kesimpulan betapa pendidikan kita secara umum masih menyelenggarakan pendidikan yang non-esensial: menjejali peserta didik dengan pengetahuan-pengetahuan yang tidak berguna, tidak relevan, tidak urgen dan tidak terpakai dalam kehidupan nyata mereka.
Ustadz Abdul Khaliq meyakini bahwa peserta didik hanya perlu diajari perkara-perkara yang mereka butuhkan di dunia nyata dan dibekali pengetahuan dan keterampilan mendalam jika memang bidang itu merupakan bakatnya. Pendekatan pendidikan karenanya sangat individual di ranah bakat, namun bisa juga massif sejauh berhubungan dengan practical life skills yang umum harus dimiliki semua orang.
Anak didik tidak hanya harus tumbuh menjadi pribadi yang shalih akan tetapi juga ia harus menjadi mushlih yakni orang yang melakukan perbaikan dan menebar manfaat bagi orang lain. Ini selaras dengan tujuan penciptaan manusia menurut Al-Qur`an yaitu untuk beribadah (menjadi ‘hamba’ yang baik) dan menjadi khalifah (pemakmur bumi).
Sebagai permisalan, peserta didik hanya perlu belajar operasi matematika dasar jika hidupnya memang hanya membutuhkan hal itu. Belajar tentang uang, jumlah benda, luas bangunan, kuantitas, ukuran, dan sejenisnya yang sifatnya terpakai, namun tidak perlu belajar integral dan kalkulus – kecuali jika dia berbakat matematika dan punya peminatan mendalami matematika. Tidak perlu belajar majas, aneka macam puisi, sintaksis, drama dan sejenisnya jika yang dibutuhkan adalah sekadar  bertutur dan menulis sesuai panduan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, kecuali jika memang ia berbakat bahasa dan ingin menjadi sastrawan.
Keprihatinan lainnya adalah ketiadaan pengetahuan sederhana tentang kerangka tahapan usia yang memberi arahan tentang apa yang terpenting dialami dan dipelajari pada masing-masing tahapan itu. Memahami usia emas belajar peserta didik akan memandu pendidik untuk memberi pendampingan pembelajaran sesuai tingkat perkembangan dan kebutuhan psikologis peserta didik. Terluputnya pemenuhan kebutuhan psikologis pada tahapan usia tertentu akan menyebabkan terjadinya ‘hutang pengasuhan’ atau ‘luka pengasuhan’ pada diri peserta didik yang membuat kehidupan keimanan dan psikologisnya menjadi guncang.
Seorang anak yang sudah baligh adalah manusia dewasa yang seharusnya sudah tumbuh karakter iman, karakter belajar dan karakter bakatnya,  sehingga dengan demikian, ia  dapat melanjutkan hidupnya sebagai muslim dan muslimah yang mandiri beribadah, mandiri belajar dan memberi kontribusi sosial lewat bakat yang ia miliki. Â
Namun yang terjadi seringkali yang sebaliknya. Anak seharusnya menjadi pribadi dewasa (saat baligh), namun keimanannya belum tumbuh (bahkan 'rusak'), semangat belajarnya nihil dan kebermanfaatan sosialnya tidak tampak. Ternyata setelah diteliti ada proses-proses yang keliru terkait pemenuhan kebutuhan psikologis menurut tahapan usia anak. Anak misalnya sudah dipaksa belajar membaca, bertulis dan berhitung di usia Taman Kanak-kanak.Â
Anak harus menghafal sekian banyak kosakata Arab yang tidak urgen untuk anak usia tersebut. Apalagi ketika lanjut ke SD, anak itu tidak menemukan adanya kontinuitas pembelajaran antara masa TK-nya dengan pembelajaran di SD karena kedua lembaga pendidikan itu dikelola oleh dua lembaga yang visi dan misinya berbeda. Pengetahuannya yang diperoleh semasa TK karenanya menjadi mubazir. Lebih dari itu anak kehilangan masa emas untuk belajar dengan bermain. Egosentrismenya tidak terpuaskan. Akibatnya, di masa SD ia sudah jenuh belajar dan kehilangan rasa ingin tahunya.
Tidak hanya itu lembaga pendidikan terkadang memberi perlakuan yang keliru saat peserta didik melakukan kesalahan. Memberi sanksi berupa hukuman fisik misalnya bukan tidak mungkin malah membuat peserta didik menjadi benci kepada gurunya, membenci lingkungan persekolahan (pesantren) dan bahkan membenci agama Islam.
Tidak mungkin memindahkan uraian Ustadz Abdul Khaliq seluruhnya ke dalam tulisan ini. Tetapi tiga tahap krusial dalam teori pendidikan fitrah kurang lebih adalah sebagai berikut:
Thufulah disebut juga masa kanak-kanak. Pada masa ini imajinasi anak sangat kuat, egosentrisme juga sangat tinggi. Karenanya anak harus dipuaskan egosentrismenya dengan memberinya kebebasan dan kebahagiaan yang optimal di masa kecil.
Pada fase murahaqah seyogyanya anak sudah mengetahui potensi bakatnya sehingga ketika baligh nanti ia memiliki kemandirian ekonomi. Ia sudah belajar mencari nafkah dan penghidupan pada bidang yang memang sangat ia kuasai (bakatnya). Semua itu ditopang dengan keimanan yang sudah tumbuh berakar dan  kemandirian belajar.
Jika anak sudah baligh (katakanlah pada usia 15 tahun) namun imannya masih belum tumbuh, masih malas salat, tidak santun kepada orang tua, melakukan perkara-perkara yang dilarang agama, maka ia membutuhkan pemulihan atau recovery. Ia butuh pengulangan proses, yang merupakan hutang pengasuhan. Proses recovery keimanan harus dilakukan dengan mengedepankan ‘bahasa cinta’ bukan ‘nasehat’ (bahasa lisan) atau ketegasan (hukuman, sanksi fisik). Inilah rahasianya maka anak-anak usia SMP dan SMA yang dinilai ‘nakal’ dan ‘menyimpang’ tidak mempan dinasihati. Iman mereka belum tumbuh.
Nasihat hanya efektif untuk orang yang imannya sudah tumbuh (namun kurang ilmu). Jika iman tidak ada alias nihil, maka ceramah dan daurah sebagus apapun tidak akan kena. Apalagi jika anak malah dihukum, misalnya dengan membaca Al-Qur`an atau bersih-bersih (tidak nyambung dengan kesalahannya). Atau justru ditegasi, misal dengan dipukul atau dimarahi – dijamin anak minggat, makin nakal dan berulah.
Imannya harus ditumbuhkan terlebih dahulu. Untuk itu anak harus dibuat cinta kepada figur pendidiknya atau figur orang tuanya. Pendidik dan orang tua harus memperlakukan anak dengan bahasa cinta tanpa syarat. Anak bermasalah sering merasa tidak disayangi atau diperhatikan atau tidak diakui eksistensi dan kelebihannya.
Karena itu penumbuhan iman dilakukan dengan mendekatkan anak dengan figur pendidik: ia merasa dipahami dan dicintai. Jika ia sudah dekat dan percaya pada pendidik maka apapun yang dicintai pendidiknya akan ia lakukan tanpa diminta. Pendekatannya benar-benar ‘bahasa hati’ bukan verbalisme atau sanksi.
Adapun bahasa cinta itu berupa: apresiasi (pujian dan penguatan verbal), sentuhan fisik, kebersamaan (quality time), pelayanan dan pemberian hadiah. Kecurigaan (mistrust) harus dibuang jauh-jauh. Anak-anak perlu diberi kepercayaan penuh. Menumbuhkan cinta dan rasa percaya serta kenyamanan anak merupakan gerbang bagi pemulihan keimanannya.
Wallahu a’lam bis shawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H