Tidak mungkin memindahkan uraian Ustadz Abdul Khaliq seluruhnya ke dalam tulisan ini. Tetapi tiga tahap krusial dalam teori pendidikan fitrah kurang lebih adalah sebagai berikut:
Thufulah disebut juga masa kanak-kanak. Pada masa ini imajinasi anak sangat kuat, egosentrisme juga sangat tinggi. Karenanya anak harus dipuaskan egosentrismenya dengan memberinya kebebasan dan kebahagiaan yang optimal di masa kecil.
Pada fase murahaqah seyogyanya anak sudah mengetahui potensi bakatnya sehingga ketika baligh nanti ia memiliki kemandirian ekonomi. Ia sudah belajar mencari nafkah dan penghidupan pada bidang yang memang sangat ia kuasai (bakatnya). Semua itu ditopang dengan keimanan yang sudah tumbuh berakar dan  kemandirian belajar.
Jika anak sudah baligh (katakanlah pada usia 15 tahun) namun imannya masih belum tumbuh, masih malas salat, tidak santun kepada orang tua, melakukan perkara-perkara yang dilarang agama, maka ia membutuhkan pemulihan atau recovery. Ia butuh pengulangan proses, yang merupakan hutang pengasuhan. Proses recovery keimanan harus dilakukan dengan mengedepankan ‘bahasa cinta’ bukan ‘nasehat’ (bahasa lisan) atau ketegasan (hukuman, sanksi fisik). Inilah rahasianya maka anak-anak usia SMP dan SMA yang dinilai ‘nakal’ dan ‘menyimpang’ tidak mempan dinasihati. Iman mereka belum tumbuh.
Nasihat hanya efektif untuk orang yang imannya sudah tumbuh (namun kurang ilmu). Jika iman tidak ada alias nihil, maka ceramah dan daurah sebagus apapun tidak akan kena. Apalagi jika anak malah dihukum, misalnya dengan membaca Al-Qur`an atau bersih-bersih (tidak nyambung dengan kesalahannya). Atau justru ditegasi, misal dengan dipukul atau dimarahi – dijamin anak minggat, makin nakal dan berulah.
Imannya harus ditumbuhkan terlebih dahulu. Untuk itu anak harus dibuat cinta kepada figur pendidiknya atau figur orang tuanya. Pendidik dan orang tua harus memperlakukan anak dengan bahasa cinta tanpa syarat. Anak bermasalah sering merasa tidak disayangi atau diperhatikan atau tidak diakui eksistensi dan kelebihannya.
Karena itu penumbuhan iman dilakukan dengan mendekatkan anak dengan figur pendidik: ia merasa dipahami dan dicintai. Jika ia sudah dekat dan percaya pada pendidik maka apapun yang dicintai pendidiknya akan ia lakukan tanpa diminta. Pendekatannya benar-benar ‘bahasa hati’ bukan verbalisme atau sanksi.
Adapun bahasa cinta itu berupa: apresiasi (pujian dan penguatan verbal), sentuhan fisik, kebersamaan (quality time), pelayanan dan pemberian hadiah. Kecurigaan (mistrust) harus dibuang jauh-jauh. Anak-anak perlu diberi kepercayaan penuh. Menumbuhkan cinta dan rasa percaya serta kenyamanan anak merupakan gerbang bagi pemulihan keimanannya.
Wallahu a’lam bis shawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H