Yang disebut 'lelaki dari ujung kota' dalam Surat Yasin ayat ke-20 sampai dengan 25 ini adalah seseorang yang bernama Habib. Seorang jelata yang berprofesi sebagai tukang kayu. Ada yang mengatakan bahwa profesinya adalah tukang sepatu. Â Dia suka bersedekah dengan separuh dari penghasilannya, demikian tersebut dalam Tafsir Ibnu Katsir.
Penggambaran Al-Qur`an tentang lelaki dari ujung kota (aqshal madinah) menguatkan karakterisasi Habib sebagai orang lemah namun memiliki keimanan yang kuat. Karena, biasanya orang-orang dari kelas ekonomi lemah cenderung bermukim di pinggiran kota, sedangkan kelas sosial yang kaya dan berkuasa umumnya tinggal di tengah kota. Merupakan sunnatullah bahwa dakwah para rasul seringkali disambut pertama kali oleh orang-orang yang dipandang rendah secara sosial, orang-orang fakir, atau bekas budak.
Yang menarik dalam surat ini ialah Habib dinisbatkan kepada 'madinah' (kota) sedangkan kaumnya dinisbatkan kepada 'qaryah' yang bisa berarti 'kampung' atau 'kota kecil'. Seakan Al-Qur`an mengisyaratkan jurang keadaban antara kedua pihak: yang pertama pada budaya 'urban' dan yang kedua budaya 'rural'.
Pada ayat ke-13 sampai dengan 19 surat yang sama, dikisahkan bahwa Allah mengutus kepada Ashabul Qaryah (penduduk 'qaryah,' 'qaryah' di sini bisa bermakna kampung atau kota kecil) tiga orang rasul. Dua rasul pertama  mereka dustakan, kemudian Allah utus rasul yang ketiga untuk menguatkan dua utusan sebelumnya. Akan tetapi penduduk 'qaryah' itu  tidak mau beriman kepada mereka sama sekali.
Alasan mereka ialah karena para utusan Allah itu juga manusia biasa. Ar-Rahman tidak menurunkan apa pun dan kalian ini hanya berdusta, demikian ujar mereka. Para utusan Allah menjawab, 'Rabb kami mengetahui bahwa kami adalah utusan-Nya kepada kalian, dan tugas kami hanyalah menyampaikan pesan Allah dengan seterang-terangnya.'
Penduduk qaryah itu membantah dengan mengatakan, "Sesungguhnya kami ditimpa nasib sial lantaran kehadiran dan ajaran kalian, jika kalian tidak mau berhenti pasti kami rajam kalian dan kami siksa dengan siksaan yang pedih."
Jurus kaum yang ingkar kepada ajaran Allah dan Rasul-Nya bukanlah hujjah dan argumentasi yang kuat, melainkan gertakan, ancaman, dan tindakan fisik yang semuanya mengarah pada kezaliman dan penganiayaan, bahkan pembunuhan.
Mereka (utusan-utusan) itu berkata, "Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah karena kamu diberi peringatan? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas."
Justeru karena diberi peringatan, diajari dan didakwahi seharusnya mereka bersyukur. Jika Allah menghendaki tentu langsung Dia turunkan azab, saat mereka mendustakan dua orang utusan yang pertama. Akan tetapi mereka diberi tangguh. Sampai datang utusan yang ketiga, masih juga mereka menolak dan mendustakan.
Di saat yang genting itulah datang seorang lelaki dari ujung kota dengan bergegas-gegas: seorang fakir yang menyeru dan menguatkan kebenaran ajaran para rasul tersebut.
Habib si tukang kayu menyeru, "Wahai kaumku, ikutilah para utusan Allah itu! Ikuti orang yang tidak minta upah dan mereka sendiri mendapat petunjuk!"
Ia menyatakan pendapat secara terus terang kepada masyarakat dalam rangka membela kebenaran dan membela ahlul haq.
Ia juga menyebut indikasi yang menguatkan kebenaran para utusan Allah itu: mereka tidak berpretensi duniawi sedikit pun, tidak mencari upah dalam dakwah mereka, dan dari gelagat serta karakter mereka tampak laku kejujuran, kesalehan, dan ilmu.
Kemudian ia menyampaikan argumentasi lanjutan dengan cara melakukan refleksi diri, namun  yang dituju refleksi itu sebenarnya adalah kaumnya.
"Mengapa aku tidak menyembah Tuhan yang menciptakan aku dan yang kepada-Nya kalian dikembalikan? Apakah aku harus menjadikan tuhan-tuhan lain sebagai sesembahan, padahal andai Ar-Rahman menghendaki bencana atasku tidaklah berguna syafaat tuhan-tuhan itu dan tidak pula mereka mampu menyelamatkan aku!"
"Sesungguhnya jika aku berlaku demikian pasti aku dalam kesesatan. Sungguh aku beriman kepada Rabb kalian, maka dengarkanlah!"
Jika dicermati, pada kalimat yang digunakan Habib saat menyampaikan hujjahnya, sesekali dia memadukan antara kata ganti 'aku' (orang pertama) dengan 'kalian' (orang kedua jamak). Misalnya pada ayat ke-22: alladzi fatharani wa ilaihi turja'un (yang menciptakan 'aku' dan yang kepada-Nya 'kalian' dikembalikan). Seharusnya Habib berkata: 'Yang menciptakan aku dan yang kepada-Nya aku dikembalikan'.
Juga pada ayat ke-25: 'Sesungguhnya aku beriman kepada Rabb kalian.' Seharusnya Habib berkata: 'Sesungguhnya aku beriman kepada Rabbku.'
Akan tetapi tampak sekali ia ingin meyakinkan kaumnya bahwa Allah yang mengutus para rasul itu adalah benar-benar Rabb mereka. Dengan kata lain, ia ingin mendakwahi kaumnya tersebut.
Akhir kisah kita ketahui bahwa ashabul qaryah membunuh ketiga orang utusan itu bersama Habib sekalian. Namun itu bukan akhir segalanya. Al-Qur`an bertutur bahwa Habib diampuni dosanya dan dimasukkan ke dalam surga (QS. Yasin ayat 26-27). Sedangkan kaumnya dihukum dengan satu hentakan suara yang keras (shaihatan wahidatan) dan seketika itu pula mereka semua mati (QS. Yasin 28-29).
Wallahu a'lam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI