Tujuan pendidikan nasional adalah menghasilkan peserta didik yang literate, berakhlak (berkarakter) dan memiliki kompetensi, kata Drs. Muhammad Hamka Khalil, M.Ed. dari Pusat Kurikulum Kemendikbudristek RI.Â
Masih menurut pakar lulusan University of Leeds itu, tujuan pendidikan di atas sebenarnya juga merupakan tujuan pendidikan universal.
Beliau menyitir ayat kedua dari Surat Al Jumu'ah yang artinya:Â "Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri: membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata."
'Yatlu alaihim ayatihi' yang berarti 'membacakan ayat-ayat Allah' bisa diartikan membacakan, meliterasikan umat. 'Wa yuzakkihim' mengarah pada pembentukan akhlak (karakter) dan 'wa yu'allimuhumul kitaaba wal hikmah' bermakna mengajari mereka ilmu dan kompetensi.
Dalam diskusi yang berlangsung selama tiga jam lebih (8/9/22) di ruang guru SMA Future Gate, Bekasi itu Ustadz Hamka (beliau juga tamatan pesantren) menerangkan ihwal kurikulum merdeka. Menurut beliau kurikulum sebenarnya sekedar alat cek terhadap pelaksanaan 4 komponen kurikulum itu sendiri: kompetensi, materi, proses dan penilaian.
Standar kompetensi lulusan (SKL) dalam Kurikulum Merdeka mayoritasnya adalah karakter (6 profil pelajar Pancasila) dengan tambahan memiliki daya literasi dan numerasi. Jika peserta didik memiliki 8 kompetensi ini di akhir masa pembelajarannya, ia dinyatakan lulus.
Materi dalam Kurikulum Merdeka dipandang sebatas wahana guna mencapai SKL di atas dan hanya terdiri dari materi esensial.
'Proses' dalam Kurikulum Merdeka menekankan upaya memantik 'daya belajar' dan/atau fasilitasi belajar peserta didik. Peserta didiklah yang seharusnya 'belajar' dan menguasai capaian pembelajaran, dan bukannya pendidik yang 'kejar tayang' mengajarkan 'materi' tanpa tahu apakah materi itu benar-benar dikuasai peserta didik ataukah tidak.
Pembelajaran harus memampukan dan membiasakan peserta didik dengan high order thinking skills (HOTS): menganalisis, mengevaluasi dan mengkreasi. Peserta didik diharapkan terlatih mendayagunakan ketiga keterampilan berpikir tersebut di tataran metakognisi, bukan hanya pada tataran faktual, konseptual dan prosedural saja.
Kalau sekolah sekadar mengajarkan 'fakta' maka berapa banyak fakta baru yang lahir setiap waktu. Pengetahuan faktual yang mereka pelajari di sekolah segera menjadi basi dan tidak relevan lagi lantaran zaman berubah dengan sangat cepatnya. Demikian secara makna uraian beliau.
Ini senada dengan pernyataan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim dalam Seri ke-22 Kurikulum Merdeka (7/9/22) kemarin yang menegaskan bahwa Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) hanya mengujikan kemampuan bernalar, numerasi dan literasi peserta didik saja (Tes Pengetahuan Skolastik, TPS). Sedangkan tes kemampuan akademik (TKA) sains dan sosial humaniora dihilangkan. Mau masuk Fakultas Kedokteran, Teknik atau Fakultas Sastra calon mahasiswa hanya diwajibkan mengikuti TPS. Mereka hanya beradu skor dalam kemampuan bernalar, literasi dan numerasi. Inilah semangat Kurikulum Merdeka.
Ustadz Hamka juga mengurai filosofi penilaian dalam Kurikulum Merdeka  yang tidak memakai sistem angka namun dinyatakan dalam bentuk deskripsi. Mengukur kompetensi dengan sistem numerik menurutnya tidak mewakili kompetensi yang telah dikuasai peserta didik.
Misalnya dalam pelajaran bahasa Indonesia: kemampuan membaca nilainya 90 dan menyimak 20. Kemudian dibuat rata-rata (90+20)/2=55. Apakah angka 55 benar-benar merepresentasikan kemampuan membaca yang baik dan kemampuan menyimak yang buruk? Pernyataan beliau mengingatkan pada argumen William Spady dalam 'Outcomes Based Education' (OBE) yang juga menganjurkan stetmen naratif sebagai penilaian  dalam kurikulum.
Menurut beliau, evaluasi merupakan kerangka keseluruhan yang menghasilkan putusan akhir atas hasil belajar peserta didik. Adapun tes dan teknik-teknik lain (pengamatan, unjuk kerja, project, produk, portofolio) adalah semata-mata alat evaluasi. Sedangkan 'measurement' adalah aktivitas dan proses yang dilakukan dalam 'assessment' (penilaian) itu.
Dalam sesi tanya jawab Ustadz Hamka menegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional lewat kurikulum merdeka selaras dengan tujuan pendirian negara Republik Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
"Untuk bangsa menjadi cerdas itu apa? Ya itu tadi: menguatkan karakter, menguatkan literasi, menguatkan kompetensi bukan dengan memberikan materi pelajaran..." tandasnya.
Peserta didik diharapkan ikut berpartisipasi memajukan kesejahteraan umum: setelah menunaikan kewajiban pribadinya, menunaikan kewajiban sosialnya. Dan, sebagai warga negara yang berkomunitas ia juga harus dididik menjadi warga negara yang baik. Di level nasional, selaku bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat, Indonesia  diharapkan ikut serta menciptakan perdamaian dunia. Inilah juga perwujudan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H