Ini senada dengan pernyataan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim dalam Seri ke-22 Kurikulum Merdeka (7/9/22) kemarin yang menegaskan bahwa Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) hanya mengujikan kemampuan bernalar, numerasi dan literasi peserta didik saja (Tes Pengetahuan Skolastik, TPS). Sedangkan tes kemampuan akademik (TKA) sains dan sosial humaniora dihilangkan. Mau masuk Fakultas Kedokteran, Teknik atau Fakultas Sastra calon mahasiswa hanya diwajibkan mengikuti TPS. Mereka hanya beradu skor dalam kemampuan bernalar, literasi dan numerasi. Inilah semangat Kurikulum Merdeka.
Ustadz Hamka juga mengurai filosofi penilaian dalam Kurikulum Merdeka  yang tidak memakai sistem angka namun dinyatakan dalam bentuk deskripsi. Mengukur kompetensi dengan sistem numerik menurutnya tidak mewakili kompetensi yang telah dikuasai peserta didik.
Misalnya dalam pelajaran bahasa Indonesia: kemampuan membaca nilainya 90 dan menyimak 20. Kemudian dibuat rata-rata (90+20)/2=55. Apakah angka 55 benar-benar merepresentasikan kemampuan membaca yang baik dan kemampuan menyimak yang buruk? Pernyataan beliau mengingatkan pada argumen William Spady dalam 'Outcomes Based Education' (OBE) yang juga menganjurkan stetmen naratif sebagai penilaian  dalam kurikulum.
Menurut beliau, evaluasi merupakan kerangka keseluruhan yang menghasilkan putusan akhir atas hasil belajar peserta didik. Adapun tes dan teknik-teknik lain (pengamatan, unjuk kerja, project, produk, portofolio) adalah semata-mata alat evaluasi. Sedangkan 'measurement' adalah aktivitas dan proses yang dilakukan dalam 'assessment' (penilaian) itu.
Dalam sesi tanya jawab Ustadz Hamka menegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional lewat kurikulum merdeka selaras dengan tujuan pendirian negara Republik Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
"Untuk bangsa menjadi cerdas itu apa? Ya itu tadi: menguatkan karakter, menguatkan literasi, menguatkan kompetensi bukan dengan memberikan materi pelajaran..." tandasnya.
Peserta didik diharapkan ikut berpartisipasi memajukan kesejahteraan umum: setelah menunaikan kewajiban pribadinya, menunaikan kewajiban sosialnya. Dan, sebagai warga negara yang berkomunitas ia juga harus dididik menjadi warga negara yang baik. Di level nasional, selaku bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat, Indonesia  diharapkan ikut serta menciptakan perdamaian dunia. Inilah juga perwujudan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H