Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Implikasi Sosial Keberadaan Supeltas

13 Agustus 2022   10:19 Diperbarui: 13 Agustus 2022   10:42 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semenjak kita kenal Pak Ogah dan nilai uang seratus rupiah (atau 'cepek' dalam bahasa Jakarta, diserap dari kosakata Cina) maka kira-kira di waktu itulah sejarah 'polisi cepek' bermula.

Sekarang nilai uang cepek itu sudah diganti koin seribu rupiah dan atau uang kertas dua ribu rupiah, dan Pak Ogah masih lestari bertugas di persimpangan-persimpangan jalan, baik pertigaan, perempatan, simpang lima dan selebihnya, di mana polisi atau lampu merah tidak ada atau tidak berfungsi.

Mengapa mereka disebut 'polisi'? Karena  seakan-akan menggantikan fungsi dan tugas polisi lalu lintas. Diberi sifat dengan kata 'cepek' karena uang cepek-an itulah insentif sukarela dari para pengemudi kendara: roda dua dan roda empat (roda tiga hanya ada di Jakarta mewakili bajaj dan kancil).

Adapun nama resminya adalah: 'supeltas' alias 'sukarelawan pengatur lalu lintas'. Rupanya kalau kita buka Google, sudah cukup banyak studi sosiologis yang menyoroti fenomena supeltas di berbagai kota.

Keberadaan supeltas di satu sisi mengimplikasikan adanya kelowongan fungsional yang mestinya diisi oleh institusi-institusi resmi yang berwenang melakukan pengaturan lalu lintas, dalam hal ini adalah kepolisian. Mungkin juga menunjukkan adanya ketimpangan dalam perbandingan kebutuhan: jumlah polisi yang ada terlalu sedikit untuk melayani jumlah warga yang sangat banyak dan kawasan layanan yang sangat luas. Hingga kelowongan itu akhirnya diisi oleh anggota masyarakat sipil (yang membutuhkan pekerjaan).

Demikianlah setiap area yang lowong dari intervensi aparat negara biasanya akan diisi oleh warga sipil atau organisasi kemasyarakatan. Mereka bisa jadi bersimbiosis bersama pemerintah, bisa juga bertentangan. Dalam hal supeltas ini semoga hubungan yang terbangun bersifat sinergis dan bukannya conflicting.

Implikasi lain dari fenomena supeltas adalah lapangan kerja sektor formal tidak sanggup menampung tenaga kerja khususnya dari kalangan usia produktif yakni remaja dan pemuda, meski tidak menutup kemungkinan juga dari kalangan lansia.

Sebagai lahan penghidupan, menjadi supeltas cukup bisa diandalkan. Terbukti dari kenyataan adanya supeltas yang bertahun-tahun berada di persimpangan jalan yang sama, hidup sehari-hari dari mengumpulkan uang recehan. Kemungkinan besar kawasan persimpangan atau area putar balik itu banyak dilintasi para pengguna jalan yang derma alias murah hati.

Meski disebut sukarelawan, bekerja menjadi supeltas adalah perpaduan tanpa standar (random combination) antara sifat sukarela dan sifat pamrih. Betapa simpatiknya seorang yang menahan laju kendara dari sana dan menyilakan perlintasan jalur dari sini laksana malaikat yang berhasrat membantu dengan sepenuh keikhlasan.

Sayangnya tak jarang kemacetan terjadi akibat terlalu banyak supeltas di persimpangan jalan dan di area-area putar balik. Kemacetan timbul lantaran supeltas mendahulukan kendaraan yang menjulurkan uang kertas dua ribuan atau bahkan lima ribuan (jika beruntung). Supeltas maju tak gentar membela yang bayar. Akibatnya antrean panjang kendaraan tak terhindarkan di satu jalur, sementara di jalur yang lain begitu lancarnya. Jalur yang lancar itu adalah jalur para 'dermawan'.

Terus terang agak kesal jika tiba-tiba muncul juru parkir atau supeltas di jalur jalan yang tadinya kita melenggang bebas. Misalnya di jalur tikus yang hanya muat untuk satu badan sepeda motor, seketika muncul pria yang setengah menghiba menjulurkan kaleng atau topi untuk mewadahi uang suka rela dari para pengendara.

"Sedekah Jumatnya Pak!"

Jadi sumbangan itu sudah dikaitkan dengan agama dan hari suci menurut agama. Sudah lagi orang repot menghindari kemacetan dengan masuk ke jalur tikus dihadang pula oleh polisi-polisi penghimpun sedekah. Tak pelak mereka mengucap hamdalah bila diberi dan mengucap: terima kasih, Pak Haji.

Dalam kasus sedemikian jelas keikhlasan dari kedua pihak diragukan. Yang satu berharap sedekah sedangkan yang lain memberi karena setengah dipaksa (dicegat, diminta bersedekah, dan karena dianggap orang soleh alias pak haji tidak elok rasanya jika tidak bersedekah).

Dari segi profesionalitas para supeltas tak resmi juga sering tidak bekerja secara profesional. Misalnya mereka hanya berdiri di pinggir-pinggir, bukannya di tengah jalan, sambil merokok. Supeltas juga merasa berhak marah-marah dan berteriak jika pengendara tidak patuh dan sulit diatur. Para pengendara semacam itu biasanya merasa tidak wajib untuk menaati supeltas karena mereka tokh bukan petugas negara. Mereka tidak punya hak tilang, tidak punya pentungan apalagi pistol, tidak punya surat tugas dan tidak ada yang mengangkat atau menunjuk secara resmi.

Pikiran polisi dan masyarakat ternyata seragam: lebih baik para supeltas itu dibina dan diberi pelatihan, agar bisa membantu tugas polisi lalu lintas di jalanan. Hal itu sudah dilakukan sejak 2017.

Lantas bagaimana sebaiknya sikap yang dibangun kedua belah pihak? Sesuai namanya para juru parkir tidak resmi itu harus lebih ikhlas membantu mengatur jalan, agar orang bisa membaca keikhlasan itu dan karenanya memberi insentif tak resmi lebih banyak dan lebih sering, dengan sukarela pula.

Warga masyarakat pengguna jalan yang merasa terbantu tiada salahnya menyisihkan sekian ribu rupiah untuk menghidupi para supeltas. Semakin ikhlas semakin bernilai sedekah. Kalau tak mampu, misalnya sedang tidak ada uang receh, paling tidak bersyukur dan mengucap terima kasih kepada mereka. Karena, siapa tidak sanggup bersyukur dan berterima kasih kepada manusia maka dia tidak akan sanggup bersyukur dan berterima kasih kepada Allah. 

Demikian disebut dalam satu hadis Nabi. Wallahu a'lam bis shawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun