Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Strobilus

4 Juli 2022   20:22 Diperbarui: 6 September 2022   13:11 1034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia tidak tahu mengapa terdampar di dahan ini. Bahwa ia jantan dan harus mendengar cericit burung kecil itu. Dan terayun, dan berada di instalasi daun-daun. Yang mirip kawat berduri, serupa penjara yang membuatnya selalu tercenung dan berpikir-pikir. 

Induknya adalah cemara sejak dua puluh tahun yang lalu -- sebagaimana yang ia dengar. Bahwa ia berada di atas semak belukar, di seberang arena judi pemancingan yang lebih sering memberinya sepi ketimbang gelepar ikan-ikan gempal yang bibirnya luka akibat mata kail.

Dan ia akan kembali menggayut dan mengukur usianya, dan nasibnya, dan menampak hewan-hewan yang lewat. Sudah itu ia akan ditiup-tiup angin lagi dan dibasahi hujan.

Lagi ia bukan buah atau biji atau bunga. Ia harus dikawinkan angin atau serangga bila hendak meneruskan hidup induk cemara. Tetapi selaku jantan nasibnya akan ditentukan tidak lama lagi.

Mereka akan membuang ikan-ikan itu kembali. Ikan-ikan itu akan muncul sebentar, ditimbang, kemudian dilepas dan menghilang di bawah air.

Sebenarnya ia ingin bertanya: bagaimana kehidupan di dalam empang? Bagaimana rasanya hidup di kolong air? Dengan bibir luka, di atas dan di bawah.

Cemara bukan sembarang pohon di kawasan ini. Begitu pula ia. Sungguh ketika mendengar namanya disebut ia segera tahu bahwa bunyinya yang gagah itu selaras belaka dengan kedudukannya sebagai jantan. Strobilus, bukan main.

Di seberangnya adalah strobilus pula, yang lebih montok dan aduhai. Yang hanya bisa ditatap dan bila beruntung ditatap balik pula olehnya. Para penghuni dahan lebih sering menatap daripada bicara.

"Namaku Strobilus dan aku belum punya bahasa untuk meraih engkau. Engkau nampaknya strobilus pula tetapi dari jenis yang tidak sama, hampir sama, menggoda, dan sepertinya sama tak mengenal kata-kata."

Aku hanya Strobilus yang bergumam dan berpikir-pikir karena aku tak punya bibir seperti ikan-ikan di kolam pancing itu.

Aku kenal dahan tempatku tinggal dan mengenal batang tubuh induk cemara ini, tetapi tidak mengenal engkau yang tampak kedinginan dan menunggu-nunggu sesuatu, seperti menyerahkan nasib dan usiamu -- dan serupa aku juga menggayut diasuh angin dan air hujan.

Di kejauhan adalah bebukitan. Ia hanya berbeda lantaran pergeseran cahaya. Awan, kabut dan sinar matari saja yang membuatnya seakan-akan menjadi pribadi yang lain, tiap hari. 

Ia sudah bukit sejak ratusan tahun yang lalu, mungkin sebelum diletakkan kampung, rumah dan villa-villa, juga hawa sejuk sebagai selimutnya.

Sedangkan ia hanyalah strobilus yang bisu dan berkata-kata dalam batin sendiri.

Usianya sudah di batas terakhir sejak serbuk sarinya diterbangkan angin bulan Juli.

Ia lihat strobilus di seberangnya sudah merona-rona. Ia mulai merasakan sisik-sisiknya menyusut bersama dengan tatapan genit strobilus itu yang bergoyang-goyang, lalu ...putus dari dahan. Strobilus itu putus dari dahan ...jatuh, luruh lantas rebah di tanah.

Mau ke mana kau? Mau berjumpa dengan ikan-ikan? Hah, mana bisa? Mereka ada di kolong air dan kau tak bertangan tak berkaki tak bersayap. Kau kira burung kecil itu mau menolongmu?

Kawannya yang jatuh itu tak menyahut. Ia tergolek dan kini diasuh bumi. Rupanya ada banyak strobilus yang jatuh, kini mereka semua diasuh bumi. 

Sedangkan belukar itu tak ada urusan apapun juga, juga segala rerumput dan gulma itu. Serangga lebih banyak dan jarang burung-burung kecil turun ke situ.

Ia strobilus jantan dan saat itu juga ia rasakan dahan yang selama ini merawatnya membuat getaran kecil di pucuknya yang getas. 

Pucuknya retak dan patah lalu putus. Ia terjatuh berdebam ke tanah. Bersama strobilus-strobilus yang lain, dalam rengkuhan bumi yang lembab.

"Itu strobilus jantan yang luruh, strobilus jantan gugur bila serbuknya sudah diterbangkan angin," kata manusia di atas balkon villa tua yang kurang terawat itu.

Cianjur, 4 Juli 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun