Aku kenal dahan tempatku tinggal dan mengenal batang tubuh induk cemara ini, tetapi tidak mengenal engkau yang tampak kedinginan dan menunggu-nunggu sesuatu, seperti menyerahkan nasib dan usiamu -- dan serupa aku juga menggayut diasuh angin dan air hujan.
Di kejauhan adalah bebukitan. Ia hanya berbeda lantaran pergeseran cahaya. Awan, kabut dan sinar matari saja yang membuatnya seakan-akan menjadi pribadi yang lain, tiap hari.Â
Ia sudah bukit sejak ratusan tahun yang lalu, mungkin sebelum diletakkan kampung, rumah dan villa-villa, juga hawa sejuk sebagai selimutnya.
Sedangkan ia hanyalah strobilus yang bisu dan berkata-kata dalam batin sendiri.
Usianya sudah di batas terakhir sejak serbuk sarinya diterbangkan angin bulan Juli.
Ia lihat strobilus di seberangnya sudah merona-rona. Ia mulai merasakan sisik-sisiknya menyusut bersama dengan tatapan genit strobilus itu yang bergoyang-goyang, lalu ...putus dari dahan. Strobilus itu putus dari dahan ...jatuh, luruh lantas rebah di tanah.
Mau ke mana kau? Mau berjumpa dengan ikan-ikan? Hah, mana bisa? Mereka ada di kolong air dan kau tak bertangan tak berkaki tak bersayap. Kau kira burung kecil itu mau menolongmu?
Kawannya yang jatuh itu tak menyahut. Ia tergolek dan kini diasuh bumi. Rupanya ada banyak strobilus yang jatuh, kini mereka semua diasuh bumi.Â
Sedangkan belukar itu tak ada urusan apapun juga, juga segala rerumput dan gulma itu. Serangga lebih banyak dan jarang burung-burung kecil turun ke situ.
Ia strobilus jantan dan saat itu juga ia rasakan dahan yang selama ini merawatnya membuat getaran kecil di pucuknya yang getas.Â
Pucuknya retak dan patah lalu putus. Ia terjatuh berdebam ke tanah. Bersama strobilus-strobilus yang lain, dalam rengkuhan bumi yang lembab.