Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apakah Raden Wijaya Seorang Pengkhianat?

26 Juni 2022   05:43 Diperbarui: 26 Juni 2022   07:57 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejarah politik kerajaan-kerajaan besar: Singasari dan Majapahit -- yang sering disebut merupakan cikal bakal negara kesatuan kita sekarang -- ternyata sarat dengan intrik dan kelicikan. Panggung politik seperti pentas yang berbau darah. Ini kalau kita mau memercayai kakawin, babad, serat dan prasasti yang berkisah tentang dua kerajaan tersebut. Historiografi tradisional kerap mencampur sejarah dengan sastra dan mitos. Orang harus merekonsiliasi informasi itu dengan sumber-sumber lain: misalnya catatan sejarah dinasti Tiongkok, atau kronik para musafir pengembara.

Apakah Raden Wijaya, sang pendiri Majapahit, seorang pengkhianat? Ini persoalan etika. Tetapi apakah pertanyaan itu sendiri relevan diajukan? Apakah politik (zaman dulu) mengenal etika? Sedangkan di masa kini pun etika sering menjadi pertimbangan nomer tujuh belas. Pembahasan tentang etika berpolitik mungkin baru ada setelah lahir kelas intelektual yang rajin berkomentar. Politik zaman kerajaan di pulau Jawa hanya mengenal adagium 'sabdo pandito ratu'.

Yang kita kecam sebagai sistem sosial feodal memang menafikan peran sosial wong cilik. Akan tetapi feodalisme memang 'semangat zaman' waktu itu. Jadi kita hanya diwarisi kisah-kisah pergumulan kalangan keraton, yang ditulis juga oleh elit literer dari kalangan bujangga.

Pasalnya Jayakatwang sendiri juga adalah pemberontak yang merebut tahta dari Kertanegara, raja Singasari terakhir guna menghidupkan kembali Kerajaan Kediri.

Jayakatwang memercayai Raden Wijaya --mantan musuh terbesarnya sebagai orang yang telah bertobat dan menyerah kalah. Wijaya yang sempat lari hingga ke Madura berhasil kembali ke Singasari berkat diplomasi bangsawan Sumenep. Wijaya bahkan diberi hak konsesi atas Hutan Tarik di sebelah timur Kediri sebagai wilayah privasinya. Jayakatwang husnuzon bahwa Wijaya tidak akan macam-macam. Ia yang menggemari berburu setuju saja saat Wijaya menyatakan bahwa ia hendak menjadikan kawasan itu sebagai kawasan wisata perburuan.

Dengan bantuan pasukan Sumenep dan pasukan Mongol (Mongol sedang sangat berkuasa di benua Asia, Khilafah Abbasiyah hancur akibat agresi besar-besaran bangsa ini di abad XIII), Wijaya pada akhirnya berhasil mengalahkan Jayakatwang.

Pemerintahan Jayakatwang tidak didukung kekuatan intelejen yang cukup kuat rupanya. Sebagaimana kita tahu, intelejen adalah manifestasi suuzon approach di dunia politik.

Hebatnya lagi, setelah berhasil menggulingkan Jayakatwang dari tahta kekuasaan, disikatnya pula Pasukan Mongol, mitra yang telah membantunya dalam perang saudara itu. Pasukan bermata sipit itu pun angkat kaki dari bumi Jawa.

Lantas, apakah Raden Wijaya sang pelopor dan pendiri Majapahit adalah seorang pengkhianat? 

Pertanyaan itu agak kontra produktif di satu sisi. Karena dalam setting sosial mana pun, bersiasat dan bermanuver demi kursi kekuasaan adalah sesuatu yang sangat lazim dan dimaklumi.

Kata kunci dalam sejarah politik Jawa adalah ‘politik dinasti’. Raden Wijaya adalah keturunan Ken Arok pendiri Kerajaan Singasari. Sedangkan Jayakatwang keturunan Kertajaya, raja terakhir Kediri.

Kisah pergantian tahta kekuasaan pasca Ken Arok adalah politik balas dendam antar dinasti ini. Sebagaimana kisah Arok-Dedes yang mirip adegan film. Adanya tokoh Empu Gandring dan Kebo Hijo serta ampuhnya kualat tersaji pula dalam narasi Ken Arok membunuh Tunggul Ametung.

Ken Arok mati dibunuh Anusapati anak Tunggul Ametung. Anusapati dibunuh Tohjaya anak Ken Arok dari Ken Umang (selir Ken Arok). Tohjaya mati dibunuh Ranggawuni anak Anusapati.

Persoalannya kembali: apakah raja-raja Jawa naik tahta lewat pengkhianatan? Jawabannya: kategori moral ‘pengkhianatan’ itu berasal dari wacana normatif yang mana dan dari zaman mana?

Kekuasaan diperebutkan salah satunya dengan jalan kudeta: yang berbau darah dan kekerasan. Dalam perkisahan itu, wong cilik tidak ambil bagian.

Raden Wijaya ‘hanya’ mengulang tradisi perebutan kekuasaan yang sudah dimulai para pendahulunya.

Maka, kalau ada penguasa atau pemimpin yang naik tahta dengan cara yang etis: tanpa tusuk kanan, tusuk kiri atau tusuk belakang, diharapkan ia bakal lebih menjaga etika kepada wong cilik yang ada di bawah kekuasaannya.

Wong cilik tidak memiliki kepentingan atas kekuasaan. Kecuali jika kekuasaan itu mengayomi wong cilik. Kalaupun tidak diayomi, wong cilik sudah tentram jika ada sesuatu yang bisa dimakan.   

Penguasa adigang adigung adiguna, rakyat narimo ing pandum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun