Ketika Khidr melubangi perahu milik orang, Musa langsung protes (dia lupa dengan komitmennya untuk tidak menyoal dan tidak melakukan pengingkaran):
“Mengapa engkau melubangi perahu itu? Apakah engkau hendak menenggelamkan penumpangnya? Sungguh ini suatu kesalahan besar!” (Surat AlKahfi: 71)
Pada kasus pertama ini Musa terlupa.
Ketika Khidr membunuh anak kecil yang tidak bersalah, Musa memprotes kembali. Kali ini dengan kesadaran dan kesengajaan, kesabarannya jelas hilang.
Pada kali ketiga, ketika Khidr membangun rumah yang hampir roboh di suatu negeri yang tidak mau menjamu mereka, Musa berkomentar: “Kalau kau mau, kau bisa minta upah atas usahamu itu…” (ayat 77) karena mereka tidak dijamu secara semestinya selaku pengunjung yang bertamu.
Musa tidak menyoal atau mengingkari, hanyalah memberi komentar. Ini cukup sebagai pelanggaran fatal terhadap prosedur belajar yang menjadi komitmen mereka bersama.
Sebelum berpisah Khidr menerangkan kepada Musa rahasia di balik ketiga peristiwa aneh itu. Perahu yang dilubangi itu agar tidak dirampas raja (penguasa) zalim yang suka merampas perahu nelayan miskin. Anak kecil yang tampak lugu itu dibunuh karena nanti kalau sudah dewasa ia pasti memaksa kedua orang tuanya yang mukmin agar menjadi kafir. Sedangkan bangunan yang ia perbaiki itu di bawahnya ada harta dari orang tua saleh untuk dua anak yatim pemilik bangunan. Harta itu sebagai simpanan buat kedua yatim tersebut (ayat 79-82).
Musa menakar berdasarkan fenomena yang zahir, Khidr menakar yang batin. Musa hanya melihat ‘yang sekarang’ Khidr sudah meneropong kepastian masa depan. Yang munkar di mata Musa, ternyata merupakan sesuatu yang ma’ruf. Khidr menempuh kemunkaran yang ringan guna mencegah kemunkaran yang lebih besar.
Syariat Nabi Khidr memang berbeda dengan syariat Nabi Musa. Akan tetapi baik Khidr dan Musa sama-sama bertindak berlandaskan wahyu (divine revelation).
Ketiga, pembelajar swakarsa tidak punya gengsi atau kesombongan untuk belajar kepada orang yang punya ilmu atau kemahiran yang tidak dia miliki. Sebaliknya ia memiliki kerendahan hati untuk menimba ilmu, menunjukkan kebutuhannya terhadap ilmu pengetahuan. Keinginannya hanyalah memperoleh ilmu yang bermanfaat.
Musa tanpa diragukan lebih berilmu daripada Khidr dalam satu kategori ilmu. Akan tetapi Khidr memiliki ilmu ‘jenis lain’ yang tidak dimiliki Musa.