Dalam Islam, tidak ada fase hidup selaku 'remaja' -- demikian kira-kira dikatakan mendiang Harry Santosa (w. 2021) Allah yarham, yang mempopulerkan gagasan 'pendidikan berbasis fitrah.' Menurut ajaran Islam, ketika anak memasuki usia baligh dia langsung bisa berkiprah di semua bidang kehidupan yang biasa dijalani orang dewasa: pergi meninggalkan rumah untuk merantau, bekerja, berjihad, menikah, punya keturunan, dan seterusnya. Ini dibuktikan dalam sirah nabawiyah dan hadis-hadis Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Zaid bin Tsabit tidak diizinkan Rasul dan terhalang mengikuti Perang Badar lantaran usianya kurang dari 12 tahun (usia anak-anak). Zaid baru diizinkan dan bisa ikut berperang pada Perang Ahzab, tiga tahun kemudian (tahun ke-5 Hijriah), saat usianya sudah aqil baligh.
Ketika mengeksekusi yahudi Bani Quraizah yang berkhianat di Madinah, Rasulullah memerintahkan membunuh semua lelaki dewasa dan membiarkan hidup kaum wanita dan anak-anak. Cara menentukan dewasa atau tidaknya ialah jika pada anak laki-laki diketahui sudah tumbuh rambut kemaluan maka ia dianggap lelaki dewasa yang harus dibunuh. Dalam peperangan itu, paling tidak 600 lelaki yahudi dewasa dipenggal. Adapun Athiyyah Al-Qurazhi dan Abdurrahman bin Zabir Al-Qurazhi yang masih anak-anak masuk Islam dan menjadi muslim yang baik setelahnya.
Usamah bin Zaid bin Harisah menjadi panglima perang Mu'tah (8 H) saat masih  berusia 18 atau 19 tahun. Itu adalah usia remaja untuk anak-anak lelaki di zaman kita.
Abdullah bin Abbas masih berusia 13 tahun saat Rasulullah wafat. Hadis tentang wasiat Nabi kepada Ibnu Abbas ketika dibonceng Nabi di atas hewan tunggangan sangatlah masyhur. Teks nasihat Nabi kontennya sangatlah 'berat' dan 'dewasa' untuk ukuran usia Ibnu Abbas (pada pandangan kita sekarang).
"Wahai anak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak mohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, andai seluruh umat bersatu untuk memberimu manfaat, maka mereka tidak akan bisa memberimu manfaat kecuali sekedar apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Andai mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran (ketentuan takdir) telah kering."
Sistem sosial telah memperlambat masa kedewasaan yang semestinya telah dimasuki remaja muslim di masa sekarang. Dengan kalimat lain, fitrah sudah hilang digerus zaman.
Kesenjangan
Menurut Islam, seorang anak memasuki fase dewasa ketika mengalami mimpi basah (untuk laki-laki) dan menstruasi (untuk anak perempuan). Jadi hanya ada dua fase: masa kanak-kanak dan masa dewasa. Tidak ada fase remaja atau fase anak baru gede.
Anak laki-laki umumnya baligh saat usia 15 tahun, sekarang bisa lebih awal umpamanya 12 tahun. Sedangkan anak perempuan umumnya menstruasi pada usia 11 tahun, akan tetapi tidak menutup kemungkinan menarche dini pada usia 8 tahun.
Perbedaan definisi dan kategori ini yang menimbulkan kesenjangan antara ajaran Islam dengan sistem sosial yang berlaku di Indonesia dan juga negara-negara muslim lainnya di dunia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 pasal 1 angka 1 menyebutkan: anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dalam UU No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan: anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) yang diduga melakukan tindak pidana.
Jadi meski sudah baligh, seseorang  yang terlibat tindak kriminal pidana pada usia kurang dari 18 tahun tetap dipandang selaku anak-anak di mata hukum.
Sedangkan UU No.16 Tahun 2019 menyebut bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila laki-laki dan perempuan sudah mencapai umur 19 tahun.
Seorang anak harus menempuh masa belajar yang sangat panjang dari SD, SMP, SMA hingga kuliah, baru kemudian bekerja dan menikah. Jika ia hendak memperpendek masa belajar itu ia bisa memilih pendidikan vokasi usai lulus SMP kemudian bekerja. Ini pun dengan standar yang lebih rendah. Sistem sosial yang berlaku di masyarakat kita menentukan kelulusan/jenjang pendidikan sebagai dasar penentuan upah. Jika kita hendak 'melawan arus', misalnya dengan hanya menyekolahkan anak sampai jenjang SMP, maka dunia kerja akan menghargainya dengan sangat rendah.
Rata-rata anak lelaki baligh di usia SMP. Seharusnya lepas SMP dia sudah mandiri dan lepas dari orang tuanya. Dengan demikian ada keselarasan antara pertumbuhan psikologis anak yang hendak lepas dari orang tua (independen selaku individu) dengan kemandirian ekonominya. Akan tetapi yang terjadi adalah si anak ingin independen selaku pribadi namun masih dependen secara ekonomi.
Pendidikan yang dia terima sejak SD hingga SMP tidak menyiapkannya selaku pribadi yang mandiri secara penuh. Anak yang sudah baligh adalah manusia yang alat reproduksi biologisnya berfungsi normal. Artinya, dia bisa dan layak menikah. Al-Imam Asy-Syafi'i langsung menikahkan anak lelakinya yang ketahuan ereksi saat tidur. Ini dilandasi kekuatiran Sang Imam akan fitnah godaan perempuan di zaman itu.
Menikah adalah urgensi bagi anak yang baru dewasa. Yang saya pahami, Islam hanya menganjurkan menunda menikah jika si anak yang sudah baligh tadi hendak menuntut ilmu, dalam hal ini ilmu agama. Islam menganjurkan menyegerakan menikah, kecuali jika si pemuda masih belum mampu secara ekonomi atau teramat miskinnya, hingga untuk menahan syahwatnya dia dianjurkan berpuasa.
Kompromi Sementara
Guna mengkompromikan kesenjangan sistem sosial tadi orang tua muslim 'bersedekah' kepada anaknya setelah si anak memasuki usia aqil baligh. Orang tua tetap mensupport segala keperluan hidup anaknya sampai pada akhirnya si anak siap mandiri: memperoleh penghasilan sendiri dan pada akhirnya menikah.
Semestinya sistem pendidikan yang ada lebih 'dipadatkan'. Pola pendidikan  yang 'dipadatkan' itu mempersiapkan anak menjadi mandiri dalam artian psikologis dan ekonomis. Keselarasan dalam independensi anak kelak meniadakan faktor-faktor dependensi anak terhadap orang tua. Konflik dalam keluarga timbul  saat anak sudah tergolong dewasa  secara biologis dan psikologis namun masih dependen secara ekonomis.
Pola pendidikan yang dipadatkan itu hendaknya membekali peserta didik dengan dasar-dasar keimanan dan ilmu pengetahuan agama, karakter, literasi dan keterampilan. Sehingga, persis pada tahun pertama memasuki jenjang usia SMA, si anak sudah siap terjun ke dunia kerja (entah magang terlebih dahulu, kemudian bekerja baik sebagai wirausaha atau karyawan).
Sesudah itu relakanlah si anak terbang lepas di alam kedewasaan.
Wallahu a'lam bis shawab.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H