Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 pasal 1 angka 1 menyebutkan: anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dalam UU No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan: anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) yang diduga melakukan tindak pidana.
Jadi meski sudah baligh, seseorang  yang terlibat tindak kriminal pidana pada usia kurang dari 18 tahun tetap dipandang selaku anak-anak di mata hukum.
Sedangkan UU No.16 Tahun 2019 menyebut bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila laki-laki dan perempuan sudah mencapai umur 19 tahun.
Seorang anak harus menempuh masa belajar yang sangat panjang dari SD, SMP, SMA hingga kuliah, baru kemudian bekerja dan menikah. Jika ia hendak memperpendek masa belajar itu ia bisa memilih pendidikan vokasi usai lulus SMP kemudian bekerja. Ini pun dengan standar yang lebih rendah. Sistem sosial yang berlaku di masyarakat kita menentukan kelulusan/jenjang pendidikan sebagai dasar penentuan upah. Jika kita hendak 'melawan arus', misalnya dengan hanya menyekolahkan anak sampai jenjang SMP, maka dunia kerja akan menghargainya dengan sangat rendah.
Rata-rata anak lelaki baligh di usia SMP. Seharusnya lepas SMP dia sudah mandiri dan lepas dari orang tuanya. Dengan demikian ada keselarasan antara pertumbuhan psikologis anak yang hendak lepas dari orang tua (independen selaku individu) dengan kemandirian ekonominya. Akan tetapi yang terjadi adalah si anak ingin independen selaku pribadi namun masih dependen secara ekonomi.
Pendidikan yang dia terima sejak SD hingga SMP tidak menyiapkannya selaku pribadi yang mandiri secara penuh. Anak yang sudah baligh adalah manusia yang alat reproduksi biologisnya berfungsi normal. Artinya, dia bisa dan layak menikah. Al-Imam Asy-Syafi'i langsung menikahkan anak lelakinya yang ketahuan ereksi saat tidur. Ini dilandasi kekuatiran Sang Imam akan fitnah godaan perempuan di zaman itu.
Menikah adalah urgensi bagi anak yang baru dewasa. Yang saya pahami, Islam hanya menganjurkan menunda menikah jika si anak yang sudah baligh tadi hendak menuntut ilmu, dalam hal ini ilmu agama. Islam menganjurkan menyegerakan menikah, kecuali jika si pemuda masih belum mampu secara ekonomi atau teramat miskinnya, hingga untuk menahan syahwatnya dia dianjurkan berpuasa.
Kompromi Sementara
Guna mengkompromikan kesenjangan sistem sosial tadi orang tua muslim 'bersedekah' kepada anaknya setelah si anak memasuki usia aqil baligh. Orang tua tetap mensupport segala keperluan hidup anaknya sampai pada akhirnya si anak siap mandiri: memperoleh penghasilan sendiri dan pada akhirnya menikah.
Semestinya sistem pendidikan yang ada lebih 'dipadatkan'. Pola pendidikan  yang 'dipadatkan' itu mempersiapkan anak menjadi mandiri dalam artian psikologis dan ekonomis. Keselarasan dalam independensi anak kelak meniadakan faktor-faktor dependensi anak terhadap orang tua. Konflik dalam keluarga timbul  saat anak sudah tergolong dewasa  secara biologis dan psikologis namun masih dependen secara ekonomis.
Pola pendidikan yang dipadatkan itu hendaknya membekali peserta didik dengan dasar-dasar keimanan dan ilmu pengetahuan agama, karakter, literasi dan keterampilan. Sehingga, persis pada tahun pertama memasuki jenjang usia SMA, si anak sudah siap terjun ke dunia kerja (entah magang terlebih dahulu, kemudian bekerja baik sebagai wirausaha atau karyawan).