Saat sedang asik-asiknya menata pekerjaan, dengan alasan agar bisa punya kemerdekaan finansial, kebebasan waktu, agar ‘dunia’ itu yang kelak mengejar balik dan bukannya kita yang repot mengejar ‘dunia’– surat Al Kahfi malah menggedor kesadaran betapa ada yang lebih penting dan esensial dari segala kerepotan itu, ialah agar senantiasa melanggengkan amal kebajikan yang kekal alias al baaqiyat ash-shaalihaat.
Wal baaqiyaatus shaalihaatu khairun inda Rabbika tsawaban wa khairun amala
Dan al baaqiyaat ash shaalihaat itu lebih baik di sisi Tuhanmu dari segi ganjaran dan merupakan angan-angan dan cita-cita yang lebih bagus.
Sejak ayat ke-28 hingga ayat ke-46 surat Al-Kahfi panjang lebar mengurai sifat dunia ini secara mengharukan, sesuatu yang sebenarnya sering diulang-ulang dalam Al-Qur`an.
Pertama, diperintahkan-Nya kita untuk bergabung bersama komunitas orang saleh yang senantiasa berdoa menyeru kepada Tuhannya pagi dan senja hari dengan mengharapkan wajah Allah, keridhaan Allah. Dan janganlah kedua matamu –wahai Muhammad (lafal perintahnya ditujukan khusus kepada Rasul tetapi esensi perintah itu berlaku umum untuk umat Islam), berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia. Dan janganlah engkau taati orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingat Kami dan mengikuti hawa nafsunya dan urusan serta peri-keadaan orang semacam ini sudahlah kelewat batas.
Berlainan dengan anjuran sebagian motivator agar berteman dengan orang-orang kaya supaya ketularan kaya lewat meniru cara berpikir dan cara hidup mereka, Allah memerintahkan agar berteman dengan orang-orang yang banyak berzikir. Baik zikir dalam artian bacaan doa dan zikir atau zikir dalam artian berkutat mengkaji ilmu agama. Orang-orang semacam ini tidak terpikir di benak mereka urusan perhiasan dunia, yang mereka ingat, kenang dan tuju selalu adalah Allah, ridha Allah. Dengan kata lain, orang-orang yang ikhlas.
Di lain pihak kita dilarang mengikuti orang yang hatinya lalai dari zikrullah, mengekor hawa nafsu hingga urusannya melampaui batas.
Setelah itu Allah mengisahkan tentang dua orang pemilik kebun. Tidak disebutkan nama kedua tokoh ini dari bangsa dan periode sejarah yang mana. Tidak ada dalil yang berbicara tentang hal ini sehingga yang terpenting adalah hikmah pelajarannya sebagaimana tertera di dalam Surat Al Kahfi ayat 32-44.
Lelaki pertama adalah seorang kafir pemilik dua kebun anggur. Kebun anggur itu dipagari oleh pohon-pohon kurma dan di antara dua kebun anggur itu masih ada ladang pertanian lagi. Di celah-celah kebun itu pula ada sungai yang mengalir.
Anggur, kata Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa’dy, merupakan tanaman yang sangat berharga. Harganya mahal dan bebuahnya yang ranum tentu sangat sedap dipandang. Kebun milik si lelaki kafir ini megah, luas dan sangat indah. Bayangkanlah suatu lahan perkebunan luas yang ada sungai mengalir di antaranya. Ada saluran irigasi yang tertata dan gemericik airnya. Kebun ini dikelilingi pohon palma dari jenis kurma yang buahnya bertangkai-tangkai, bisa dinikmati dan dimakan. Jadi bukan sekedar tanaman hias pelengkap lanskap taman.
Si kafir ini juga punya kekayaan yang besar. Saat ngobrol dengan temannya yang mukmin dia nyerocos, “Hartaku lebih banyak dari hartamu dan pengikutku lebih mulia.” Waktu dia masuk ke kebunnya yang luas dan indah itu sikapnya angkuh. Dia punya asumsi yang keliru di benaknya, katanya:
“Selamanya kebunku ini tidak akan lenyap! Mustahil kiamat itu datang dan kalaupun aku dikembalikan kepada Tuhanku pasti aku dapat tempat kembali yang lebih baik daripada ini.”
Asumsi dan keyakinan yang keliru itu datang dari pemikiran yang lepas dari zikrullah (ilmu dan keimanan kepada Allah).
Optimisme yang salah kaprah pada diri si kafir yang kaya ini lahir dari hati yang lalai, tidak mengingat Allah dan tidak menuntut ilmu agama sehingga optimismenya keterlaluan dan kelewat batas.
- Kebunnya yang bakal lenyap disangka akan tetap lestari dan abadi.
- Kiamat, yang pasti terjadi dibilang mustahil.
- Tanpa keimanan yang benar dia yakin bakal masuk surga.
Pemilik kebun yang kafir berkata, "Ana ak-tsaru minka maalan wa a’azzu nafara. Hartaku lebih banyak dari hartamu dan pengikutku lebih mulia.”
Ia berbangga dengan banyaknya harta dan kemuliaan pengikut. Kata Syaikh Sa'dy: yaitu banyaknya pendukung yang terdiri dari para budak, pembantu, orang dekat dan karib kerabat. Dan ini adalah kebodohan. Karena dia membanggakan perkara-perkara luar yang tidak memiliki esensi dan keunggulan maknawi, layaknya imajinasi anak kecil yang kosong makna.
Kawannya yang mukmin menegur si kafir pemilik dua kebun anggur ini. Si mukmin juga punya kebun akan tetapi tidak seluas dan seindah kebun milik si kafir.
“Mengapa ketika engkau memasuki kebunmu tidak mengucapkan masya Allah la quwwata illa billah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud tidak kekuatan dan daya upaya melainkan dengan pertolongan Allah), sekalipun engkau anggap harta dan keturunanku lebih sedikit daripada milikmu!”
Si mukmin ini tidak lepas dari bacaan zikir dan menautkan segala realita di hadapannya dengan kemahakuasaan Allah.
Sedangkan si kafir sangat percaya diri dengan kekayaan dan anak keturunan yang banyak yang bagi mereka sangat membanggakan. Dia berbangga dengan harta dan kedudukan sosialnya di hadapan mukmin yang duafa. Sehingga si mukmin duafa ini pun berdoa, “Semoga Allah memberi kepadaku yang lebih baik dari kebunmu dan agar Dia mengirim petir dari langit ke kebunmu hingga ia menjadi tanah yang licin tandas! Atau airnya surut menyesap ke dalam tanah hingga engkau tak mungkin mendapatinya lagi!"
Perhatikan doa mukmin yang duafa ini terhadap orang kafir yang berharta, angkuh serta lalim terhadap dirinya sendiri.
Allah mengabulkan doa si mukmin. Harta kekayaan si kafir dibinasakan. Seluruh pohon anggur roboh dan pemilik kebun yang kafir ini menyesali keyakinan musyriknya.
Rangkaian ayat ini memberi pelajaran bahwa kemusyrikan itu juga berdampak buruk di dunia. Dan bahwa doa dari orang yang bertauhid, berilmu lagi senantiasa berzikir sangat mungkin dikabulkan.
Pelajaran lainnya adalah bahwa terkadang orang kafir diberi kekayaan yang lebih daripada orang beriman. Di satu sisi sebagai bentuk rahmat Allah untuk orang kafir karena setelah mereka mati mereka akan sengsara dalam siksa selama-lamanya.
Lantas Allah memberi permisalan dunia ini bagaikan air hujan yang diturunkan dari langit. Hujan itu menumbuhkan tetanaman yang subur kemudian tetanaman itu menjadi kering hilang diterbangkan angin.
Kebagusan dunia ini adalah skenario langit yang serba sebentar. Ujungnya adalah kefanaan, sebagaimana fananya tumbuhan yang mengering lantaran tua, rontok kemudian hilang ditiup angin.
Kemudian penutup penggalan ayat tentang pemilik kebun ini berbunyi:
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia akan tetapi al baaqiyaat ash-shaalihaat adalah lebih baik balasannya di sisi Rabbmu dan angan-angan yang lebih bagus.
Syaikh Muhammad Amin Asy Syinqithi berkata: tujuan dari ayat-ayat yang mulia ini adalah mengingatkan manusia agar beramal saleh – agar mereka tidak menyibukkan diri dengan perhiasan dunia berupa aset harta dan anak keturunan dari apa yang bermanfaat di akhirat untuk mereka di sisi Allah berupa amal al baaqiyaat ash shaalihaat.
Setelah menyebut sejumlah ayat yang senada dengan anjuran Surat Al Kahfi ayat 46 ini, Syaikh Asy-Syinqithi berkata: dan ucapan para ulama tentang apa yang dimaksud dengan al baaqiyaat ash shaalihat seluruhnya kembali pada satu perkara, yaitu amal perbuatan yang diridhai Allah.
Baik kita katakan itu adalah shalat wajib yang lima waktu sebagaimana pendapat ini diriwayatkan dari sekelompok ulama salaf seperti Ibnu Abbas, Said bin Jubair, Abu Maysarah serta Amr bin Syurhabil. Atau ia adalah ucapan: subhanallah walhamdulillah wallahu akbar wa laa ilaaha illallah wa la haula wa la quwwata illa billah al Aliyyil Azhim. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Dan telah terdapat dalil dari hadis-hadis yang bersambung kepada Nabi dari Abu Said Al-Khudri, Abu Darda, Abu Hurairah, Nu’man bin Basyir serta Aisyah semoga Allah meridhai mereka semua.
Asy Syinqithi menukil pendapat yang mengatakan bahwa lafal al baaqiyaat ash-shaalihaat itu adalah lafal yang umum mencakup shalat lima waktu, bacaan zikir sebagaimana tersebut di atas, dan amal kebajikan lain yang mendatangkan keridhaan Allah. Karena amal kebajikan ini lebih kekal (baaqiyaat) buat pelakunya, tidak lenyap dan fana sebagaimana halnya perhiasan dunia. Dan lantaran amal kebajikan itu ‘baik’ (shaalihaat) dari sisi bahwa ia mendatangkan keridhaan Allah.
Dan bahwa al baaqiyaat ash shaalihaat itu lebih dahsyat ganjarannya dan merupakan angan-angan yang lebih bagus daripada angan-angan ahli dunia yang mencita-citakan perhiasan dunia.
Al baaqiyaat ash-shaalihat itu mendatangkan pahala dan ganjaran kebaikan yang dahsyat buat orang mukmin, tidak seperti amal perbuatan orang kafir yang tidak mendatangkan pahala ataupun ganjaran sedikitpun.
Sampai di sini nukilan dari Tafsir Asy-Syinqithi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H