Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Makin Akrab dengan 'Anjing'

18 Maret 2021   06:26 Diperbarui: 16 September 2022   10:08 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Generasi kita semakin cerdas dan terampil, namun makin akrab dengan anjing.

Salah apa anjing sehingga dijadikan kata makian favorit di samping hewan-hewan lain semisal babi dan monyet? Mereka yang membela penggunaan kata ‘anjing’ berdalih bahwa itu adalah ekspresi keakraban jika dilontarkan kepada orang yang dikenal.

Lazim diketahui bahwa kata yang sama awalnya merupakan bentuk kekerasan verbal jika dilontarkan pada pihak lain yang jadi obyek kemarahan.

Dalam salah satu rapat antara DPRD DKI Jakarta dengan Gubernur Ahok, 5 Maret 2015 –terlontar kata makian yang sama lantaran tensi dialog yang meninggi. Ahok dimaki ‘anjing’ oleh anggota DPRD. “Ya kan dibilang saya nggak santun. Kan tadi aku sekilas dengar ada yang teriak 'anjing' gitu ya. Aku pengen balesin daging anjing enak!” jawab Ahok santai.

Di Indonesia yang mayoritas muslim, anjing diasosiasikan sebagai binatang yang jelek, rendahan dan mengganggu. Terutama karena hewan itu selalu menjulurkan lidah setiap saat. Liurnya najis berat, harus disucikan dengan air sebanyak tujuh kali. Salah satunya dengan tanah.

Ali Sadikin, gubernur Jakarta yang legendaris, dikenal sebagai ‘gubernur monyet’, karena –mengutip penuturan JJ Rizal –sering memaki orang dengan makian: “Monyet, lu!”

Kalau mau mundur lebih jauh ke belakang, makian ‘anjing’ ini punya sejarah yang panjang. Sukarno pernah dimaki sebagai ‘anjing piaraan Jepang.’ Syahrir saat memilih berunding dengan Belanda diumpat sebagai ‘anjing belanda’. Sedangkan para pengkhianat republik di masa revolusi disebut ‘anjing-anjing NICA’.

Kalau babi dan monyet sudah pasti jelek tampangnya, anjing memiliki dua citraan: buas sekaligus cerdas, lucu dan jinak. Akan tetapi pemilihan anjing sebagai kata makian pasti lantaran karakter-karakter buruknya: suka menjulurkan lidah, nyaring gonggongannya, suka menggigit, menularkan penyakit, bahkan membunuh.

Di Amerika atau dunia barat umumnya anjing lebih dimuliakan. Di Indonesia kebiasaan itu sudah mulai tumbuh juga. Misalnya ada kontes anjing yang dirawat betul sampai mirip boneka. Cuma saja anjing di Indonesia belum ada yang jadi bintang film. Jadi, persahabatan yang mengharukan antara pemilik dan anjing peliharaannya dijamin tidak ada di dunia film atau sinetron nasional.

Di negara-negara Indocina, anjing biasa dijadikan santapan. Demikian pula di sejumlah daerah mayoritas non-muslim di Indonesia, daging anjing adalah konsumsi yang lazim.

Islam dalam hal ini berada di titik moderasi: tidak menyarankan memelihara anjing di dalam rumah (kecuali anjing kebun dan anjing pemburu), menajiskan liurnya dan mengharamkan dagingnya. Jika anjing itu terbukti menularkan penyakit berbahaya (rabies) atau berpotensi membunuh maka anjing itu boleh dibunuh.

Channel Youtube pawang anjing Amerika Cesar Milan sering menayangkan kisah anjing yang diselamatkan dari ‘pembantaian’ para penyantap anjing. Anjing-anjing itu ternyata punya kejiwaan yang pola-nya bisa diidentifikasi oleh seorang dog whisperer.

Alternatif Solusi

Akan tetapi masalahnya bukan pada soal budaya atau semantik. Persoalan utamanya adalah bagaimana kita menghilangkan kosakata itu dari diksi sehari-hari anak-anak, remaja, pelajar, mahasiswa dan orang kebanyakan?

Anak-anak dan pemuda makin akrab dengan kata makian itu. Anjing makin sering muncul di sebarang tempat: di warnet, sekolah, pesantren, jalan raya, warung dan kafe, bahkan tempat ibadah.

Anjing menjadi umpatan, kekerasan verbal, simbol keakraban, sekaligus ungkapan kekaguman. Sesama teman saling meng-anjing-kan. Kuatirnya, jika kata-kata itu adalah doa, bangsa Indonesia lama kelamaan jadi bangsa anjing (dog nation).

Pendidikan karakter sudah pasti merupakan solusi bagi permasalahan yang bagaikan pucuk dari gunung es ini. Artinya, secara spiritual anak-anak kita memang jauh dari rasa takut kepada Allah, jauh dari agama. Lingkungan yang tidak religius adalah pemicu utama bagi anak atau remaja mudah mengucapkan kata-kata kasar. Orang-orang dewasa tidak memberi keteladanan, tidak melarang dan tidak mengarahkan anak-anak dan anggota keluarganya dari kebiasaan buruk ini.

Sementara tontonan misalnya tayangan film dari dalam dan luar negeri semuanya mengesankan makian itu sebagai bagian dari kegagahan, kejantanan, keberanian, sesuatu yang keren, dan lain sebagainya. Yang jelek jadi kelihatan asyik.

Anak-anak dan pelajar tidak memiliki pemahaman bahwa ucapan buruk itu akan kembali kepada si pengucap bagaikan bumerang yang siap menebas pelontarnya, cepat atau lambat. Hanya kalimat-kalimat yang baik saja yang naik ke langit. Sedangkan kalimat yang buruk itu melayang-layang mencari sasaran di antara para makhluk. 

Andai kata anjing itu menjelma menjadi anjing sungguhan, anjing yang marah, anjing yang menerkam, anjing yang menyalak dan menggonggong sepanjang waktu, tentu hidup menjadi tidak nyaman, bukan? Mereka yang menganggap makian itu sebagai kelaziman akan berpikir juga untuk berhenti.

Dalam Al-Quran anjing dijadikan sebagai perumpamaan orang yang melupakan ilmu dan agama kemudian cenderung pada dunia: orang yang bebal karena kecenderungannya terhadap dunia. Celaan yang keras sekali.

Dalam Islam, kaum khawarij (misalnya: ISIS) disebut para ulama terancam hadis yang menyebut mereka sebagai ‘anjing-anjing neraka’. 

Di sini dua kemungkinan makna hadis. Pertama, mereka -para khawarij ini- akan dijadikan Allah dalam bentuk anjing ketika berada di neraka. Kedua, mereka memiliki karakter sebagaimana anjing, yang dihinakan ketika di neraka.

Khawarij ini adalah kaum yang mengkafirkan sesama kaum muslimin secara gegabah, tidak memerhatikan kaidah-kaidah syar’i dalam pengkafiran. Akibatnya mereka melakukan pukul rata: semua orang kafir halal harta dan darahnya. Bahkan sesama muslim yang tidak satu pemahaman dengan mereka pun halal harta dan darahnya.

Dari sisi itu memang rasanya ada representasi karakter anjing pada kaum khawarij: ganas, buas, sadis, suka keributan dan suka membunuh (ingat ucapan Imam Samudera: senang yang ribut-ribut dan berbau kematian?).

Jika tidak ada upaya rekayasa pendidikan karakter yang sungguh-sungguh khususnya dari para pegiat dan praktisi pendidikan, maka generasi muda kita menghadapi ancaman besar ‘anjingisasi’ umat dan bangsa: (1) bebal, hina dan cinta dunia; (2) keras, buas, dan suka membunuh.

Wallahu a’lam bis shawab.

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun