Setiap daerah memiliki tradisi dan budayanya masing-masung. Setiap daerah juga memiliki ciri khas yang melekat dan diingat oleh setiap orang. Tradisi dan budaya bisa terlihat dalam setiap aspek kehidupan. Sementara ciri khas berasal dari berbagai macam hal mulai dari seni budaya, kerajinan tangan hingga kuliner khas yang otentik.
Salah satu tradisi yang terkenal di di Jawa Timur adalah Bantengan, sebuah kesenian tarian khas dimana penari menggunakan atribut kepala banteng yang terbuat dari kayu. Bantengan diiringi musik jaranan yang rancak dan penari di dalam tubuh bantengan yang sudah dalam kondisi trace (kesurupan) akan bergerak dan bergoyang mengikuti irama dan suara lecutan cemeti.
Kesenian Bantengan ini cukup populer di Batu, Malang, Mojokerto dan sekitarnya, dengan menonjolkan masing-masing ciri khas daerahnya. Salah satunya adalah Desa Bumiaji, Batu, JawaTimur, dimana Bantengan masih terus hidup dengan kuat dan menjadi salah satu tradisi dan budaya yang masih terjaga dengan baik.
Melestarikan budaya Bantengan bukan hanya dari atraksi seni tari semata, namun bisa memperkenalkannya melalui media lain. Anjani Sekar Arum, seorang pemudi asli Batu telah bertekad bulat untuk melestarikan budaya Bantengan.
Ayahnya, Agus Tubrun, adalah seorang pegiat seniman Kota Batu sekaligus pendiri kelompok budaya Bantengan Nuswantara. Semangatnya sama, caranya saja berbeda. Anjani melestarikan budaya Bantengan dengan cara menuangkannya menjadi karya dalam motif "Batik Bantengan".
"Bantengan itu merupakan warisan nenek moyang kita, dan kita memiliki kewajiban untuk melestarikannya. Kita tidak boleh membiarkan budaya ini terpinggirkan, terutama karena kita adalah penjaga budaya," ujar Anjani.
Mengenyam pendidikan perguruan tinggi di jurusan seni dan desain, fakultas sastra, Universitas Negeri Malang, awalnya Anjani hanya berkonsentrasi pada seni lukis saja. Â Seni batik mulai digelutinya dengan serius pada semester 6. Dalam setiap tugas kuliahnya, Anjani juga selalu memasukkan unsur budaya Bantengan.
Perjalanan lahirnya motif Batik Bantengan tidak mudah. Meski berkuliah di jurusan seni dan desain, tidak ada dosen yang mengajarinya cara membatik. Praktis Anjani harus mencari cara untuk belajar membatik.
Bersama rekan-rekannya, Anjani berangkat dan tinggal selama satu bulan di Yogyakarta dan Solo. Berpindah-pindah di kedua kota tersebut hanya untuk belajar teknik pewarnaan batik.
Kerja kerasnya pun membuahkan hasil. Pada 2014, Anjani menggelar pameran tunggal di Galeri Raos, Batu, Jawa Timur. Karya-karyanya sebanyak 54 kain batik dipamerkan dan laris terjual. Impiannya semasa kuliah untuk menggelar pameran tunggal pun tercapai.
Tak sampai disitu, istri Walikota Batu periode 2007-2017 (Eddy Rumpoko), Dewanti Rumpoko, mengajaknya pameran di Praha, Republik Ceko. Beliau bahkan mengangkat Batik Bantengan menjadi batik khas Batu. Sesuatu yang baru karena Kota Batu belum memiliki motif batik yang khas seperti kota-kota lain.
Di tahun yang sama, Anjani juga memiliki Sanggar Batik Tulis Andhaka yang lokasinya tak jauh dari Alun-alun Kota Batu. Sanggar sekaligus galeri batik ini terus berkembang hingga akhirnya lokasinya dipindahkan ke Desa Bumiaji.
Pemindahan lokasi sanggar seolah membawa Bantengan "pulang kembali". Perlahan Anjani mulai memperkenalkan dan mensosialisasikan Batik Bantengan yang akan menjadi ciri khas baru Kota Batu.
Pemindahan sanggar dari pusat kota ke desa kaki gunung juga bukan tanpa alasan. Meski terkenal dengan wisata holtikultura melalui perkebunan apel, itu tidak lagi bisa menjadi andalan Desa Bumiaji.
Pertemuannya dengan Aliya, gadis berusia 9 tahun pada 2015 membulatkan tekadnya untuk mewariskan seni membatiknya pada generasi muda. Anjani melatih anak-anak untuk menjadi pembatik di sanggarnya. Menurutnya, keahlian membatik pada generasi muda adalah salah satu cara melestarikan budaya.
Sejak 2017, melalui kerjasama dengan Dinas Pendidikan Kota Batu, Anjani mensosialisasikan Batik Bantengan dengan cara Dinas Pendidikan membagikan peralatan membatik pada sekolah berakreditasi A secara cuma-cuma. Sementara Anjani menyediakan tenaga pengajar ekstrakulikuler membatik yang rata-rata adalah pembatik muda di sanggarnya.
Kini dengan nama brand Batik Banteng Agung, lebih dari 2.000 motif batik telah dihasilkan. Setiap bulannya juga ada puluhan kain batik yang dihasilkan dan dijual dengan harga Rp 300.000 - 750.000 per lembarnya. Anjani hanya mengambil 10% dari hasil penjualan untuk biaya operasional dan produksi di sanggar dan galeri batik miliknya. Selebihnya menjadi hak para pembatik.
"Selalu ada kepala banteng, bunga tujuh rupa, dupa, kemenyan, arang, alat musiknya, cemeti. Semua unsur itu daplikasikan dalam batik. Jadi kalau tidak ada kepalanya biasanya dimunculkan bunga tujuh rupa atau yang lain," jelasnya.
Anjani berhasil melestarikan tradisi dan budaya yang melahirkan sebuah ciri khas yang baru. Batik Bantengan yang kini telah dipatenkan sebagai batik khas Kota Batu bukan hanya merambah pasar lokal dan nasional. Karya-karya Anjani juga merambah pasar internasional dengan mengikuti pameran besar di Malaysia, Singapura, Taiwan, Ceko, India hingga Australia.
Usaha Anjani Sekar Arum dalam melestarikan budaya Bantengan, mengangkat derajat ekonomi daerah, serta meneruskan keahlian pada generasi muda inilah yang membuatnya menjadi penerima Apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2017 di bidang kewirausahaan.
Selain sanggar dan galeri batik, Anjani juga mendirikan Komunitas Batik Cilik Indonesia yang tersebar di beberapa kota seperti Batu, Yogyakarta dan Singkawang dimana komunitas ini saling bersinergi dan terus berjejaring.
"Cita-cita dan kepuasan saya adalah membangun komunitas pembatik cilik se-Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Dengan begitu akan muncul bibit-bibit pembatik Indonesia dan batik bisa dikenal secara luas,"Â tutupnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI