Bersama rekan-rekannya, Anjani berangkat dan tinggal selama satu bulan di Yogyakarta dan Solo. Berpindah-pindah di kedua kota tersebut hanya untuk belajar teknik pewarnaan batik.
Kerja kerasnya pun membuahkan hasil. Pada 2014, Anjani menggelar pameran tunggal di Galeri Raos, Batu, Jawa Timur. Karya-karyanya sebanyak 54 kain batik dipamerkan dan laris terjual. Impiannya semasa kuliah untuk menggelar pameran tunggal pun tercapai.
Tak sampai disitu, istri Walikota Batu periode 2007-2017 (Eddy Rumpoko), Dewanti Rumpoko, mengajaknya pameran di Praha, Republik Ceko. Beliau bahkan mengangkat Batik Bantengan menjadi batik khas Batu. Sesuatu yang baru karena Kota Batu belum memiliki motif batik yang khas seperti kota-kota lain.
Di tahun yang sama, Anjani juga memiliki Sanggar Batik Tulis Andhaka yang lokasinya tak jauh dari Alun-alun Kota Batu. Sanggar sekaligus galeri batik ini terus berkembang hingga akhirnya lokasinya dipindahkan ke Desa Bumiaji.
Pemindahan lokasi sanggar seolah membawa Bantengan "pulang kembali". Perlahan Anjani mulai memperkenalkan dan mensosialisasikan Batik Bantengan yang akan menjadi ciri khas baru Kota Batu.
Pemindahan sanggar dari pusat kota ke desa kaki gunung juga bukan tanpa alasan. Meski terkenal dengan wisata holtikultura melalui perkebunan apel, itu tidak lagi bisa menjadi andalan Desa Bumiaji.
Pertemuannya dengan Aliya, gadis berusia 9 tahun pada 2015 membulatkan tekadnya untuk mewariskan seni membatiknya pada generasi muda. Anjani melatih anak-anak untuk menjadi pembatik di sanggarnya. Menurutnya, keahlian membatik pada generasi muda adalah salah satu cara melestarikan budaya.
Sejak 2017, melalui kerjasama dengan Dinas Pendidikan Kota Batu, Anjani mensosialisasikan Batik Bantengan dengan cara Dinas Pendidikan membagikan peralatan membatik pada sekolah berakreditasi A secara cuma-cuma. Sementara Anjani menyediakan tenaga pengajar ekstrakulikuler membatik yang rata-rata adalah pembatik muda di sanggarnya.
Kini dengan nama brand Batik Banteng Agung, lebih dari 2.000 motif batik telah dihasilkan. Setiap bulannya juga ada puluhan kain batik yang dihasilkan dan dijual dengan harga Rp 300.000 - 750.000 per lembarnya. Anjani hanya mengambil 10% dari hasil penjualan untuk biaya operasional dan produksi di sanggar dan galeri batik miliknya. Selebihnya menjadi hak para pembatik.