Dengan langkah gontai aku berjalan memasuki area bangunan dengan warna dominan putih tersebut. Hari sudah larut malam, jalanan sudah sepi, tak ada suara di sekeliling selain suara langkah kakiku yang membawa tas besar di punggung.
Perlahan-lahan, dengan rasa sedikit ragu, aku masuk ke tempat itu. Sepi, tak ada siapapun. Sampai beberapa saat kemudian seorang pria dengan kisaran umur 60 tahunan muncul dan menyapaku.
"Assalamualaikum," sapanya dengan salam khas Indonesia, mengatupkan kedua tangan di dada.
Sejurus kemudian aku ragu, karena sedikit banyak paham bagaimana hukum membalas salam tersebut. Namun atas dasar sopan santun, aku membalas salam darinya, juga dengan gaya yang sama.
"Walaikumsalam.."Â
Terjadi kebisuan selama kurang lebih 10 detik. Pria tua itu tampaknya sedang mencerna situasi dan melihat penampilanku yang kucel dan menggendong tas besar di punggung.
"Kalau mau istirahat atau bersih-bersih di dalam saja," ungkapnya dengan ramah.
Senyum langsung merekah di wajahku.
***
Bengkulu, sebuah kota atau provinsi dimana aku pernah menghabiskan masa kecil selama kurang lebih 1-2 tahun di sini. Tak jarang aku selalu menyebut Bengkulu sebagai salah satu "kampung halaman".