Minggu silam (22/1/2023), seluruh rakyat Tiongkok dan keturunan Tionghoa yang tersebar di penjuru dunia merayakan Hari Tahun Baru atau Imlek. Perayaan ini berlangsung sampai hari ke-15 atau biasa disebut capgomeh.
Sincia atau tahun baru adalah sebuah hari dimana satu tahun dalam penanggalan lunar berganti, beserta juga shio dan unsur yang melambangkan tahun tersebut. Tahun 2023 juga disebut sebagai tahun kelinci air.
Lazimnya sebuah perayaan, seluruh anggota keluarga berkumpul untuk saling mendoakan dan berbagi rezeki. Di Indonesia, Imlek sudah menjadi hari libur nasional dan perayaannya tidak hanya untuk kalangan keturunan Tionghoa saja. Imlek sudah menjadi perayaan semua umat, tak peduli suku atau agama apapun.
Akan tetapi, ternyata masih banyak orang yang salah kaprah tentang tradisi dan budaya Imlek. Entah karena pemberitaan media atau informasi yang tidak sepenuhnya benar.
Untuk itu, mari kita kupas tuntas salah kaprah tentang budaya dan tradisi Imlek di Indonesia.
1. "Gong Xi Fat Cai" artinya bukan selamat tahun baru
Berapa banyak yang salah mengira kalimat "Gong Xi Fat Cai" yang diucapkan pada hari Imlek artinya adalah "Selamat Tahun Baru"?
Seperti perayaan pada umumnya, kita akan mengucapkan maksud dan tujuan dari perayaan tersebut. Selamat Idul Fitri, Selamat Natal, Selamat Tahun Baru Haji, Selamat Nyepi, Selamat Hari Kemerdekaan, itulah kalimat ucapan yang secara harafiah merayakan hari besar tersebut.
Namun berbeda dengan Imlek. Gong Xi Fat Cai bukan berarti selamat tahun baru. Gong Xi Fat Cai artinya adalah "Selamat mendapatkan kekayaan dan kemakmuran".
Jika ingin mengucapkan selamat tahun baru, tambahkan saja "Xin Nian Kuai Le". Maka dari itu, saat Imlek kalimat ucapannya adalah "Gong Xi Fat Cai, Xin Nian Kuai Le" yang diinterpretasikan jadi "Selamat bertambah makmur dan kaya, semoga berbahagia di tahun yang baru".
2. Orang Tionghoa tidak mengucapkan "Gong Xi Fat Cai"
Meski demikian, di hari Imlek kaum chindo atau Tionghoa Indonesia justru tidak mengucapkan "Gong Xi Fat Cai". Biasanya mereka melafalkan ucapan tersebut dalam dialek Hokkian yaitu "Kiong Hi Pat Coi" atau "Kiong Hi" saja.
Saya jarang sekali mendengar teman, kawan, bahkan keluarga dan kerabat saya sendiri mengucapkan "Gong Xi Fat Cai". Biasanya kami selalu mengucapkan "Kiong Hi Pat Coi".
Gong Xi Fat Cai adalah ucapan dalam Bahasa Mandarin. Sementara itu, meski di Indonesia keturunan Tionghoa terdiri dari berbagai suku sesuai daerah dan bahasa ibunya masing-masing seperti Hokkian (Aceh, Sumut, Kepri), Khek/Khuntien (Kalimantan, Bangka Belitung), Tiociu (Jambi, Palembang) atau Ciaosen (lebih suka menyebut diri Cina Benteng atau Cina Jawa), kalimat yang diucapkan pada umumnya adalah "Kiong Hi Pat Coi" yang berasal dari Bahasa Hokkian.
3. Sembahyang bukan lagi tradisi wajib
Menjelang Imlek, keluarga akan melakukan beberapa ritual seperti sacapmeh (makan besar bersama keluarga di malam Imlek), atau sembahyang pada leluhur dan kerabat yang sudah meninggal.
Nyatanya, ritual sembahyang ini bukanlah ritual wajib. Alasannya tentu saja berhubungan dengan kepercayaan yang dianut oleh sebagian atau seluruh anggota keluarga tersebut. Seperti diketahui, sembahyang dilakukan bagi penganut agama Buddha dan Konghucu.
Namun, di masa kini tak semua orang Tionghoa Indonesia masih menganut agama dan kepercayaan leluhurnya tersebut. Banyak yang sudah menganut agama lain seperti nasrani (kristen, katolik) maupun muslim.
Dan meski menganut kepercayaan berbeda, mereka masih tetap merayakan Imlek karena Tahun Baru Lunar adaah perayaan untuk para keturunan Tionghoa, apapun agama yang dianutnya. Selain itu, esensi Imlek juga masih ada dalam ajaran agama lain seperti menjalin silaturahmi dengan keluarga dan berbagi berkat dalam bentuk angpau.
4. Yu Sheng hanyalah tradisi seremonial
Yu Sheng adalah makanan khas tiouciu berupa salad yang diiris tipis-tipis dan terdiri dari ikan, sayuran wortel dan lobak, serta buah. Tradisi ini bukan berasal dari cina daratan, melainkan dari peranakan yang berasal dari Semenanjung Malaya.
Saat menyantap Yu Sheng, seluruh anggota keluarga akan berkumpul di satu meja untuk mengaduk hidangan tersebut dengan sumpit dan mengangkatnya tinggi-tinggi sambil mengucapkan selamat tahun baru ("Lao Hei"). Semakin tinggi seseorang mengangkat sumpitnya, semakin besar pula kemungkinan harapan terkabul dan rezeki yang datang.
Nyatanya, tidak semua Tionghoa Indonesia melakukan tradisi ini. Mereka yang berasal dari suku tiociu mungkin masih melakukannya. Belakangan saya sering melihat Yu Sheng menjadi salah satu hidangan bagi mereka yang merayakan sacapmeh atau makan bersama saat Imlek di restoran khas cina dan hanya menjadi acara seremonial saja.
5. Kue Keranjang bukan sekedar makanan wajib Imlek
Jika kita gugling makanan khas Imlek, salah satu kudapan manis yang sering disebut adalah kue keranjang, selain kue lapis, kue mangkuk, atau kue ku tentunya. Pernyataan ini benar, namun juga tidak sepenuhnya benar.
Kue keranjang atau biasa disebut dodol cina adalah salah satu makanan wajib Imlek, tetapi bukan untuk disantap. Biasanya, menjelang Imlek orang Tionghoa akan melakukan tradisi membagikan kue keranjang ke huana di lingkungan sekitarnya. Huana sendiri artinya adalah "orang asing" (bahasa Hokkian) yang disini bisa diinterpretasikan sebagai kaum pribumi.
Jadi, sebenarnya kue keranjang itu bukan hanya untuk disantap di hari Imlek saja tetapi juga dibagikan ke teman, sahabat atau tetangga agar bisa ikut merasakan kemeriahan Hari Raya Imlek.
Tak heran jika sebelum Imlek banyak bos-bos atau cukong yang membagikan hampers kepada karyawannya dan salah satu isinya adalah kue keranjang.
6. Etika memberi dan menerima angpau
Membagikan angpau adalah salah satu tradisi wajib saat Imlek. Biasanya angpau diberikan oleh anggota keluarga yang sudah menikah kepada anggota keluarga lain yang belum menikah seperti anak, keponakan atau saudara sepupu.
Selain menjadi simbol rejeki, angpau juga menjadi simbol doa dan harapan bagi penerima maupun pemberi angpau agar dilimpahkan berkah baik dalam karir, pekerjaan atau keuangan. Yang belum menikah segera bertemu jodohnya. Yang belum punya anak segera diberi momongan. Selalu diberi kesehatan, kemakmuran, dan sebagainya.
Jadi, syarat wajib bagi pemberi angpau adalah sudah menikah. Lalu bagaimana jika sudah berumur tapi belum menikah entah karena nasib, takdir atau pilihan hidup. Apakah tetap menerima angpau, atau boleh memberi angpau.
Saya akan menjelaskannya dengan bercerita sedikit pengalaman pribadi. Terakhir saya "panen angpau" itu adalah sedekade silam, tepatnya Imlek tahun 2013 dimana saya masih berusia 22 tahun! Saat itu saya banyak dapat angpau dari orang tua, saudara dan tetangga di hari Imlek, bahkan beberapa hari setelahnya.
Setelah itu, di tahun-tahun berikutnya jumlah angpau yang saya dapat berkurang sampai di momen saya sudah tidak mendapatkan angpau lagi di Imlek tahun ini, dimana saya sudah berusia 32 tahun dan juga belum kunjung menemukan jodoh.
Lalu apakah saya masih boleh menerima angpau? Atau saya seharusnya sudah bisa memberi angpau?
Jawabanya YA dan TIDAK.
Saya bisa dan boleh-boleh saja memberi angpau ke orang tua atau ke keponakan saya dengan catatan tidak menggunakan angpau atau tidak memasukannya ke amplop merah tersebut (karena belum menikah). Jadi cukup selipkan ke tangan sebagai salam tempel saja.
Saya sebenarnya juga masih boleh menerima angpau. Karena jika ditolak tentu tidak enak hati dengan si pemberi, namun jika diterima sama saja seperti tidak tahu diri. Bagi saya pribadi, ketika usia sudah mencapai 25 ke atas rasanya malu jika masih menerima angpau. Karena di usia tersebut kita seharusnya sudah bisa memberi angpau.
Bagi yang sudah menikah, ada etika dalam memberi angpau dimana nominalnya bisa disesuaikan dengan kemampuan si pemberi. Nilainya boleh sama (atau lebih) seperti yang mereka dapatkan di tahun sebelumnya (atau sebelum menikah) dari keluarga atau kerabat pemberi angpau.
Itulah tradisi dan budaya Imlek di masyarakat yang masih salah kaprah. Semoga informasi di atas bisa meluruskan dan menambah wawasan kita tentang Imlek.
Akhir kata, selamat tahun baru Imlek buat kita semua. Semoga di tahun kelinci air ini segala rejeki baik karir, keuangan, kesehatan maupun jodoh lancar seperti air dan melompat-lompat dari satu rejeki ke rejeki lainnya seperti kelinci.
Kiong Hie Pat Coi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H