Film superhero belakangan ini memang tengah naik daun. Namun seperti bisnis pada umumnya, dibutuhkan inovasi untuk tetap bertahan dan survive. Marvel Cinematic Universe (MCU) dengan ceritanya yang berkesinambungan sukses merebut hati penonton. Namun DC dengan jajaran superhero yang sudah populer sejak era jadul justru malah flop di pasaran. Lantas bagaimana dengan kisah para mutan yang hadir dengan seri terbaru berjudul X-Men: Dark Phoenix.
Melanjutkan tiga seri sebelumnya yang mengisahkan para X-Men muda, Dark Phoenix seolah hanya membuat remake dari X-Men: The Last Stand (2006). Simon Kinberg yang melakukan debut sebagai sutradara setelah selama ini hanya berada di belakang layar seri X-Men seolah ingin menebus dosa pada film yang ditulisnya 13 tahun silam.
Apakah Dark Phoenix berhasil mengobati rasa kecewa penggemar pada The Last Stand yang tampil buruk itu, atau malah memperpanjang daftar dosa penistaan terhadap salah satu mutan dan superhero terkuat ini.
***
Jean yang merasakan keanehan pada tubuhnya mulai tak dapat mengendalikan emosi dan kekuatannya sendiri. Puncaknya adalah ketika dia melukai teman-temannya dan tanpa sengaja membunuh Mystique (Jennifer Lawrence). Konflik semakin memuncak dengan kehadiran Vuk (Jessica Chastain), makhluk luar angkasa yang mengikuti sinar kosmik yang diserap oleh tubuh Jean.
Bagaimana kisah kelanjutan Jean dalam mengendalikan kekuatan gelap dalam tubuhnya. Apakah Professor X (James McAvoy) dan Magneto (Michael Fassbender) serta para mutan lainnya berhasil menghentikan Sang Phoenix.
***
Sejak dirilis pada tahun 1980, "The Dark Phoenix Saga" adalah salah satu seri komik X-Men yang populer dengan jalan cerita yang fresh dimana jagoan berubah menjadi penjahat. Popularitas tentang sisi gelap Jean Grey inilah yang coba diadaptasi oleh Simon Kinberg ke dalam The Last Stand dan kini ke dalam bungkusan baru bernama Dark Phoenix.
Akuisisi Disney untuk aset Fox juga memaksa Kinberg yang awalnya ingin menjadikan Dark Phoenix menjadi dua bagian terpaksa memangkasnya menjadi satu film. Belum lagi Hollywood juga memiliki agenda kampanye Social Justice Warrior (SJW) yang menuntut kesetaraan dan mengedepankan feminisme. Suatu hal yang justru membuat Dark Phoenix semakin kehilangan tajinya.
Kekacauan inilah yang membuat jalan cerita Dark Phoenix terasa datar dan membosankan. Jean Grey muda yang harusnya lebih buas dan mengerikan malah kalah jauh bila dibandingkan kengerian yang diciptakan oleh Jean Grey versi Famke Janssen.
Bahkan, karakter figuran sekelas Storm saja mampu memenangi argumen terhadap karakter sentral yang lebih kuat seperti Professor X atau Cyclops. Ingin yang lebih meh, ada dialog antara Mystique dan Professor X yang menyebut X-Men sebaiknya diganti menjadi X-Women. Bukan sepenuhnya menolak kampanye SJW, namun unsur feminisme yang overdosis bisa menjadi bumerang.
Sepertinya Fox tidak belajar dari kesalahan mengganti peran Human Torch menjadi kulit hitam di Fantastic Four (2015). Harus diakui, Marvel Studios masih lebih baik dalam mengemas kampanye SJW ke dalam film-filmnya (Ah, siapa sih yang tak ingat kumpulan superhero wanita dalam adegan klimaks Endgame. Atau bagaimana Black Panther (2018) menjadi film laris meski didominasi pemeran kulit hitam).
Untungnya, Dark Phoenix masih terselamatkan oleh performa para cast serta visual efek yang memanjakan mata. Sophie Turner yang diplot sebagai "sapi perah" baru setelah Jennifer Lawrence dan Hugh Jackman tampil sangat baik sebagai karakter utama. Chemistry antara James McAvoy dan Michael Fassbender masih menyihir penonton, belum lagi Nicholas Hoult yang mendapat banyak pengembangan karakter dibanding film-film sebelumnya.
Sebagai seri penutup X-Men sebelum Marvel meremakenya yang kita tidak tahu itu kapan, Dark Phoenix tampil amat sangat buruk. Film ini seperti menyianyiakan secercah harapan agar franchise ini hidup kembali setelah First Class (2011) yang menyegarkan dan juga Days of Future Past (2014) yang intim dan memukau. Dark Phoenix malah membuat serial X-Men kian terpuruk setelah jatuh terhempas akibat Apocalypse (2016) yang anehnya terlihat lebih baik berkat buruknya film ini.