Tiga tahun silam ketika kembali ke dunia social media, saya dikejutkan dengan sebuah tren dimana banyak sekali orang yang mengunggah makanan atau minuman sebelum mereka menikmatinya. Yes, tren mengupload foto makanan saat itu sudah mewabah di kalangan user social media. Mulai dari makanan kelas pinggir jalan, restoran, kafe sampai hotel.
Sejatinya tren ini sudah mewabah beberapa tahun sebelumnya. Hanya saja saya baru ngeh karena baru saja comeback setelah empat tahun hibernasi dari jagat dunia maya. Entah apa maksud dan tujuan dari memotret makanan sebelum disantap, untuk sekedar pamer atau memang sedang belajar food photography.
Food photography? Apakah itu cabang baru dari dunia seni potret-memotret? Harus diakui, perkembangan teknologi turut menciptakan suatu tren, khususnya di media sosial. Fotografi mulai menemukan interest yang baru, seperti travel photography, landscape photography, sampai food photography.
Belajar pada sang ahli
Pria tinggi dan berkacamata itu mulai bercerita mengenai masa lalu serta pengalamannya meniti karir sampai menjadi Food Photographer profesional. Fellexandro Ruby, dialah pemilik situs www.wanderbites.com dan berada di dunia maya dengan akun @captainruby.
Hadir sebagai narasumber di acara "Taste of Macao" di Nusa Indonesia Gastronomy Restaurant, Kemang, Jakarta Selatan pada Sabtu, 14 Juli 2018, pria yang akrab disapa Mas Ruby ini bercerita mengenai awal perjalanan karirnya.
"Dulu pekerjaan saya berkecimpung di alat-alat berat dan konstruksi. Tahun 2009, saya mulai jadi blogger dan menulis curhatan. Kemudian fokus saya berubah menjadi blogger dengan passion seputar kuliner. Lalu bergeser sedikit menjadi fotografer makanan sampai sekarang," kenangnya.
"Background apapun Anda, bahkan yang tidak ada hubungannya sekalipun, pasti bisa dengan belajar dan latihan. Contohnya, fotografi menurut saya adalah sebuah skill yang bisa dipelajari oleh semua orang," jelasnya di depan audiens yang terdiri dari Kompasianer, Food Blogger dan Food Selebgram.
"Namun harus diakui, kalau yang punya keturunan mata seni, apakah turunan dari orangtua atau kebiasaan sehari-hari yang selalu mengekspos seni, biasanya akan lebih cepat belajarnya," sambungnya.
Dalam presentasinya yang diberi tema "Storytelling Through Food Photo" tersebut, Mas Ruby membeberkan poin utama dalam food photography.
"Kuncinya adalah RASA, bagaimana sebuah foto bisa menggambarkan rasa makanan yang sebenarnya. Melatih rasa adalah melatih seni. Storytelling dalam setiap karya foto makanan sayapun hanya ada satu kata, yaitu RASA."
Berbagi cerita dan rasa lewat makanan
Tergelitik dengan penjelasan Mas Ruby. Saya membuka kembali galeri smartphone karena kebetulan saya adalah satu orang yang hobi food photography, meski masih dalam skala amatir. Dari beberapa hasil jepretan dan tips-tips yang dibagikan oleh Mas Ruby, saya mulai paham bagaimana cara memotret makanan yang bukan hanya artistik, tetapi juga mengandung cerita di dalamnya.
Dalam pemaparannya, Mas Ruby tidak mempersoalkan jenis kamera apa yang digunakan. Mulai dari kamera profesional sampai kamera smartphone bisa dimanfaatkan sebagai alat perekam gambar. Jadi tidak ada alasan untuk ragu atau minder karena tidak memiliki kamera bagus. Saya sendiri juga hanya menggunakan kamera smartphone.
"Setiap orang minimal punya smartphone, jadi tidak ada alasan tidak bisa bikin konten yang bagus. Yang penting kita harus paham kamera apa yang kita gunakan. Camera is secondary. The number one is the person behind the camera," tegasnya.
1. Cahaya dan jendela
Pernahkah kita melihat sebuah foto makanan dimana objek foto disirami oleh bias sinar matahari, atau ketika makanan tersebut terpapar pantulan sinar matahari melalui jendela. Bagaimana hasilnya? Bukankah sangat indah? Inilah salah satu teknik pencahayaan dalam memotret.
"Yang perlu diperhatikan ketika ingin foto makanan, basicnya itu harus berteman dengan jendela. Food photography yang paling baik adalah foto dengan cahaya natural, seperti cahaya matahari. Sinar matahari yang 'jatuh' ke makanan itu jauh lebih colorful dan lebih enak untuk dilihat," imbuh Mas Ruby.
Sayapun mencari-cari apakah pernah memotret makanan dengan memanfaatkan cahaya natural. Akhirnya saya menemukannya dan hasilnya memang indah. Secara pribadi saya menyebutnya sebagai naked photo, atau foto yang apa adanya.
Masih tentang teknik pencahayaan. Mas Ruby menjelaskan selain cahaya natural, ada cahaya buatan baik dari cahaya lampu atau cahaya flash dari kamera. Arah datang cahaya juga menentukan kualitas suatu foto. Karena itulah ia menggunakan aturan KKB (Kiri, Kanan, Belakang).
"Perhatikan arah datangnya cahaya dengan cara melihat bayangan dari benda yang menjadi objek foto. Bandingkan dengan cahaya yang datang dari arah depan, maka cahaya yang datang dari arah samping akan lebih bagus. Kalau cahaya datang dari arah depan, maka objek foto akan terlihat flat, sedangkan kalau dari samping menjadi semakin terlihat dimensi dari objek fotonya," terangnya.
Untuk lebih jelasnya, prinsip KKB bisa digunakan dengan analogi jam 9 sampai jam 3. Jika arah cahaya dari jam 9 berarti arahnya di samping kanan objek, dan arah cahaya dari jam 3 berasal dari samping kiri objek. Artinya jam 12 adalah arah belakang objek dan posisi kita adalah jam 6 di arah depan objek (dimana cahaya yang berasal dari sana membuat objek foto menjadi flat).
Berikut ini adalah hasil foto saya ketika arah cahaya berasal dari jam 12. Sangat berdimensi dan juga memiliki cerita di dalamnya, yaitu break and relax.
Dalam food photography, kita pasti pernah melihat sebuah foto dimana makanan sebagai objek utama ditemani oleh properti cantik lainnya seperti alat makan (sendok, garpu, sumpit, serbet) bahkan yang tidak berhubungan seperti buku, jam tangan, pita atau kacamata sebagai background. Hal itu bukan hanya bertujuan untuk berbagi rasa, tetapi juga menaikkan value dari makanan tersebut.
"Investment itu penting. Kita harus keluar modal properti seperti tripod, cardboard, lighting, dan lain-lain," ujar Mas Ruby sambil menunjukkan tas berisi peralatan pendukung food photography miliknya.
Masih fresh from the oven. Inilah hasil jepretan saya dari praktik menggunakan properti milik Mas Ruby tersebut.
"Saya menyebutnya sebagai garis cinta. Garis-garis ini biasanya muncul secara otomatis di layar kamera jika sedang mengatur komposisi foto. Bayangkan garis horizontal adalah sosok cowok, dan garis yang vertikal adalah sosok cewek. Nah, dimana ada garis cowok bertemu atau bersinggungan dengan garis cewek, maka pada posisi itulah objek foto harus ditaruh," terangnya.
Ada alasan tersendiri mengapa Rule of Third kerap digunakan dalam food photography. Secara artistik, yang menjadi pusat perhatian atau point of interest adalah objek foto yang berada pada posisi dimana garis cowok dan garis cewek bertemu dan hasil fotonya akan lebih stand out.
Mencoba mengubek-ubek galeri dan mencari foto yang dimaksud, akhirnya saya menemukan hasil jepretan yang menggunakan prinsip rule of third. Silakan Anda nilai sendiri, apakah benar-benar stand out.
Yang dimaksud dengan memberi ruang adalah dengan memberi "nafas" agar dalam satu frame foto tidak terasa penuh dan sesak. Ruang kosong akan memberikan fokus lebih pada objek utama. Selain itu, ruang kosong juga bisa diisi dengan pesan baik melalui teks, logo, dan lain-lain.
"Beri ruang pada foto, jangan dalam satu frame foto terisi penuh oleh objeknya. Harus ada ruang kosong sedikit. Ruang kosong juga membantu orang yang melihatnya untuk lebih fokus kepada objek foto, yaitu makanannya."
6. Angle terbaik
Bagaimana cara Anda mengambil foto makanan. Dari samping, dari depan, atau dari atas? Menurut Mas Ruby, mencari angle terbaik juga memiliki aturannya sendiri. Selain latihan berkali-kali juga tergantung jenis makanan yang akan difoto.
Contohnya, makanan berbahan utama daging kadang harus dijepret dari arah atas (top shot). Alasannya, karena potongan daging yang warnanya kemerahan akan terlihat seratnya jika menghadap ke atas. Lain halnya dengan burger yang dilarang difoto secara top shot karena hanya akan terlihat bagian atas burgernya saja, ambillah angle dari samping.
Dalam mencari angle terbaik, Mas Ruby memberi tips untuk mendapatkan hasil food photography yang optimal dengan memperhatikan Warna (gunakan warna-warna yang menggugah selera), Tekstur (makanan hot plate harus terlihat uapnya, dan makanan yang cripsy harus terlihat garing), dan Volume (jika makanan terlihat besar atau kecil harus sesuai dengan ukurannya).
"Kalau sudah bingung dan kehabisan ide, maka potret saja makanannya secara dekat atau close up," terang Mas Ruby.
Tak seperti tips-tips sebelumnya. Memotret dengan jarak dekat ternyata menjadi opsi paling terakhir dalam food photography. Biasanya tips ini memang digunakan jika si pemotret sudah kehabisan ide atau tidak menemukan angle yang pas untuk "menceritakan" makanan tersebut.
Anyway, di acara tersebut saya pribadi sempat mengalami kesulitan karena pencahayaan dan background yang kurang mendukung. Akhirnya saya mengakalinya dengan foto close up. Hasilnya? Not bad.
Food photography memang bukan hanya soal menjepret makanan karena pada akhirnya tidak semua makanan bisa diabadikan melalui lensa kamera. Namun, jika dikemas dengan menarik dan mengikuti tips-tips di atas, bukan tidak mungkin kita juga bisa bercerita dan berbagi rasa lewat makanan.
"Semua menu yang enak belum tentu cantik. Dan semua menu yang cantik belum tentu enak. Makanya kita harus memilih menu secara bijak," tutup Mas Ruby.
Nah, Apakah Anda tertarik belajar food photography? Atau ingin menjadi food photographer profesional? Do it now, karena tak pernah ada kata terlambat untuk memulai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H