Di tengah kebuntuannya, suatu hari ia duduk di taman untuk merenung dan memperhatikan seorang gadis kecil yang bermain bola.
"Bola itu dipantul-pantulkan, saya lalu berpikir bagaimana jika konsep yang sama dipakai untuk melindungi mesin pada jam?" cetusnya.
Dari situlah bagi Ibe-san segalanya menjadi jelas. Ia mendapat ide jam tangan mengapung dengan struktur lima tahapan untuk melindungi mesin jam dari getaran dan goncangan, yakni case keemasan, case logam, cincin karet pelindung, cincin logam pelindung dan karet pelindung serta struktur mesin mengapung dengan kontak titik.
Pentingnya budaya malu
"Saya sampai berpikir untuk mengundurkan diri jika proyek ini gagal, saya nyaris menyerah," ujar Ibe-san.
Sama seperti manusia lainnya. Ketika mengalami banyak kegagalan, Ibe-san hampir saja menyerah. Namun ada suatu hal yang akhirnya membuat Ibe-san harus melanjutkan risetnya atau berhenti saat itu juga.
"Perusahaan memang tidak memberikan tekanan. Tetapi saya tetapkan dalam hati, kalau gagal lagi dua tahun, maka saya akan mengundurkan diri," tegasnya.
Terdengar ekstrim atau cukup keras. Tapi inilah suatu budaya yang dipegang teguh oleh bangsa Jepang, yaitu budaya malu. Beberapa tahun lalu saya pernah melihat berita dimana salah satu pejabat disana mengundurkan diri karena terbukti telah menerima suap 'sebesar' Rp 7 juta (jika dikurs menggunakan rupiah). Atau ketika pemimpin perusahaan lebih memilih mundur karena gagal mencapai target perusahaan.
Budaya malu inilah yang ditanamkan dalam setiap individu bangsa Jepang, sehingga mereka memiliki target pribadi atau goal dan akan sangat malu bila gagal mencapainya. Sama seperti filosofi Gambaru, meski hanya tersirat namun saya bisa melihat bagaimana budaya malu juga dijunjung tinggi oleh Ibe-san. Kegagalan adalah suatu noda, ia sudah bertekad dan harus berhasil. Bila gagal, ia harus angkat kaki dari perusahaannya meski tidak dipecat.