Mohon tunggu...
Deny Oey
Deny Oey Mohon Tunggu... Administrasi - Creative Writer

Seorang pembelajar, pecinta alam dan penikmat makanan pedas. Sesekali mengkhatamkan buku dan membagikan pemikirannya dalam tulisan. Beredar di dunia maya dengan akun @kohminisme (IG) dan @deNocz (Twitter).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

10 Menit Bersama Mbak Gojek

31 Oktober 2017   16:53 Diperbarui: 31 Oktober 2017   17:38 4578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mbak Gojek (sumber: www.tribunnews.com)

"Siang kak, dari gojek"

"Jemput dimananya ya?"

Sebuah pesan singkat masuk ke WhatsApp. Saya memang sedang memesan gojek yang akan menjemput saya di halte busway Harmoni lalu mengantar saya menuju Krendang, Jembatan Lima, Jakarta Barat.

Sebenarnya saya tidak begitu suka cara driver gojek tersebut menghubungi saya. Bagi saya, WhatsApp hanya ditujukan untuk hubungan personal dimana saya bertukar kontak dengan teman atau rekan-rekan. Sementara hubungan saya dengan driver gojek adalah hubungan transaksional dimana cukup dilakukan lewat SMS atau telepon saja.

Belum sempat saya membalas pesan tersebut, tak lama kemudian si driver gojek menelepon saya via WhatsApp Call. Saya pun memberitahukan posisi saya dan ciri-ciri seperti pakaian yang saya kenakan agar bisa dikenali dan dijemput secepatnya. Apalagi saat itu hujan juga sudah mulai turun.

"Oke, berarti dekat Bank BCA ya. Ditunggu ya kak.." jawab suara wanita di ujung telepon.

Apa? Wanita? Ya, saya 'mendapatkan' seorang driver wanita. And this the first time for me. Saya memang sedikit kurang nyaman karena dia menghubungi saya lewat WhatsApp, entah dia kehabisan pulsa atau memang dia selalu menggunakan WA untuk menghubungi customer.

Namun rasa itu berubah kala melihat profile picture driver tersebut. Disana ada foto wanita muda, umurnya sekitar 20-an awal, dan disampingnya ada foto bayi dan juga batita yang sedang meniup kue ulang tahun dengan angka 2 diatasnya. Seketika muncul rasa simpati.

"Wah, hebat sekali wanita ini. Ternyata ini yang memotivasinya sehingga ia menjadi gojek," pikirku.

Sebuah pesan kembali masuk, driver gojek tersebut kembali bertanya dimana posisi saya. Ia juga mengirimkan foto posisinya saat itu. Dari foto yang dikirim ternyata saya harus berjalan sekitar 10 meter untuk nyamperin si mbak gojek.

"Kak Deny ya? Maaf kak, saya gak bawa jas hujan. Mau nunggu atau jalan sekarang aja?"tanya si mbak gojek begitu melihat saya berjalan ke arahnya.

"Berangkat aja sekarang, saya lagi buru-buru," jawabku.

"Yaudah, lagian hujannya kecil koq. Bentar lagi juga berhenti," tukas si mbak gojek. Entah bermaksud menghibur, sedikit berdoa atau sedang ingin bercanda.

Meski menggunakan buff atau masker dan menggunakan helm, saya bisa melihat bahwa si mbak gojek memang masih belia. Ditambah parasnya pun lumayan cantik (jika dilihat langsung dan juga dari profile picture WhatsApp-nya). 

Saya cukup kaget melihat tunggangan si mbak gojek. Pikirku, paling dia menggunakan sepeda motor jenis matic. Namun ternyata motor yang ia gunakan adalah Jupiter MX 150 yang bodinya besar dan bertransmisi kopling. Setelah memakai helm, saya sedikit kesulitan naik ke jok belakangnya yang tinggi sehingga harus memegang pundaknya.

"Duh, sorry ya mbak."

Honestly, saya sendiri kurang merasa nyaman jika harus bersentuhan dengan wanita di awal pertemuan selain menjabat tangannya. Namun si mbak gojek merasa tak ada masalah dan langsung mengantar saya ke tempat tujuan.

Tak lama kemudian ia sedikit nyerocos, memastikan lokasi tujuan saya dan lain-lain. Namun derasnya air hujan dan lalu lintas di jalan raya ditambah suaranya yang kecil bagi saya sangat sulit untuk didengar. Ia akhirnya mengambil jalan tikus untuk menghindari kemacetan dan disinilah percakapan dimulai.

"Kak, udah pernah dapet gojek cewek belom?"

"Belum sih, kamu yang pertama malah,"jawabku.

"Hahahahha.. iya sih, sekarang uda banyak koq cewek yang jadi gojek,"seraya tertawa dengan suara yang khas.

"Iya, udah sering lihat juga sih di Grab atau Gojek. Tapi gak pernah dapet, baru kali ini. Hehe.."

"Iya kak, rata-rata sih ibu-ibu. Yang anak muda kayak saya jarang kan? Hahahha.." kelakarnya.

"Sudah berapa lama mbak jadi Gojek?"tanyaku sedikit penasaran.

"Uda setahun lah kak. Tadinya saya di Grab, trus ke gojek juga baru 2-3 bulan ini."

Dari pembicaraan itu si mbak gojek bercerita banyak hal. Sebenarnya ia ingin kerja kantoran tapi tak ada lowongan sehingga harus ngojek. Saya pun dengan mudah menebak bahwa tingkat pendidikan si mbak gojek tidak tinggi, mungkin hanya setingkat SMA sederajat, karena ia juga menyebut usianya dan sejak kapan ia mulai ngojek online.

"Hari ini ngegojek udah dapet berapa mbak?" tanyaku lagi.

"Yah dari pagi sampai siang ini sih udah tiga ratus ribu kak. Saya pagi-pagi udah langsung ke stasiun cari tarikan."

Wow, jumlah yang lumayan! Saya pun akhirnya bertanya suatu hal yang sedari tadi ingin saya tanyakan.

"Lumayan ya mbak, buat anak ya?"

Seketika si mbak gojek tertawa.

"Hahahahhahahah.. aduh bukan kak, itu mah adek saya," jawabnya.

"Lho.. adeknya ya? Saya pikir itu anak, soalnya di pasang di PP WA," jawab saya ikut tertawa.

"Hahahhaha.. iya kak, banyak koq yang mikir itu anak saya. Malah pernah ada orang pas turun tiba-tiba ngasih tip terus bilang, nih buat anaknya," jelasnya sambil terbahak-bahak.

Ia pun bercerita bahwa saat umurnya 19 tahun ibunya kebobolan dan mengandung lagi. Namun sebelum melahirkan, ayahnya meninggal dunia. Jadilah ibunya single parent, ditambah si mbak gojek adalah anak sulung dan masih memiliki tiga adik kecil yang masih bersekolah.

"Yang anak bontot uda dua tahun kak. Umur saya sekarang 21. Yah sekarang kalo gak banting setir mah susah, Jakarta keras. Apalagi saya juga bantu-bantu ibu sama adek-adek saya,"jelasnya.

Si mbak gojek kembali bercerita tentang beberapa penumpang yang memberinya tip untuk 'anaknya'.

"Iya kak, di jalan ngobrol macem-macem. Pas turun saya kaget dia kasih duit, buat anak saya, katanya."

"Wah berarti dia gak tau kalo itu adek kamu,"balasku.

"Hahah..iya, dia gak ngomong atau nanya-nanya juga sih. Tauk-tauk pas turun malah ngasih tip dan ngomong begitu,"

"Wah tadinya saya juga mau kasih tip lho. Tau kalo itu ternyata adek kamu, gak jadi deh," canda saya.

"Hahaha.. aihh, si kakak bisa aja,"jawabnya sambil tersipu malu.

"Tapi sebenarnya boleh juga lho kamu pasang foto begitu. Tadinya saya malah mikir, gile ni cewek demi anak sampe ngegojek, jangan-jangan ditinggal sama lakinya. Kalo gak tanya gak bakal tau ceritanya. Boleh juga tuh kamu pasang pp itu, barangkali banyak yang kasih tip. Wkwkwkk."

"Hahahhah.. gak lah kak, saya setiap dapet duit langsung bilang koq itu rejeki buat adek. Saya gak mau orang mikir itu buat 'anak' saya. Dan saya juga jelasin ke penumpang koq kalo itu adek saya. Saya gak mau ada salah paham,"jelas si mbak gojek dengan nada sedikit serius.

Tak lama kemudian motor melambat dan saya sampai di tujuan. Setelah mengembalikan helm, saya dan si mbak gojek berpamitan. Ya, 10 menit yang singkat, namun mengajarkan banyak hal.

Ngegojek (sumber: www.tribunnews.com)
Ngegojek (sumber: www.tribunnews.com)
Kerasnya Ibukota dan Masih Adanya Rasa Empati

"Kejamnya ibukota lebih kejam daripada ibu tiri."

Kalimat ini keluar dari mulut pelawak Almarhum Ateng. Jakarta, tempat tujuan banyak orang untuk meraih mimpi. Namun bila tidak memiliki modal dan tekad yang kuat maka kita akan tersisih dan semakin terpinggirkan. Meski ada banyak cerita sukses dari mereka yang merantau ke ibukota, namun lebih banyak mereka yang gagal, bahkan berakhir sebagai kaum marjinal sampai menjadi kriminal.

Kerasnya ibukota juga dialami oleh mbak gojek. Pendidikan minim ditambah tanggung jawab besar yang diembannya sebagai tulang punggung membuatnya harus banting setir menjadi ojek online. Namun ia masih berusaha, bekerja keras dan berdiri di atas kakinya sendiri. Tak disangka, perjalanan yang berlangsung selama kurang lebih 10 menit memberikan saya pelajaran berharga.

Tuhan tak pernah membiarkan umatNya berjuang sendirian, apalagi jika ia sudah berusaha semampunya. Saya rasa masih banyak yang memandang sebelah mata profesi sebagai ojek online. Padahal profesi ini menjanjikan pendapatan yang cukup tinggi (tergantung tingkat kerajinan si driver). Mendengar cerita dari mbak gojek, saya bisa membayangkan bagaimana gigihnya ia mengumpulkan recehan hasil dari tarikan ngojek. Cobalah untuk lebih menghargai, toh para driver ojol tersebut masih mencari rezeki secara halal.

Lalu, saya mendapati cerita tentang masih adanya rasa empati dari kaum urban ibukota yang terkenal individualis dan hedonis. Melihat foto si mbak gojek bersama 'anaknya', terbesit kisah seorang single parent, mungkin ia kecelakaan dan yang berbuat tidak mau bertanggungjawab sehingga terpaksa membesarkannya sendirian, atau anak tersebut sudah ditinggal oleh ayah kandungnya. Well, pola pikir instan yang langsung terbentuk hanya dengan melihat foto, meski belum pasti kebenarannya, sama seperti yang saya rasakan. 

Tak heran jika banyak yang memberikan tip. Bukan hanya sekedar uang beberapa ribu rupiah, namun apresiasi bagi seorang wanita kuat seperti si mbak gojek. Sebagian mungkin pernah merasakan berjuang sepertinya, atau memiliki figur seperti si mbak gojek dalam keluarganya.

Yang pasti, kisah mbak gojek telah menggugah hati nurani banyak orang yang pernah duduk di belakang dan bertukar cerita, canda dan tawa dengannya. Bukti bahwa sesungguhnya masih ada yang menanggung beban lebih berat namun masih menjalaninya dengan tersenyum dan masih ada yang lebih tidak beruntung namun ia tidak menyerah pada hidup. Sepuluh menit yang berkesan dan tak akan terlupakan bagi saya.

Tak lama kemudian di aplikasi Gojek muncul kolom penilaian dimana saya harus memberikan rate/bintang pada driver gojek yang saya tumpangi. Setelah memberikan nilai, muncul kolom apakah saya ingin memberikan tip yang akan dipotong dari saldo Gopay saya. Dengan mantap saya memberikannya sedikit apresiasi dengan pesan:

"Buat anak, eh salah, adeknya maksudnya.. :)"

***

N.B: kisah diatas adalah pengalaman pribadi. Identitas driver dirahasiakan demi privasi dan juga menjaganya dari cengkeraman para hidung belang, buaya darat, lelaki kardus dan jones karatan di alam yang liar ini. :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun