[caption caption="FA Cup || (sumber: dailymail.co.uk)"][/caption]
Di bagian barat kota London, sebuah pesta berlangsung dengan meriah. Sampanye, bir, anggur tumpah ruah. Ada yang mengguyur badannya sampai basah, ada yang hanya mengenakan celana boxer saja, ada yang bernyanyi, berteriak, menari, dan kegilaan lainnya. Inilah pesta untuk merayakan kemenangan, kejayaan dan kebangkitan setelah keterpurukan.
Pesta yang berlangsung meriah ini tak akan pernah terjadi tanpa campur tangan seorang pria yang dijuluki Don Antonio. Ia menguatkan statement Italiano yang selalu sukses meski mengembara dan berkelana ke negeri seberang. Petualangannya kali ini di negeri asal sepakbola berbuah manis. Ia bersukaria, minum sampai mabuk, menari dan bernyanyi bersama anak asuhnya, anak buahnya dan para muridnya.
Enam mil jauhnya, tepatnya di utara London, seorang pria tua tertunduk lesu. Dalam sebuah stadion bernama maskapai penerbangan arab, ia duduk di salah satu sudutnya. Sambil menenggak sekaleng soda, sesekali ia memandangi senja di kejauhan. Matahari akan terbenam, seperti dirinya yang kian tenggelam.
Ia hanya sendiri, tak ada yang menemaninya. Pria tua ini seperti bos dari sebuah kompani yang mulai ditinggal oleh para karyawannya, bahkan yang berstatus outsourcing sekalipun. Desakan-desakan untuk mundur terus bergema, namun ia tetap bergeming dan selalu terjangkit penyakit terjebak nostalgia, dimana selalu mengenang kejayaannya di masa di silam, yang membuatnya dipanggil dengan sebutan profesor.
[caption caption="Arsene Wenger di Stadion Emirates || (sumber: arsenal.com)"]
Profesor sepertinya lupa, bahwa kita hidup di masa kini demi menyongsong masa depan yang lebih baik. Masa lalu biarlah menjadi masa lalu, sebaik dan seburuk apapun kisah yang pernah terajut. Ia stagnan, diam di tempat. Di satu sisi, ia masih ingin tetap bertahan meski tahu dan sadar akan segera diusir. Di sisi lain, kendati ia harus pergi, ia tak tahu kemana arah dan tujuannya.
Sambil menenggak sisa soda yang diminumnya, pria tua itu berikrar pada dirinya sendiri bahwa ia akan pergi dengan terhormat dan dengan kepala tegak. Matanya tertuju ke arah barat, seperti sadar ada keriuhan tak jauh dari sana. Itu bukanlah pestanya, ia juga tidak diundang. Lagipula suasana hati profesor sangat kontras dengan pesta yang sedang berlangsung bersama Don Antonio tersebut.
***
Takdir. Mungkin itulah kata yang tepat untuk menggambarkan pertemuan antara pria tua berjuluk profesor itu dengan Don Antonio. Sebuah pesta akan digelar di Wembley yang menjadi representasi prestis kota London. Dan kebetulan, pesta ini mempertemukan dua kubu yang juga berasal dari London. Sungguh, inilah pesta besar untuk (sebagian) rakyat dari kota pengatur waktu tersebut.
Pesta ini memiliki arti yang berbeda bagi keduanya. Don Antonio menganggap kemenangan hanya akan melengkapi pestanya, sekaligus mengikuti jejak kompatriotnya tujuh tahun silam, Don Carletto. Toh bila kalah sekalipun ia sudah merayakan pesta yang lebih besar. Tentu, tak ada pesta yang lebih megah daripada pesta yang merayakan kebangkitan setelah terpuruk. Mereka berhasil bangkit setelah jatuh cukup dalam dan sekarang berdiri di puncak kemuliaan.
[caption caption="Chelsea Champions EPL 2016/2017 || (sumber: premiereleague.com)"]
[caption caption="Don Antonio || (sumber: premiereleague.com)"]
Berbeda bagi profesor. Menang atau kalah, ia akan tetap mengadakan pesta. Bukan pesta kemenangan, tapi mungkin sebuah pesta.... perpisahan. Hanya saja ia tak tahu apakah pesta itu akan dihiasi oleh sebuah piala atau hanya sebuah meja kosong. Yang pasti, kalimat hujatan, cacian, makian, keluhan dan sedikit terima kasih akan menghiasi pesta tersebut. Jangan berharap akan ada nyanyian, tarian atau minuman keras. Jika itu yang diharapkan, Anda berada di pesta yang salah.
Sebuah pesta dengan makna berbeda akan seegra berlangsung di kota London. Entah pesta milik siapa dan entah siapa yang akan berjaya. Ia yang tersenyum makin lebar, atau ia yang tersenyum getir kemudian kembali ke ekspresi datarnya.
***
Hari sudah larut malam, Don Antonio pulang untuk beristirahat. Pesta semalam suntuk bersama anak buahnya membuatnya letih. Seperti mengulang waktu, ia teringat saat desas-desus bahwa ia akan segera ditendang menggema. Wajahnya tersenyum kala berhasil menyumpal mulut para pengkritiknya dengan rentetan kemenangan dan sebuah piala. Kini ia bisa tertidur pulas agar keesokan harinya bisa menyiapkan agenda meraih kemenangan di pesta London.
[caption caption="Profesor & Don Antonio || (sumber: dailystar.co.uk)"]
Sementara, pria tua yang terus duduk di bangku stadion itu terus terdiam, seperti enggan beranjak dari lamunannya. Matanya menerawang, membayangkan segala kemungkinan terburuk. Rencana traveling ke kota-kota elit Eropa, yang tiap tahun rutin mereka lakukan, terancam batal. Mungkin mereka hanya akan mengunjungi kota-kota kecil dan semenjana dengan skala prestis yang kecil. Bagaimanapun, hal itu sudah ada dalam manajemen risiko miliknya.
Ia bangkit menuju mobilnya dan mengendarainya untuk kembali pulang. Pesta London sudah menanti. Ia kembali terjebak nostalgia, mengingat dua dan tiga tahun silam dirinyalah yang berjaya. Namun bayangan buruk kembali menghantui. Bagaimama bila ia gagal. Apalagi ia tahu bahwa pesta tersebut juga akan menjadi acara perpisahannya.
Profesor tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi. Tepat setahun lalu, seorang meneer meraih kemenangan dalam pesta London, namun yang menjadi balasannya adalah surat PHK. Pria tua itu terbangun dengan keringat dingin di sekujur tubuhnya. Sedetik kemudian ia berpikir lalu menggumam.
Apakah ini sebuah pertanda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H